1. Catatan Awal
Dalam bab ini, pembahasan berkisar pads topik tahu atau pengetahuan. Padanan kata Inggrisnya ialah to know dan knowledge. Hal terpenting yang diharapkan untuk dipahami adalah apa artinya tahu atau pengetahuan. Dengan kata lain, apa artinya kalau seseorang berkata saya tahu? Dalam kaitan dengan ini, dibahas pula seeara umum gejala pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan, den jenis jenis pengetahuan manusia.
2. Gejala Tahu/Pengetahuan
Pengetahuan merupakan gejala kodrati pada manusia, dan sebab itu selalu menjadi bagian kegiatan sehari-hari semua orang. Malahan, setiap kegiatan sederhana, seperti menjawab pertanyaan, meminta pertolongan, berbelanja di pasar, den menonton televisi, mengandaikan adanya tahu atau mengetahui. Kalau saya mengajukan pertanyaan, diandaikan bahwa saya tahu bahwa sesuatu itu tak dapat saya jelaskan. Kalau saya pergi ke pasar swalayan untuk membeli baju, diandaikan saya tahu bahwa swalayan adalah tempat di mana disediakan berbagai kebutuhan, termasuk baju. Kalau saya mengikuti acara Dunia Dalam Berita di televisi puku121.00 WIB, diandaikan saya tahu bahwa ada berita-berita yang disiarkan pada jam tersebut. Bahkan, kalaupun saya mengatakan bahwa saya tidak tahu (nama Ketua RT di tingkungan desa tetangga), itu menunjukkan bahwa saya tahu sesuatu (yakni bahwa saya tak tahu nama orang itu)
Kalau seorang mahasiswa jurusan psikologi ditanya apakah dia tahu siapa pendiri ilmu psikologi modern dan menjawab saya tahu (lalu menyebutkan nama Wilhelm Wundt), apa artinya itu? Kalau saya melihat pesawat terbang dan saya mengatakan kepada orang di samping saya bahwa saya tahu itu pesawat terbang, apa artinya itu? Bagaimana saya bisa menyimpulkan bahwa itu pesawat terbang dan bukan burung raksasa? Seorang bayi akan menangis kalau yang akhimya menggendongnya ialah orang asing, dan bukan ibundanya yang sudah berjam jam dinantikannya. Bayi itu tahu dan kenal ibunya.
Bagaimana dia bisa tahu itu? Jadi, gejala tahu atau mengetahui adalah gejala manusiawi. Setiap orang mengalaminya. John Dewey, seorang filsuf Inggris, mengatakan bahwa bila manusia ingin mengetahui sesuatu, prosesnya tidak misterius, tapi suatu yang lumrah seperti kalau ia ingin makan untuk mengusir rasa laparnya. Mengetahui, seperti halnya makan, minum, tidur, dan berjalan adalah suatu yang bersifat kodrati pada manusia. Jika diperhatikan lebih saksama, tahu dan pengetahuan bukan hanya merupakan gejala kodrati pada manusia. Kalau seekor anjing mengibas-ngibaskan ekomya ketika melihat tuannya datang, itu tandanya ia mengenal tuannya. la tahu bahwa orang yang datang itu tuannya.
Sebaliknya, anjing yang begitu melihat seorang mengendap-ngendap di sekitar rumah menyalak dan mengambil sikap menyerang, tahu bahwa itu orang asing. Seekor ayam atau binatang peliharaan bisa saja tersesat dan berhari-hari jauh dari rumah, tapi akhirnya akan kembali ke rumah tuannya. la kenal benar rumah tuannya. Dalam arti tertentu, ia kenal tempat. la tahu. Daun-daun Puteri Malu akan merunduk apabila disentuh manusia. la niengisyaratkan bahwa ia bisa bereaksi terhadap suatu dari luar.
Dalam arti tertentu, ia tahu. Malaikat, meskipun kita tidak mengetahui wujudnya, pasti juga memiliki kemampuan untuk tahu sebab dalam gradasi makluk-makluk hidup tingkatannya di atas manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tahu atau pengctahuan mcrupakan gejala yang ada pada makluk hidup. Karena kehidupan itu ada tingkatan-tingkatannya, maka kemampuan
tahu/pengetahuan itu pun bertingkat-tingkat. Tahu dan pengetahuan pada malaikat, manusia, hewan, tumbuhan, itu adalah analog. Artinya, dalam aspek-aspek tertentu ada kesamaannya.
Manusia dari kodratnya memiliki rasa ingin tahu. la ingin tahu tentang apa saja. Oleh sebab itu ia bertanya untuk memuaskan rasa ingin tahu itu. Apabila ada jawaban, ia puas. Tetapi, rasa puas itu hanya bertahan sementara waktu. la ingin bertanya lagi. Semakin dewasa, manusia pertanyaan makin banyak, sebab ia ingin tahu lebih banyak (Poedjawijatna, 9-10).
Sebagai makluk berakalbudi, rasa ingin tahu pada manusia sangat erat berkaitan dengan bertanya. Hanya makluk berakal budi yang bertanya. Modal untuk bertanya adalah rasio. Karena ingin tahu, maka manusia bertanya. Tapi, mengapa manusia sampai bertanya? Karena rasa takjub dan heran. Itulah yang menyebabkan manusia bertanya. Bertanya hingga sebab-sebab paling dalam itulah yang dinamakan filsafat.
Meskipun tahu dan pengetahuan itu jelas, tapi tidak mudah menelitinya. Mengapa? Karena sangat sulit mengambil jarak dengan tahu itu sendiri. Kalau saya meneliti batu, maka saya pertama-tama harus mengambil jarak dengan batu. Batu itu sesuatu yang berada di Iuar saya. Kalau saya mau meneliti tahu, saya harus meletakkan tahu itu di luar diri saya. Dan itu tidak mudah, bahkan mustahil. Tapi tahu adalah suatu yang benar-benar ada. Bahkan karena pengetahuan itulah segala yang ada di dalam dan di luar diri kita menjadi nyata.
Louis Leahy, dalam bukunya Manusia Sebuah Misteri (Gramedia, 1989) mengatakan pada manusia, tahu dan pengetahuan itu bersifat indrawi dan intelektif. Mengapa? Karena manusia adalah kesatuan jiwa dan tubuh, rohani clan materi. Pengetahuan itu indrawi kalau diperoleh melalui indra (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, clan peraba). Ia intelektif kalau diperoleh melalui kemampuan intelektif kita, seperti ingatan dan khayalan. Tetapi, kedua aspek itu tak dapat dipisahkan. Tidak pemah ada kegiatan intelektif yang terpisah dari indra, demikian pula sebaliknya. Kita tidak penaah mengatakan bahwa mendengar adalah kegiatan yang seratus persen dibebankan kepada telinga dan organ-organnya. Tidak. Dengan demikian, tahu itu bersifat sinergis, yakni melibatkan seluruh manusia.
Dalam setiap kegiatan tahu dan mengetahui, ada aspek kesadaran. Misalnya, kalau saya tahu bahwa tangan kiriku kotor karena terkena lumpur, saya juga menyadari bahwa tangan kiriku itu memang kotor. Tetapi, tahu dan kesadaran itu berbeda. Tahu dan pengetahuan lebih merupakan hubungan subyek dan obyek di luamya, sedangkan kesadaran lebih merupakan hubungan subyek dengan diri sendiri /Tahu dan pengetahuan juga tidak sama dengan kegiatan afektif yang mendahului atau yang muncul sesudahnya. Tahu tidak sama persis dengan rasa takjub atau rasa ingin tahu yang mendahuluinya. Tahu juga tidak sama persis dengan rasa simpati atau benci yang menyusul sesudahnya. Tahu/pengetahuan menghadirkan sesuatu atau benda pada kita. (Louis Leahy, 71-75)
Manusia bisa tahu segala sesuatu. Apa saja. Manusia ingin tahu tentang alam sekitar, tentang langit, tentang hewan, tentang tumbuhan, tentang benda mati, tentang manusia. Bahkan, manusia ingin tahu dan mengerti tentang malaikat dan tentang Tuhan. Manusia ingin tahu tentang masa lampau, masa sekarang, dan masa mendatang. Manusia ingin tahu hal-hal konkrit, juga ingin tahu hal-hal abstrak. la ingin tahu dan melihat pemandangan yang indah di pegunungan, tapi ia juga ingin mengetahui apa itu keindahan. Pendeknya, manusia ingin tahu semuanya. Rasa ingin tahu itu tidak habishabisnya, tidak ada batasnya, tidak pernah kering. Manusia ingin tahu apa yang ada dan yang mungkin 4da. Keingintahuan itu hanya berakhir kalau manusia tidak ada lagi (Poedjawijatna, 11-12).
Tapi, manusia tidak tahu sembarangan. Ia ingin tahu yang benar tentang segala yang ada dan mungkin ada itu. la ingin memiliki pengetahuan yang benar. Tidak pernah orang ingin tahu yang tidak benar. Hanya kebenaranlah yang dapat memuaskan rasa ingin tahu itu. Itu berarti, dari kodratnya manusia ingin mengetahui kebenaran.
Manusia tahu dan menyadari bahwa dia tahu. Tidak pernah manusia tidak tahu bahwa dia tahu. Kalau saya mengatakan bahwa saya orang Indonesia, maka pada saat saya mengatakan hal itu saya betul-betul tahu dan sadar. Kalaupun seorang mengatakan bahwa dia tidak tahu, ia tahu bahwa dia tidak tahu. Jadi, dia tahu. Kalau kepada seorang petani di desa ditanyakan apa perbedaan pokok antara kapitalisme dan komunisme, dia menjawab tidak tahu. Jawaban itu bukan menyatakan bahwa dia tidak tahu, tapi bahwa dia tahu, yakni bahwa dia tidak tahu perbedaan pokok yang ditanyakan itu.
Prof. Dr. Poedjawijatna, dalam bukunya Tahu dan Pengetahuan (Rinekacipta, 1991)
sebagai berikut:
• Manusia ingin tahu Keingintahuan didorong oleh rasa kagum karena tidak mengerti tuntas hal-hal di sekitarnya. Untuk-itu manusia bertanya. Bila keingintahuannya terpenuhi, ia puas. Pertanyaan akan diajukan tanpa henti-hentinya karena kepuasan manusia ada batasnya. Semakin dewasa, manusia mengajukan pertanyaan semakin banyak. Manusia ingin tahu yang benar
Tidak seorang pun yang cinta kekeliruan. Manusia hanya ingin tahu yang benar. Pemuas rasa ingin tahu manusia yang paling dalam adalah kebenaran. Maka, apabila manusia keliru, ia menyadari bahwa apa yang diketahuinya itu tidak benar. Dan ia ingin mengetahui yang benar. Demikian seterusnya. Tidak pernah manusia dengan sengaja menginginkan kekeliruan. Kalau ia keliru, itu karena keterbatasannya sebagai manusia.
• Obyek tahu ialah apa yang ada dan yang mungkin ada Manusia ingin tahu segala-galanya. Yang membatasi keingintahuan itu hanyalah kehidupannya. Yang merangsangnya untuk ingin tahu pertama-tama adalah alam sekitar melalui pancaindra. Persentuhan indra dengan alam dinamakan pengalaman. Dalam persentuhan itu, seluruh indra dan diri manusia terlibat. Mencium memang langsung terjadi melalui indra penciuman, tapi sebetulnya seluruh diri manusia yang terlibat. Itulah sebabnya kita tidak mengatakan hidungku mencium bau, tetapi saya mencium bau. Saya tidak mengatakan mataku melihat pohon, melainkan saya melihat pohon. Pengalaman bukanlah pengetahuan yang sebenarnya, tapi hanya memungkinkan pengetahuan. Pengetahuan yang sebenarnya bru ada apabila manusia mengadakan keputusan atas obyek.
• Manusia tahu bahwa dia tahu Karena keputusan itulah manusia tahu bahwa dia tahu. Jadi, pengetahuan melibatkan kesadaran, meskipun pengetahuan dan kesadaran tidak sama persis. Tentang manusia tahu bahwa dia tahu, dijelaskan Poedjawijatna secara sederhana sebagai berikut: "manusia tahu benar, bahwa ia tidak tahu sesuatu, maka bertanyalah ia misalnya kepada orang lain, lalu diberitahu; setelah itu, tahu jugalah bahwa dia tahu. Mungkin juga ia mengira, bahw4 ia tahu, tetapi pada suatu ketika ternyata, bahwa ia keliru, jadi sebetulnya belum tahulah ia, ia bertanya atau mengadkan penyelidikan sendiri, hasilnya tahulah ia sekarang. Dulunya tahulah ia bahwa ia keliru atau belum tahu, sekarang tahulah bahwa ia tahu" (Poedjawijatna, 13)
3. Apa Artinya Tahu?
Seringkali orang menggunakan kata kenal/mengenal untuk tahu. Jadi, tahu dan kenal itu identik. Kini kita sampai pada pertanyaan: apa itu tahu atau pengetahuan? Atau apa itu kenal alias pengenalan? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tahu adalah persatuan antara subyek (S) yang mengetahui dan obyek yang diketahui (0). Itu pula yang dikatakan filsuf Yunani, Plato. Menurut dia, pengetahuan merupakan persatuan misterius antara subyek yang mengetahui (knower) clan obyek yang diketahui (known). Plato menganggap kontemplasi sebagai cinta. Seperti halnya orang yang mencinta (lover) mengenal kekasihnya secara fisik, demikian pula orang yang tahu (knower) secara spiritual mengenal bentuk-bentuk (forma) abadi.
Sering orang mendefinisikan tahu sebagai pertemuan atau perjumpaan antara subyek yang mengetahui (S' dan obyek yang diketahui (0). Tetapi ungkapan ini tidak cukup menggambarkan hakikat tahu atau pengetahuan. Persatuan memang sudah pasti mengandung unsur perjumpaan, tapi perjumpaan belum tentu mengandung persatuan. Dalam pengetahuan, S bukan saja bertemu dengan 0, melainkan bertemu dengan O. Jadi, terjadi kemanunggalan S-O. Pengetahuan adalah union antara S-O. Sifat persatuan itu bukan ekstrinsik atau fisik, melainkan intrinsik.
Dengan demikian, tahu dan pengetahuan selalu bersifat relasional. Artinya, selalu menyangkut keterhubungan antara S dan O. Relasi antara S dan 0 itu bersifat intrinsik. Thomas Aquinas mengatakan bahwa pengetahuan terjadi kalau obyek yang diketahui/dikenal itu dalam arti tertentu hadir dalam subyek yang mengetahui/mengenal. Dalam kesatuan relasional tesebut, keaktifan tidak berada hanya di satu pihak melainkan di kedua pihak, baik yang mengetahui maupun obyek yang diketahui. Kalau saya melihat pohon kelapa, kita sering membayangkan bahwa yang aktif itu hanya saya yang melihat. Saya membuka mata, menatap clan mulai menjelajahi seluruh bangunan pohon kelapa. Kita cenderung membayangkan pohon kelapa bersifat pasif. Ini- gambaran yang tidak betul. Pohon kelapa juga bersifat aktif. Dalam proses itu, pohon kelapa seakan-akan membuka diri kepada mata saya dan membiarkan diri diperiksa oleh mata. Tanpa keaktifan dari pihak pohon kelapa, tidak mungkin ada pengenalan dari pihak saya terhadap pohon kelapa.
Pengetahuan adalah kegiatan yang bersifat perspektif (perspective activity), karena selalu menambah sesuatu yang baru kepada S. Subyek yang tadinya tidak mengetahui menjadi tahu, obyek yang sebelumnya tidak dikenal menjadi dikenal. Pengetahuan manusia juga selalu bertumbuh dan berkembang. Ia bersifat tidak sempurna, tidak terbatas, tidak tuntas. Mengapa? Karena, manusia tidak dapat mengenal sesuatu langsung sampai tuntas, tetapi
tahap demi tahap, sepotong demi sepotong, melalui pola membeda-bedakan dan menghubungkan (dividendo et componendo) atau analisis-sintesa (Pranarka, 39-41)
4. Unsur-unsur Pengetahuan
Dari penjelasan di atas, kita dengan mudah menjawab pertanyaan: manakah unsur-unsur pengetahuan? Yang dimaksudkan ialah unsur-unsur atau faktor-faktor mana saja yang berperan dalam gejala yang dinamakan pengetahuan? Ada tiga unsur dalam tahu/pengetahuan, yakni subyek yang mengetahui (knowing subject), obyek yang diketahui (known object), dan kegiatan pengetahuan itu sendiri (knowing). Berikut penjelasan tentang ketiga unsur tersebut.
4.1. Subyek yang mengetahui (S)
Di atas disebutkan bahwa gejala tahu dan pengetahuan terdapat pada makhluk hidup. Tumbuhan dan hewan, makluk hidup yang tingkatannya di bawah manusia, dalam arti tertentu tahu (memiliki pengetahuan). Tapi, pengetahuan yang sesungguhnya hanya dimiliki manusia. Mengapa? Sebab, kegiatan mengetahui selalu mengandaikan rasio, dan, kita tahu, hanya manusia memiliki rasio. Karena kemampuan rasio terbatas, maka pengetahuan manusia pun terbatas, dan berkembang sepotong demi sepotong sebelum
mencapai pengetahuan yang sempurna.
Louis Leahy menunjuk tiga syarat yang dipenuhi subyek agar dapat tercipta pengetahuan, yang sempurna, yakni keterbukaan, kemampuan menyambut, dan interioritas.Subyek harus terbuka agar bisa menangkap eksistensi dan kodrat obyek yang diketahui. Batu, misalnya, tak dapaYanenjadi subyek pengetahuan karena tidak memiliki keterbukaan. Kemampuan menyambut memungkinkan obyek tinggal dalam diri subyek dalam rupa gambar, ingatan, atau ide. Kembali kita kepada definisi tentang pengetahuan sebagai
kemanunggalan subyek-obyek. Interioritas memungkinkan subyek makin banyak dan baik mengetahui. Itu ibarat daya tampung, semakin besar daya tampungnya semakin banyak pula yang diperolehnya. Ketiga unsur tersebut merupakan dimensi supramaterial atau imaterialitas dari subyek. Artinya, karena dalam kegiatan pengetahuan subyek mengatasi batas-batas jasmaniahnya, maka dia harus memiliki immaterialitas. Disini berlaku prinsip: imaterialitas yang dinikmati suatu pengada merupakan akar dan ukuran dari pengetahuan yang dikuasainya. Dan tentu subyek yang mengetahui itu harus berkesadaran. Artinya, dia harus memiliki pengetahuan akan kegiatan clan dirinya, pada saat dia mengetahui suatu yang lain dari dirinya tersebut. (Leahy, 77-79)
4.2. Obyek yang diketahui
Ini menyangkut apa yang ada dan yang mungkin ada. Seperti dijelaskan di atas, manusia bertanya tentang segala hal, yang konkrit maupun abstrak, yang dulu, sekarang, maupun yang akan datang. Pendeknya, yang ada clan yang mungkin ada. Jadi, dengan rasionya manusia dapat mengetahui tentang ide-ide abstrak seperti kebaikan, kejahatan, keindahan, nilai moral, bahkan tentang Tuhan dan keabadian.
Obyek yang dikenal harus mempengaruhi subyek. Pertanyaannya: apa yang menyebabkan, misalnya, bahwa pohon dikenal sebagai pohon (dan bukan sebagai manusia)? Obyek itu hams memiliki eidos, kata Yunani yang berarti bentuk. Eidos (juga morphe) berarti aspek dari suatu benda, clan unsur yang menstruktur benda itu dari dalam sehingga A adalah A (bukan B). Lewat eidos itulah suatu benda bukan saja mendapat kodrat, tapi juga dapat diketahui maksud clan tujuannya (Leahy, 79-80) 4.3. Kegiatan Mengetahui Ini merupakan proses psikologis yang sangat rumit. Tetapi, yang jelas, unsur ini seakanakan berada di antara S dan O. Kegiatan inilah yang menandai gejala persatuan (union) antara S dan O.
5. Tahu dan Pengalaman
Masalah yang sering diperdebatkan oleh para filsuf ialah apakah tahu/pengetahuan itu sama dengan pengalaman? Dengan kata lain, apakah mengetahui sesuatu sama dengan mengalami sesuatu? Reuben Abel, dalam bukunya Man is the Measure mengatakan bahwa tahu dan pengalaman tidak sama. Filsuf Bertrand Russell membedakan tahu melalui pertemuan langsung (knowledge by acquaintance) dan tahu melalui deskripsi (knowledge by description). Yang pertama bersifat langsung. Bambang, misalnya, mengatakan bahwa dia tahu/kenal si Budi atau si Vina, kenal candi Borobudur atau Lembang, kenal rendang atau nasi gudeg Yogya. Russell menyamakannya dengan seorang pencinta anjing yang mengenal baik anjingnya. Pengenalan semacam ini punya tingkatan, tapi tidak pernah palsu. Saya bisa mengatakan bahwa pemeran dalam sinteron itu adalah teman kelasku Vicky. Kalaupun itu tidak benar, maka yang tidak benar itu pernyataanku, bukan pengetahuanku. Pengetahuan jenis inilah yang dimitiki antara seorang kekasih terhadap orang atau sesuatu yang dicintainya, guru terhadap muridnya, dokter terhadap pasiennya. Martin Buber, misalnya, berkata spontan bahwa dia mengenal Tuhan lewat pertemuan langsung.
Pengetahuan melalui deskripsi adalah pengetahuan ilmiah. Artinya, saya tahu bahwa yang itu memang begitu. Atau, merupakan deskripsi atas fakta, dan sebab itu harus ditampilkan dalam bentuk proposisi atau kalimat-kalimat. Tapi tahu bahwa (knowing that), harus dibedakan dari tahu bagaimana (knowing how). Si Eva dapat tahu bagaimana berenang, bagaimana mengikat dasi, tanpa perlu melukiskan dengan tapat bagaimana berenang atau mengikat dasi. Ini berlaku, misalnya, pada hal-hal menyangkut keterampilan dan kerajinan, merasakan anggur atau memecahkan teka-teki.
Michael Polanyi mengatakan bahwa tahu bagaimana duduk seimbang di atas sepeda belum tentu berarti bahwa tahu bahwa "untuk suatu sudut ketidakseimbangan, lekukan setiap belokan secara berbanding terbalik dengan kwadrat kecepatan". Pengalaman (experience) adalah suatu yang menyangkut segalanya yang kita lakukan atau apa saja yang terjadi pada kita. la menyangkut sensasi, emosi, rasa sakit, pengalaman estetik dan pengalaman mistik. Pengalaman tak dapat disamakan dengan pengetahuan proposisional. Pengetahuan tidak berfungsi menggandakan pengalaman, tapi memerihkannya (deskripsi). Pengetahuan tidak berfungsi mereproduksi apa yang terjadi, tapi menjelaskannya. Tahu apa itu marah (knowing what anger is), misalnya, tidak sama dengan menjadi marah (being angry). Menikmati anggur tidak sama dengan tahu komposisi anggur. Kehidupan lebih luas yang seringkali tidak cukup dilukiskan dengan kata-kata. Oleh sebab itu J.L.Austin mengatakan fakta lebih kaya dari kata-kata (fact is richer than diction).
Meskipun demikian, pengalaman dan pengetahuan bukan saling berkompetisi. Pengalaman bisa menjadi insentif untuk memperoleh pengetahuan, atau menjadi bukti untuk pengetahuan tertentu, atau menjadi obyek pengetahuan. Tetapi pengalaman bukan pengetahuan itu sendiri. Kita jangan mencampurkan deskripsi dengan apa yang dideskripsikan, penjelasan dengan apa yang dijelaskan, pengetahuan dengan pengalaman. Dokter pria tidak ipso facto tahu lebih sedikit tentang menstruasi dan kelahiran dibanding rekannya yang wanita. Jadi, pengalaman dan pengetahuan langsung (knowledge by acquantance) merupakan unsur yang sangat penting bagi pengetahuan deskriptif, tapi tidak pernah menggantikan, atau menjadi rival, pengetahuan deskriptif. (Abel,18-21)
Sampai hari ini masih belum ada kesepakatan di kalangan para filsuf tentang apakah pengetahuan harus bersifat proposisional (diungkapkan dalam kalimat). Ada dua kubu yang bertentangan. Kubu pertama mengatakan pengetahuan harus proposisional, dan kubu kedua yang berpendapat bahwa pengetahuan tidak harus proposisional. Mereka yang masuk kubu pertama antara lain Rudolf Carnap (ilmu pada prinsipnya dapat mengatakan semua yang dapat dikatakan), Hans Reichenbach (apa yang kita tahu dapat dikatakan, dan apa yang tak dapat dikatakan tak dapat diketahui), dan Wittgenstein awal (apa saja yang dapat dikatakan dapat dikatakan dengan jelas). Scdangkan yang mewakili kubu kedua antara lain Polanyi (kita tahu lebih banyak daripada yang dapat kita katakan). Termasuk kubu ini adalah mereka yang mengatakan bahwa pengetahuan sebenamya dapat dimiliki oleh semua tingkatan makluk hidup. Jadi, bagi mereka ini, seorang bayi pun bisa tahu bahwa api panas. Anjing tahu dan bisa membedakan kapan ia digiling dan kapan ditendang. Tumbuhan tahu mana bagian atas mana bagian bawah. (Abel, 22) Paradigma untuk pengetahuan proposisional adalah Saya tahu bahwa p(I know that p), di mana p adalah suatu kalimat, yakni statemen yang benar atau salah. Misalnya Hari ini hari Kamis, atau Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden RI. Analisis terhadap
kalimat saya tahu bahwa p menunjukkan bahwa harus dipenuhi empat persyaratan:
1. Bahwa p adalah benar. Oleh karenanya kalau saya katakan "Saya tahu bahwa 2 + 2= 5" pasti Anda mengatakan: "Anda tidak tahu, sebab tidak benar". Itulah sebabnya Plato mengatakan bahwa "hanya apa yang benar dapat diketahui".
2. Bahwa saya yakin bahwa p. Keyakinan (belief) adalah sikap atau tindakan akal. Keyakinan itu bukan pengetahuan, tapi syarat untuk pengetahuan. Jadi, saya dapat mengatakan: "saya yakin bahwa p, tapi saya tidak tahu". Sebaliknya, saya tak dapat berkata: "saya tahu bahwa p, tapi saya tidak yakin". Keyakinan adalah persyaratan wajib (necessary condition) bagi pengetahuan, tapi bukannya syarat yang cukup (sufficient condition). Orang dapat percaya sepenuh hati tanpa tahu, tapi orang tak da pat tahu tanpa percaya.
3. Bahwa saya punya alasan, atau bukti yang cukup, bagi keyakinanku bahwa p. Keyakinan saya harus dibuktikan. Ini untuk membedakan pengetahuan dari lucky guess atau astrologi. Kalau saya katakan bahwa path Lebaran tahun 1999, orang yang mu dik dari Jakarta mencapai dua juta orang, Anda akan minta bukti, atau bertanya lagi dari mana saya memperoleh angka tersebut. Jadi, bukti yang cukup belum otomatis membuat orang tahu. Misalnya, ketika seorang selesai membaca cerita detektif yang seru, ia berkata spontan: mustinya saya tahu! Atau setelah penyebab kanker ditemu kan, para ahli yang menyadari bahwa mereka sudah pusing mencarinya bertahun tahun, berkata bahwa mereka memang baru tahu. Jadi, bukti adalah persyaratan yang wajib bagi pengetahuan, bukan persyaratan yang cukup.
Dalam kaitan dengan ini, sering muncul perdebatan tentang apakah mungkin ada pengetahuan tanpa disadari. Dengan perkataan lain, agar saya tahu bahwa p, apakah saya harus tahu bahwa saya tahu? Apakah Anda tahu sepatu mana yang selalu pertama Anda pakai? Kiri atau kanan? Atau lagu apa yang diperdengarkan radio ketika Anda membaca koran? Dalam psikoanalisa, Freud menunjukkan bahwa pengetahuan tanpa disadari itu mungkin saja.
4. Bahwa saya tidak punya bukti lain yang dapat menentang keyakinanku. Saya, misalnya mengatakan "saya tahu bahwa sekarang pukul 12.00" sebab jarum jamku memang menunjukkan bahwa sekarang pukul 12.00. (Abel, 23-24)6. Rangkuman
Berdasarkan uraian-uraian di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa pokok dalam rangkuman berikut ini:
6.1. Tahu atau mengetahui (kenal/mengenal) adalah gejala yang kodrati. Setiap manusia
selalu ingin untuk tahu/kenal sesuatu.
6.2. Tahu atau mengetahui adalah persatuan (union) antara subyek yang mengetahui (knowing subject) dan obyek yang diketahui (known object). Persatuan itu bersifat intrinsik.
6.3. Pengetahuan selalu berkembang, tidak secara tuntas mencapai kesempurnaan, karena keterbatasan rasio manusia.
6.4. Gejala tahu atau pengetahuan dimiliki oleh makluk hidup. Karena terdapat tingkatan tingkatan makluk hidup, maka ada gradasi pengetahuan. Tetapi pengetahuan dalam arti sesungguhnya hanya terdapat pada manusia, sebab hanya manusia yarig memiliki rasio
6.5. Pengetahuan terdiri dari tiga unsur yakni subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui, dan aktivitas pengetahuan itu sendiri
6.6. Pengalaman bukan pengetahuan, tapi dapat merupakan insentif kepada pengetahuan. Pengalaman dapat menjadi obyek pengetahuan.
0 komentar:
Post a Comment