Di dalam bab terdahulu telah dibahas Fenomena Lingkungan Perilaku, dimana salah satu unsurnya adalah Konsep-konsep Fenomena Perilaku Manusia. Berikut ini akan dibahas konsep-konsep tersebut yang meliputi: Kepadatan, Kesesakan, Privasi, Personal space, dan Teritorialitas. Beberapa konsep lain seperti Stres dan Perilaku Penyesuaian Diri (yang amat berkaitan dengan Kepadatan dan Kesesakan), Ketetanggan dan Defensible Space akan dibahas dalam bab tersendiri.
A. KEPADATAN
Kepadatan atau density ini ternyata mendapat perhatian yang serius dari ahli-ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worchel dan Cooper, 1983) ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, can jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.
Selain itu pengamatan yang dilakukan oleh Dubos (dalam Setiadi, 1991) terhadap jenis tikus Norwegia, menunjukkan bahwa apabila jumlah kelompok telah terlalu besar (over populated), maka terjadi penyimpangan perilaku tikus-tikus itu dengan menceburkan diri ke laut. Hal ini diakibatkan oleh tidak berfungsinya otak secara wajar karena kepadatan tinggi tersebut. Tentu saja hasil penelitian terhadap hewan ini tidak dapat diterapkan pada manusia secara langsung karena manusia mempunyai akal dan norma dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, untuk penelitian kepadatan pada manusia cenderung didasarkan pada data sekunder yaitu data-data yang sudah ada, dari data-data tersebut diamati gejala-gejala yang sering muncul dalam masyarakat.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihat kan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan.
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, balk pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.
Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan balk karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:
a. karakteristik seting fisik
b. karakteristik seting sosial
c. karakteristik personal
d. kemampuan beradaptasi
Keempat faktor ditambah dengan kepadatan tersebut dapat dirangkum pada gambar berikut:
Berdasarkan keterangan dan gambar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kepadatan dan kesesakan bukanlah suatu hubungan sebab-akibat, melainkan kepadatan merupakan salah satu syarat terjadinya kesesakan. Berikut ini akan dibahas kategori kepadatan dan akibat-akibat kepadatan tinggi.
1 . Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu da.lam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategor, , yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu. Altman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar; dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu. seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.
Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
1. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah;
2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah; dan
3. Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;
4. Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan cumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.
2. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Pada bagian sebelumnya telah disajikan secara singkat beberapa bahasan mengenai akibat-akibat kepadatan tinggi, terutama pada penelitian pendahuluan pada binatang dan penelitian lanjutan pada manusia.
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling, 1978).
Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).
Akibat secara psikis antara lain:
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,
1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk
menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan Mc Farling, 1978; Holahan, 1982).
B. KESESAKAN
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan mernerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal¬hal yang berkatan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Pendapat lain datang dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
Berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan dan pengaruh kesesakan terhadap perilaku
1 . Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.
a) Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan.tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai kontrol terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol priba di di dalamnya. Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987).
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia. Sundstrom (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mem pengaruhi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru.
Bell dan kawan-kawan (1978) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. (Adaptasi dan habituasi akan banyak dibahas pada bagian lain buku ini). Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal di kawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.
Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitaskreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif, yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti untuk makan, tidur, dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.
Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.
b) Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatriya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu fihak dan seorang yang terisolasi di lain fihak (Gifford, 1987).
c) Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhu bungan dengan orang-orang tersebut.
d) Informasi yang tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).
Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubun gan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.
Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tunggal, kompleks perumahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah itu rumah tunggal (unit hunian tunggal).
Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) dan Dibyo Hartono (1986) dalam hubungannya dengan urutan lantai pada rumah susun, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan karena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisa memandang lingkungan yang lebih luas melalui jendelanya daripada penghuni lantai bawah.
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain:
a) Besarnya skala lingkungan
Dalam suatu seting ada tanda-tanda fisik dan psikologis. Tanda-tanda fisik adalah kawasan industri, taman, jalan-jalan, dan lain-lain. Adapun tanda-tanda psikologis seperti sikap terhadap kaum urban, privasi, dan perbandingan dengan kota-kota lain. Perasaan sesak yang terjadi pada skala kecil (tempat tinggal) sebaiknya diprediksikan dengan faktor-faktor fisik dan psikologis, tetapi bila terjadi pada skala yang lebih besar akan lebih balk bila diprediksikan hanya dengan faktor psikologis. Kesimpulan tersebut diambil dari hasil penelitian mengenai pengukuran pengaruh fisik dan psikologis terhadap kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh skala geografis yang digunakan untuk melihat situasi itu dan perbedaan faktor-faktor pada masing-masing skala yang menyebabkan individu menyimpulkan bahwa dirinya merasa sesak.
b) Variasi arsitektural
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) ditemukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.
McCartey dan Saegert (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horisontal, kehidupan di bangunan vertikal dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negatif seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat diantara sesama penghuni.
Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang bisa diasosiasikan dengan perasaan sesak yang rendah, yaitu plafon yang tinggi sehingga menimbulkan kesan luas dan menambah sirkulasi udara. Ruang yang berbentuk persegi panjang lebih balk karena tidak menimbulkan kesan kaku bila dibandingkan dengan ruang yang bujur sangkar. Perlunya jendala dan pintu yang memadai yang dapat berfungsi untuk mengalihkan kejenuhan.
Altman (1975) dan Bell dkk. (1978) menambahkan faktor situasional sebagai faktor yang mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan (lingkungan primer-sekunder), tipe suasana (suasana kerja rekreasi), dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan).
2. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku
Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan -(Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan menurunnya
kualitas hidup (Freedman, 1973).
Banyak literatur dan penelitian-penelitian yang membahas tentang pengaruh kesesakan terhadap kehidupan manusia. Sampai sekarang ada beberapa ahli yang tetap beranggapan bahwa kesesakan tidak hanya berpengaruh negatif bagi individu tetapi bisa juga berpengaruh positif.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengataman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpuian bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negatif terhadap subjek penelitian.
Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, sires, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
lndividu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosornatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
Worchel clan Cooper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama-asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak dikunjungi oleh mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di asrama daripada yang tinggal sendiri.
Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982).
Dari beberapa penelitian Baum dkk. (dalam Fisher dkk., 1984) menyimpulkan bahwa kepadatan sosial lebih aversif daripada kepadatan ruang. Kepadatan ruang sering memunculkan masalah hanya pada laki-laki saja karena dalam situasi padat laki-laki lebih bersikap kompetitif. Kebanyakan masalah kepadatan muncul karena terlalu banyaknya orang dalam suatu ruangan daripada masalah-masalah yang ditimbulkan karena terbatasnya ruang.
Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan terhadap perilaku. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).
Menurut hipotesis interaksi yang tidak diinginkan (the unwanted-inter-action hypothesis), efektif negatif dari kesesakan terjadi karena dalam situasi sesak kita menemui lebih banyak interaksi dengan orang lain daripada yang kita inginkan (Baum & Valine dalam Watson dkk., 1984). Sementara menurut hipotesis kehilangan kontrol (the loss of control hypothesis), akibat negatif dari kesesakan terjadi karena kesesakan menyebabkan kita kehilangan kontrol selama kejadian (Baron & Rodin, 1978; Schmidt & Keating, 1979).
Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) kontrol pribadi yang kurang dan (4) stimulus yang berlebih.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan
kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olah raga atau menghadiri reuni atau resepsi.
C. PRIVASI
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).
Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.
Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira, 1966 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukkan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.
Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama, unit sosial yang digambarkan bisa berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya. Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukkan suatu kontrol yang selektif atau suatu proses yang aktif dan dinamis.
Kemudian Altman menjelaskan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengaruh dan pengontrol interaksi interpersonal. Kedua, merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain. Dan ketiga, memperjelas konsep diri dan iclentitas diri.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a). Perilaku verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya "Maaf, saya tidak punya waktu".
b). Perilaku non verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukkan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain.
c). Mekanisme kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chemers dalam Dibyo Hartono, 1986).
d). Ruang personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman, 1975) mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oleh orang lain. Ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada satu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Fisher dkk. (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Bergantung dengan siapa seseorang itu berhubungan. Keempat, pelanggaran ruang personal oleh orang lain akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa individu yang mempunyai kecenderungan berafiliasi tinggi, ekstrovert atau yang mempunyai sifat hangat dalam berhubungan interpersonal mempunyai ruang personal yang lebih kecil daripada individu yang introvert (Gifford, 1987)
e). Teritorialitas
Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap.
Sementara itu Marshall (dalam Holahan, 1982); Sarwono (1992) berusaha membuat alat yang berisi serangkaian pernyataan tentang privasi dalam berbagai situasi (dinamakan Privacy Preference Scale) dan ia menemukan adanya enam jenis orientasi tentang privasi yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu tingkah laku menarik diri (withdrawal) dan mengontrol informasi (control of information). Tiga orientasi yang termasuk dalam tingkah laku menarik diri adalah solitude (keinginan untuk menyendiri), seclusion (keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga serta kebisingan lalu lintas) dan intimacy (keinginan untuk dekat dengan keluarga dan orang-orang tertentu, tetapi jauh dari semua orang lain). Tiga orientasi lain yang termasuk dalam tingkah laku mengontrol informasi adalah anonymity (keinginan untuk merahasiakan jati din), reserve (keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain) dan not-neighboring (keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga).
Hampir sama dengan Marshall, Westin (dalam Altman, 1975; Wrightman & Deaux, 1981) menjadi privasi menjadi empat macam, yaitu solitude, in-timacy, anonymity dan reserve. Dalam solitude seseorang ingin menyendiri dan bebas dari pengamatan orang lain serta dalam kondisi privasi yang ekstrem. Intimacy ialah keadaan seseorang yang bersama orang lain namun bebas dari pihak-pihak lain. Anonymity ialah keadaan seseorang yang tidak menginginkan untuk dikenal oleh pihak lain, sekalipun ia berada di dalam suatu keramaiari umum. Sedang reserve ialah keadaan seseorang yang menggunakan pembatas psikologis untuk mengontrol gangguan yang tidak dikehendaki.
Upaya untuk mengejar estetika akan mempengaruhi privasi jika tidak dibarengi
dengan jarak dengan tetangga/lingkungan sekitarnya
(Rumah Tinggal Winkler Goetsch Karya Frank Lloyd Wright)
Sumber: Ishar (1994)
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain, dengan cara mendekati atau menjauhinya. Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budayadan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu. Menurut Sarwono (1992) privasi adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya.
Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengatur dan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Privasi dibagi menjadi dua macam, yaitu privasi rendah yang terjadi bila hubungan dengan orang lain dikehendak.i, dan privasi tinggi yang terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan orang lain dikurangi. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memperjelas identitas diri.
Holahan (1982) menyatakan enam jenis privasi, yaitu: 1) keinginan untuk menyendiri, 2) keinginan untuk menjauhi pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas, 3) kecenderungan untuk intim terhadap orang-orang tertentu (keluarga), tetapi jauh dari semua orang lain, 4) keinginan untuk merahasiakan jati diri agar tidak dikenal orang lain, 5) keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak, 6) keingi-nan untuk tidak terlibat dengan tetangga.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka kita dapat mengatakan bahwa konsep privasi ternyata sangat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas. Altman (1975) membuat suatu model organisasi konseptual. Altman mempertimbangkan ruang personal, teritorial, dan kesesakan untuk mencapai privasi.
1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Privasi
Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional, dan faktor budaya.
Faktor Personal. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak¬anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve saat is dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonim dan intimacy.
Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditemukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam merespon perbedaan keadaan antara ruangan yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi tiga orang. Dalam hubungannya dengan privasi, subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan subjek wanita tidak mempermasalahkan keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal itu rnenunjukkan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi di dalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah di sini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain di sekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku ban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukkan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal di dalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford, 1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) di suatu desa di bagian Selatan India menunjukkan bahwa semau keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukkan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang Arab dengan orang India.
Studi Patterson dan Chiswick (dalam Gifford, 1987) di bawah ini menggambarkan privasi masyarakat Iban, Serawak, Kalimantan. Orang¬orang Iban tinggal di rumah panjang dengan privasi yang (diduga) kurang, dimana kesempatan untuk menyendiri atau keintiman ada di belakang pintu¬pintu yang tertutup. Apakah orang-orang Iban memiliki privasi yang amat memprihatinkan? Atau apakah mereka tidak membutuhkan privasi? Patterson dan Chiswick menemukan orang Iban tampaknya membutuhkan privasi kira-kira sebanyak yang kita butuhkan, akan tetapi mereka melakukannya dengan mekanisme yang berbeda. Mekanisme-mekanisme ini adalah suatu kesepakatan sosial. Sebagai contoh, orang Iban memiliki cara khusus untuk berganti pakaian di daerah yang bersifat publik dengan cara yang sederhana. Terdapat aturan-aturan bagi anak-anak untuk mengurangi hal-hal yang tidak dinginkan dalam hubungannya dengan orang dewasa. Rumah panjang itu tertutup bagi anak-anak dalam banyak kesempatan. Pada saat mulai pubertas, ruang tidur anak mulai dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya.
2. Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka is akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang "sulit". Sementara hal yang senada diungkapkan oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri (Altman, 1975; Sarwono, 1992; Holahan, 1982). Proses mengenal dan menilai diri ini tergantung pada kemampuan untuk mengatur sifat dan gaya interaksi sosial dengan orang lain. Bila kita tidak dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negatif tentang kompetensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi proses ketelanjangan sosial dan proses deindividuasi (Sarwono, 1992).
Menurut Westin (dalam Holahan, 1982) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua, privasi membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.
D . PERSONAL SPACE (RUANG PERSONAL)
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Alt man, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain, menyebabkan orang lain tersebut merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang¬kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain:
Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain.
Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkan perkelahian.
Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarakjarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, sating membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spasial yang meliputi: jarak intim, jarak per¬sonal, jarak sosial, dan jarak publik. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman, 1975).
Pertama, jarak intim adalah jarak yang dekat/akrab atau keakraban dengan jarak 0 - 18 inci. Menurut Hall pada jarak yang akrab ini kemunculan orang lain adalah jelas sekali dan mungkin suatu saat akan menjadi sangat besar karena sangat meningkatnya masukan pancaindera. Penglihatan, papas tubuh orang lain, suara, bau, dan tarikan napas, semuanya menyatu sebagai tanda yang sangat jelas tentang keterlibatan orang lain. Pada jarak 0 - 6 inci (fase dekat pada jarak intim), kontak fisik merupakan suatu hal yang teramat penting. Hall menggambarkan, bahwa pada jarak ini akan mudah terjadi pada saat orang sedang bercinta, olahraga gulat, saling
menyenangkan, dan melindungi. Pada jarak ini ke mungkinan untuk menerima dan menyampaikan isyarat-isyarat komunikasi adalah sangat luar biasa. Seseorang dapat melihat dengan jelas keseluruhan orang yang sedang dihadapinya seperti tekstur kulitnya, kerut dan cacat wajahnya, warna matanya, tingkat keputihan bola matanya, kerutan pada keningnya, dan mulutnya. Pada jarak sedekat itu kita lebih dari sekedar melihat. Seseorang dapat menyentuh hampir semua bagian tubuh orang terebut atau dengan mudah memeluknya. Seseorang dapat membaui napas dan parfum, merasakan perbedaan panas tubuh dan deru napasnya. Hall menyimpulkan bahwa pada "daerah keakraban" tersebut kaya akan syarat-syarat yang potensial untuk berkomunikasi, yang juga menyajikan banyak hal tentang seseorang. Mungkin juga kondisi seperti ini, yang dikatakan Hall sebagai jarak yang biasanya diperuntukkan kepada "intimate lovers"— pasangan kekasih yang sudah sangat intim— dan suami istri, tidak disetujui umum.
Jika daerah/zona ini menyenangkan dalam suatu situasi, yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya, mungkin akan menjadi tidak menyenangkan dalam situasi lain. Misalnya, ketika orang dengan tidak sengaja terpaksa untuk masuk ke dalam elevator yang penuh sesak, mereka seringkali menjadi tidak bergerak/kaku, melihat dengan gugup kepada nomor-nomor lantai. Hal ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah sating melanggar "jarak kedekatan" (intimate distance), tetapi berusaha untuk berbuat yang terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Zona yang kedua adalah personal distance (jarak pribadi), yang memiliki jarak antara 1,5 - 4 kaki. Jarak ini adalah karak teristik kerenggangan yang biasa dipakai individu satu sama lain. Gangguan di luar jarak ini menjadi tidak menyenangkan. Jarak pribadi ini masih mengenal pembagian fase menjadi dua: fase dekat (1,5 - 2,5 kaki) dan fase jauh (2,5 - 4 kaki). Pada fase dekat masih memungkinkan banyak sekali pertukaran sentuhan, bau, pan dangan, dan isyarat-isyarat lainnya, meski tidak sebanyak pada intimate distance. Otot-otot wajah, pori-pori, dan rambut wajah, masih nampak/dapat dilihat, sama halnya pada intimate zone. Hall merasa bahwa pada fase dekat pada jarak personal ini diperuntukkan bagi pasangan intim. Pada fase jauh yang meliputi jarak 2,5 - 4 kaki, jaraknya dapat memanjang sampai jarak dimana masing-masing orang dapat sating menyentuh dengan mengulurkan tangannya. Di luar jarak ini menurut Hall seseorang tidak dapat dengan mudah memegang tangan orang lain. Pada jarak ini komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati, termasuk warna rambut, tekstur kulit, dan roman muka. Isyarat suara masih banyak, namun bau dan panas tubuh kadang-kadang tidak terdeteksi jika tidak menggunakan parfum. Zona jarak pribadi adalah transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.
Daerah ketiga adalah jarak sosial (social distance), yang mempunyai jarak 4 - 25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak sosial yang umum serta hubungan bisnis. Dalam penelitian di suatu kantor terbukti bahwa pada susunan bangku-bangku dan perabotan milik kantor sering disusun ternyata secara tak sengaja berdasarkan pada zona jarak sosial.
Pada bagian yang dekat dengan zona sosial tau pada jarak 4 - 7 kaki, kontak visual tidak begitu terselaraskan dengan baik dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Isyarat-isyarat vokal seperti kekerasan dan tinggi rendahnya suara dapat dengan mudah dideteksi, tetapi panas tubuh dan isyarat-isyarat sentuhan lainnya menjadi relatif tidak penting. Interaksi di antara orang yang secara dekat bekerja bersama dan di antara perkenalan-perkenalan yang terjadi secara kebetulan pada jarak ini, dan hal itu adalah jarak yang dapat diterima dan pantas dalam lingkungan umum. Hasil pengamatan Hall, bahwa orang-orang yang ada di bandara atau dalam percakapan umum di jalan-jalan dan kantor-kantor seringkali menjaga jarak satu sama lain di dalam range ini.
Fase yang ketiga adalah fase jauh atau dalam jarak 7 - 12 kaki, seringkali lebih formal, dimana pengamatan visual secara terinci seringkali terlewatkan, meskipun seluruh tubuh orang lain dapat dengan mudah dilihat. Panas tubuh, sentuhan dan bau biasanya tidak lagi ada pada jarak ini.
Daerah yang keempat/terakhir adalah Zona Publik, yaitu pada jarak 12 - 25 kaki atau jarak-jarak dimana isyarat-isyarat komunikasi lebih sedikit dibandingkan dengan daerah-daerah terdahulu. Jarak ini secara khusus disediakan untuk situasi-situasi formal atau pembicaraan umum atau orang-orang yang berstatus lebih tinggi, misalnya dalam kelas.
E. TERITORIALITAS
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975)
penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.
1. Elemen-elemenTeritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu:
(1) kepemilikan atau hak dari suatu tempat;
(2) personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu;
(3) hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar; dan
(4) pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutu han dasar psikologis sa.mpai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.
Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spasial yang salirig terkait satu sama lain:
1. Personal space, yang telah banyak dibahas di muka.
2. Home Base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya
rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian
kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan, maka Hussein EI-Sharkawy (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan empat tipe teritori yaitu: attached, central, supporting, & peripheral.
1. Attached Territory adalah "gelembung ruang" sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal.
2. Central Territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja,
dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi; Oscar Newman menyebutnya. "ruang privat".
3. Supporting Territory adalah ruang-ruang yang bersif at semi privat dan
semi publik. Pada semi privat terbentunya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang, atau area- area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang-ruang semi publik antara lain adalah: salah satu sudut ruangan dalam toko, kedai minum (warung), atau jalan kecil di depan rumah. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publik tidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Territory adalah ruang publik, yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu: teritorial primer, teritorial sekunder, dan teritorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utarna ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah negara, dan sebagainya.
2. Teritori Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona servis, dan sebagainya.
3. Teritorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh teritorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu: Stalls, Turns, dan Use Space.
a. Stalls
Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau diper gunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar di hotel, kamar-kamar di asrama, ruangan kerja, lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
b. Turns
Turns mirip dengan stalls, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin, dan sebagainya.
c. Use Space
Use Space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah Use Space" atau ruang terpakai yang dimiliki oleh orang itu. serta tidak dapat diganggu- gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.
Privasi suatu lingkungan dapat dicapai melalui pengontrolan teritorial. arena di dalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi:
1. Kebutuhan akan identitas, berkaitan dengan kebutuhan akan
kepemilikad, kebutuhan terhadap aktualisai diri, yang pada prinsipnya adalah dapat menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat;
2. Kebutuhan terhadap stimulasi yang berkaitan erat dengan aktualisasi
dan pemenuhan diri;
3. Kebutuhan akan rasa aman, dalam bentuk bebas dari kecaman, bebas
dari serangan oleh pihak luar, dan memiliki keyakinan diri;
4. Kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya (Lang dan Sharkawy dalam Lang, 1987).
Menurut Fisher dkk. (1984), pada teritori-teritori utama, suatu keluarga memiliki peraturan-peraturan teritorial yang memfasilitasi berfungsinya rumah tangga. Hal ini mendukung organisasi sosial keluarga dengan cara memperbolehkan perilaku-perilaku tertentu dilakukan oleh beberapa anggotanya, pada daerah-daerah tertentu (misalnya: orang tua dapat membangun keintiman di kamar tidur tanpa terganggu). Dalam satu studi tentang teritorialitas dalam kehidupan keluarga, ditemukan bahwa orang¬orang yang berbagi kamar tidur menunjukkan perilaku teritorial, seperti halnya individu-individu di meja makan (misalnya: dengan adanya pola tempat duduk). Anggota keluarga umumnya menghormati tanda-tanda teritorial yang lain, seperti misalnya pintu yang ditutup dan pelanggaran aturan-aturan teritorial seringkali berakibat pada penghukuman orang-orang yang melanggarnya.
Perilaku teritorial dalam kelompok tidak terbatas pada teritori utama saja. Lipman (1967) menemukan bahwa rumah peristirahatan membuat klaim yang hampir eksklusif atas kursi-kursi tertentu dalam ruang sehari-hari. Mereka mempertahankan "teritori" mereka meskipun akan mengakibatkan ketidaknyamanan fisik dan psikologis.
Pada suatu studi yang juga mendukung asumsi Altman (1975) tentang pembedaan konseptual antara teritori primer, sekunder dan umum, Taylor dan Stough (1978) menemukan bahwa subjek mela porkan merasa memiliki kendali yang lebih besar di teritori primer (misalnya kamar di asrama), diikuti oleh teritori sekunder (misalnya sekretariat perkumpulan) dan teritori umum (misalnya tempat minum, bar atau kafetaria). Pada banyak penelitian, perasaan mengendalikan atau mengontrol ini berkaitan dengan perasaan puas dan sejahtera (sense of well being), seperti juga efek positif lainnya (misalnya implikasi yang menguntungkan terhadap kesehatan). Dan studi yang dilakukan oleh Edney (1975) terhadap mahasiswa Universitas Yale memperjelas manfaat tambahan dari perasaan rnerasa berada di wilayah sendiri.
Penelitian ini dilaksanakan di kamar salah seorang dari pasangan yang ada, di suatu asrama (teritori primer), dimana anggota yang lain menjadi "tamu pengunjung". Subjek yang berada di wilayahnya sendiri dinilai (rated) oleh si tamu 13bih santai, daripada si pemilik tempat menilai tamunya, dan pemilik kamar menilai kamarnya lebih menyenangkan dan bersifat pribadi, daripada si tamu. Pemilik kamar juga menunjukkan perasaan kontrol pasif yang lebih besar. Pada studi yang berhubungan, Edney dan Uhlig (1977) melaporkan bahwa subjek yang terdorong untuk berpikir bahwa Lamar tersebut adalah teritorinya lebih tidak bergairah, mengatribusikan perila kunya lebih kepada kamarnya, dan menemukan setting tersebut lebih menyenangkan daripada yang lainnya dalam Lelompok kontrol.
Menurut Altman (1975), teritorial bukan lianya alat untuk menciptakan privasi saja, melainkan berfungsi pula sebagai alat untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial.
Perilaku teritorialitas manusia dalam hubungannya dengan lingkungan binaan dapat dikenal antara lain pada penggunaan elemen-elemen fisik untuk menandai demarkasi teritori yang dimiliki seseorang, misalnya pagar halaman. Teritorialitas ini terbagi sesuai dengan sifatnya yaitu mulai dari yang privat sampai dengan publik. Ketidakjelasan pemilikan teritorial akan menimbulkan gangguan terhadap perilaku.
LATIHAN SOAL
1. Bagaimana menjelaskan hubungan antara kepadatan dan kesesakan?
2. Sebutkan kategori kepadatan menurut Holahan dan Altman!
3. Kesesakan tidak selalu menimbulkan pengaruh yang negatif. Coba terangkan!
4. Apa kaitan antara desain arsitektur dengan kesesakan?
5. Bagaimana menurut anda cara mencapai privasi penghuni rumah dengan desain banyak menggunakan bukaan (kaca atau jendela terbuka)?
6. Apa perbeciaan mendasar antara teritorialitas dengan ruang personal?
7. Apa implikasi konsep teritorialitas terhadap desain rumah tinggal?
A. KEPADATAN
Kepadatan atau density ini ternyata mendapat perhatian yang serius dari ahli-ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worchel dan Cooper, 1983) ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, can jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.
Selain itu pengamatan yang dilakukan oleh Dubos (dalam Setiadi, 1991) terhadap jenis tikus Norwegia, menunjukkan bahwa apabila jumlah kelompok telah terlalu besar (over populated), maka terjadi penyimpangan perilaku tikus-tikus itu dengan menceburkan diri ke laut. Hal ini diakibatkan oleh tidak berfungsinya otak secara wajar karena kepadatan tinggi tersebut. Tentu saja hasil penelitian terhadap hewan ini tidak dapat diterapkan pada manusia secara langsung karena manusia mempunyai akal dan norma dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, untuk penelitian kepadatan pada manusia cenderung didasarkan pada data sekunder yaitu data-data yang sudah ada, dari data-data tersebut diamati gejala-gejala yang sering muncul dalam masyarakat.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihat kan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan.
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, balk pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.
Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan balk karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:
a. karakteristik seting fisik
b. karakteristik seting sosial
c. karakteristik personal
d. kemampuan beradaptasi
Keempat faktor ditambah dengan kepadatan tersebut dapat dirangkum pada gambar berikut:
Berdasarkan keterangan dan gambar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kepadatan dan kesesakan bukanlah suatu hubungan sebab-akibat, melainkan kepadatan merupakan salah satu syarat terjadinya kesesakan. Berikut ini akan dibahas kategori kepadatan dan akibat-akibat kepadatan tinggi.
1 . Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu da.lam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategor, , yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu. Altman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar; dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu. seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.
Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
1. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah;
2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah; dan
3. Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;
4. Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan cumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.
2. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Pada bagian sebelumnya telah disajikan secara singkat beberapa bahasan mengenai akibat-akibat kepadatan tinggi, terutama pada penelitian pendahuluan pada binatang dan penelitian lanjutan pada manusia.
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling, 1978).
Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).
Akibat secara psikis antara lain:
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,
1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk
menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan Mc Farling, 1978; Holahan, 1982).
B. KESESAKAN
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan mernerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal¬hal yang berkatan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Pendapat lain datang dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
Berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan dan pengaruh kesesakan terhadap perilaku
1 . Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.
a) Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan.tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai kontrol terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol priba di di dalamnya. Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987).
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia. Sundstrom (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mem pengaruhi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru.
Bell dan kawan-kawan (1978) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. (Adaptasi dan habituasi akan banyak dibahas pada bagian lain buku ini). Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal di kawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.
Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitaskreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif, yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti untuk makan, tidur, dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.
Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.
b) Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatriya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu fihak dan seorang yang terisolasi di lain fihak (Gifford, 1987).
c) Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhu bungan dengan orang-orang tersebut.
d) Informasi yang tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).
Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubun gan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.
Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tunggal, kompleks perumahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah itu rumah tunggal (unit hunian tunggal).
Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) dan Dibyo Hartono (1986) dalam hubungannya dengan urutan lantai pada rumah susun, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan karena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisa memandang lingkungan yang lebih luas melalui jendelanya daripada penghuni lantai bawah.
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain:
a) Besarnya skala lingkungan
Dalam suatu seting ada tanda-tanda fisik dan psikologis. Tanda-tanda fisik adalah kawasan industri, taman, jalan-jalan, dan lain-lain. Adapun tanda-tanda psikologis seperti sikap terhadap kaum urban, privasi, dan perbandingan dengan kota-kota lain. Perasaan sesak yang terjadi pada skala kecil (tempat tinggal) sebaiknya diprediksikan dengan faktor-faktor fisik dan psikologis, tetapi bila terjadi pada skala yang lebih besar akan lebih balk bila diprediksikan hanya dengan faktor psikologis. Kesimpulan tersebut diambil dari hasil penelitian mengenai pengukuran pengaruh fisik dan psikologis terhadap kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh skala geografis yang digunakan untuk melihat situasi itu dan perbedaan faktor-faktor pada masing-masing skala yang menyebabkan individu menyimpulkan bahwa dirinya merasa sesak.
b) Variasi arsitektural
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) ditemukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.
McCartey dan Saegert (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horisontal, kehidupan di bangunan vertikal dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negatif seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat diantara sesama penghuni.
Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang bisa diasosiasikan dengan perasaan sesak yang rendah, yaitu plafon yang tinggi sehingga menimbulkan kesan luas dan menambah sirkulasi udara. Ruang yang berbentuk persegi panjang lebih balk karena tidak menimbulkan kesan kaku bila dibandingkan dengan ruang yang bujur sangkar. Perlunya jendala dan pintu yang memadai yang dapat berfungsi untuk mengalihkan kejenuhan.
Altman (1975) dan Bell dkk. (1978) menambahkan faktor situasional sebagai faktor yang mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan (lingkungan primer-sekunder), tipe suasana (suasana kerja rekreasi), dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan).
2. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku
Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan -(Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan menurunnya
kualitas hidup (Freedman, 1973).
Banyak literatur dan penelitian-penelitian yang membahas tentang pengaruh kesesakan terhadap kehidupan manusia. Sampai sekarang ada beberapa ahli yang tetap beranggapan bahwa kesesakan tidak hanya berpengaruh negatif bagi individu tetapi bisa juga berpengaruh positif.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengataman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpuian bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negatif terhadap subjek penelitian.
Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, sires, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
lndividu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosornatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
Worchel clan Cooper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama-asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak dikunjungi oleh mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di asrama daripada yang tinggal sendiri.
Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982).
Dari beberapa penelitian Baum dkk. (dalam Fisher dkk., 1984) menyimpulkan bahwa kepadatan sosial lebih aversif daripada kepadatan ruang. Kepadatan ruang sering memunculkan masalah hanya pada laki-laki saja karena dalam situasi padat laki-laki lebih bersikap kompetitif. Kebanyakan masalah kepadatan muncul karena terlalu banyaknya orang dalam suatu ruangan daripada masalah-masalah yang ditimbulkan karena terbatasnya ruang.
Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan terhadap perilaku. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).
Menurut hipotesis interaksi yang tidak diinginkan (the unwanted-inter-action hypothesis), efektif negatif dari kesesakan terjadi karena dalam situasi sesak kita menemui lebih banyak interaksi dengan orang lain daripada yang kita inginkan (Baum & Valine dalam Watson dkk., 1984). Sementara menurut hipotesis kehilangan kontrol (the loss of control hypothesis), akibat negatif dari kesesakan terjadi karena kesesakan menyebabkan kita kehilangan kontrol selama kejadian (Baron & Rodin, 1978; Schmidt & Keating, 1979).
Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) kontrol pribadi yang kurang dan (4) stimulus yang berlebih.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan
kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olah raga atau menghadiri reuni atau resepsi.
C. PRIVASI
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).
Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.
Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira, 1966 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukkan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.
Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama, unit sosial yang digambarkan bisa berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya. Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukkan suatu kontrol yang selektif atau suatu proses yang aktif dan dinamis.
Kemudian Altman menjelaskan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengaruh dan pengontrol interaksi interpersonal. Kedua, merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain. Dan ketiga, memperjelas konsep diri dan iclentitas diri.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a). Perilaku verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya "Maaf, saya tidak punya waktu".
b). Perilaku non verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukkan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain.
c). Mekanisme kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chemers dalam Dibyo Hartono, 1986).
d). Ruang personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman, 1975) mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oleh orang lain. Ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada satu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Fisher dkk. (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Bergantung dengan siapa seseorang itu berhubungan. Keempat, pelanggaran ruang personal oleh orang lain akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa individu yang mempunyai kecenderungan berafiliasi tinggi, ekstrovert atau yang mempunyai sifat hangat dalam berhubungan interpersonal mempunyai ruang personal yang lebih kecil daripada individu yang introvert (Gifford, 1987)
e). Teritorialitas
Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap.
Sementara itu Marshall (dalam Holahan, 1982); Sarwono (1992) berusaha membuat alat yang berisi serangkaian pernyataan tentang privasi dalam berbagai situasi (dinamakan Privacy Preference Scale) dan ia menemukan adanya enam jenis orientasi tentang privasi yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu tingkah laku menarik diri (withdrawal) dan mengontrol informasi (control of information). Tiga orientasi yang termasuk dalam tingkah laku menarik diri adalah solitude (keinginan untuk menyendiri), seclusion (keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga serta kebisingan lalu lintas) dan intimacy (keinginan untuk dekat dengan keluarga dan orang-orang tertentu, tetapi jauh dari semua orang lain). Tiga orientasi lain yang termasuk dalam tingkah laku mengontrol informasi adalah anonymity (keinginan untuk merahasiakan jati din), reserve (keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain) dan not-neighboring (keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga).
Hampir sama dengan Marshall, Westin (dalam Altman, 1975; Wrightman & Deaux, 1981) menjadi privasi menjadi empat macam, yaitu solitude, in-timacy, anonymity dan reserve. Dalam solitude seseorang ingin menyendiri dan bebas dari pengamatan orang lain serta dalam kondisi privasi yang ekstrem. Intimacy ialah keadaan seseorang yang bersama orang lain namun bebas dari pihak-pihak lain. Anonymity ialah keadaan seseorang yang tidak menginginkan untuk dikenal oleh pihak lain, sekalipun ia berada di dalam suatu keramaiari umum. Sedang reserve ialah keadaan seseorang yang menggunakan pembatas psikologis untuk mengontrol gangguan yang tidak dikehendaki.
Upaya untuk mengejar estetika akan mempengaruhi privasi jika tidak dibarengi
dengan jarak dengan tetangga/lingkungan sekitarnya
(Rumah Tinggal Winkler Goetsch Karya Frank Lloyd Wright)
Sumber: Ishar (1994)
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain, dengan cara mendekati atau menjauhinya. Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budayadan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu. Menurut Sarwono (1992) privasi adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya.
Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengatur dan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Privasi dibagi menjadi dua macam, yaitu privasi rendah yang terjadi bila hubungan dengan orang lain dikehendak.i, dan privasi tinggi yang terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan orang lain dikurangi. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memperjelas identitas diri.
Holahan (1982) menyatakan enam jenis privasi, yaitu: 1) keinginan untuk menyendiri, 2) keinginan untuk menjauhi pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas, 3) kecenderungan untuk intim terhadap orang-orang tertentu (keluarga), tetapi jauh dari semua orang lain, 4) keinginan untuk merahasiakan jati diri agar tidak dikenal orang lain, 5) keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak, 6) keingi-nan untuk tidak terlibat dengan tetangga.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka kita dapat mengatakan bahwa konsep privasi ternyata sangat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas. Altman (1975) membuat suatu model organisasi konseptual. Altman mempertimbangkan ruang personal, teritorial, dan kesesakan untuk mencapai privasi.
1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Privasi
Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional, dan faktor budaya.
Faktor Personal. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak¬anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve saat is dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonim dan intimacy.
Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditemukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam merespon perbedaan keadaan antara ruangan yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi tiga orang. Dalam hubungannya dengan privasi, subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan subjek wanita tidak mempermasalahkan keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal itu rnenunjukkan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi di dalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah di sini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain di sekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku ban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukkan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal di dalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford, 1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) di suatu desa di bagian Selatan India menunjukkan bahwa semau keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukkan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang Arab dengan orang India.
Studi Patterson dan Chiswick (dalam Gifford, 1987) di bawah ini menggambarkan privasi masyarakat Iban, Serawak, Kalimantan. Orang¬orang Iban tinggal di rumah panjang dengan privasi yang (diduga) kurang, dimana kesempatan untuk menyendiri atau keintiman ada di belakang pintu¬pintu yang tertutup. Apakah orang-orang Iban memiliki privasi yang amat memprihatinkan? Atau apakah mereka tidak membutuhkan privasi? Patterson dan Chiswick menemukan orang Iban tampaknya membutuhkan privasi kira-kira sebanyak yang kita butuhkan, akan tetapi mereka melakukannya dengan mekanisme yang berbeda. Mekanisme-mekanisme ini adalah suatu kesepakatan sosial. Sebagai contoh, orang Iban memiliki cara khusus untuk berganti pakaian di daerah yang bersifat publik dengan cara yang sederhana. Terdapat aturan-aturan bagi anak-anak untuk mengurangi hal-hal yang tidak dinginkan dalam hubungannya dengan orang dewasa. Rumah panjang itu tertutup bagi anak-anak dalam banyak kesempatan. Pada saat mulai pubertas, ruang tidur anak mulai dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya.
2. Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka is akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang "sulit". Sementara hal yang senada diungkapkan oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri (Altman, 1975; Sarwono, 1992; Holahan, 1982). Proses mengenal dan menilai diri ini tergantung pada kemampuan untuk mengatur sifat dan gaya interaksi sosial dengan orang lain. Bila kita tidak dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negatif tentang kompetensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi proses ketelanjangan sosial dan proses deindividuasi (Sarwono, 1992).
Menurut Westin (dalam Holahan, 1982) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua, privasi membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.
D . PERSONAL SPACE (RUANG PERSONAL)
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Alt man, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain, menyebabkan orang lain tersebut merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang¬kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain:
Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain.
Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkan perkelahian.
Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarakjarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, sating membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spasial yang meliputi: jarak intim, jarak per¬sonal, jarak sosial, dan jarak publik. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman, 1975).
Pertama, jarak intim adalah jarak yang dekat/akrab atau keakraban dengan jarak 0 - 18 inci. Menurut Hall pada jarak yang akrab ini kemunculan orang lain adalah jelas sekali dan mungkin suatu saat akan menjadi sangat besar karena sangat meningkatnya masukan pancaindera. Penglihatan, papas tubuh orang lain, suara, bau, dan tarikan napas, semuanya menyatu sebagai tanda yang sangat jelas tentang keterlibatan orang lain. Pada jarak 0 - 6 inci (fase dekat pada jarak intim), kontak fisik merupakan suatu hal yang teramat penting. Hall menggambarkan, bahwa pada jarak ini akan mudah terjadi pada saat orang sedang bercinta, olahraga gulat, saling
menyenangkan, dan melindungi. Pada jarak ini ke mungkinan untuk menerima dan menyampaikan isyarat-isyarat komunikasi adalah sangat luar biasa. Seseorang dapat melihat dengan jelas keseluruhan orang yang sedang dihadapinya seperti tekstur kulitnya, kerut dan cacat wajahnya, warna matanya, tingkat keputihan bola matanya, kerutan pada keningnya, dan mulutnya. Pada jarak sedekat itu kita lebih dari sekedar melihat. Seseorang dapat menyentuh hampir semua bagian tubuh orang terebut atau dengan mudah memeluknya. Seseorang dapat membaui napas dan parfum, merasakan perbedaan panas tubuh dan deru napasnya. Hall menyimpulkan bahwa pada "daerah keakraban" tersebut kaya akan syarat-syarat yang potensial untuk berkomunikasi, yang juga menyajikan banyak hal tentang seseorang. Mungkin juga kondisi seperti ini, yang dikatakan Hall sebagai jarak yang biasanya diperuntukkan kepada "intimate lovers"— pasangan kekasih yang sudah sangat intim— dan suami istri, tidak disetujui umum.
Jika daerah/zona ini menyenangkan dalam suatu situasi, yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya, mungkin akan menjadi tidak menyenangkan dalam situasi lain. Misalnya, ketika orang dengan tidak sengaja terpaksa untuk masuk ke dalam elevator yang penuh sesak, mereka seringkali menjadi tidak bergerak/kaku, melihat dengan gugup kepada nomor-nomor lantai. Hal ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah sating melanggar "jarak kedekatan" (intimate distance), tetapi berusaha untuk berbuat yang terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Zona yang kedua adalah personal distance (jarak pribadi), yang memiliki jarak antara 1,5 - 4 kaki. Jarak ini adalah karak teristik kerenggangan yang biasa dipakai individu satu sama lain. Gangguan di luar jarak ini menjadi tidak menyenangkan. Jarak pribadi ini masih mengenal pembagian fase menjadi dua: fase dekat (1,5 - 2,5 kaki) dan fase jauh (2,5 - 4 kaki). Pada fase dekat masih memungkinkan banyak sekali pertukaran sentuhan, bau, pan dangan, dan isyarat-isyarat lainnya, meski tidak sebanyak pada intimate distance. Otot-otot wajah, pori-pori, dan rambut wajah, masih nampak/dapat dilihat, sama halnya pada intimate zone. Hall merasa bahwa pada fase dekat pada jarak personal ini diperuntukkan bagi pasangan intim. Pada fase jauh yang meliputi jarak 2,5 - 4 kaki, jaraknya dapat memanjang sampai jarak dimana masing-masing orang dapat sating menyentuh dengan mengulurkan tangannya. Di luar jarak ini menurut Hall seseorang tidak dapat dengan mudah memegang tangan orang lain. Pada jarak ini komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati, termasuk warna rambut, tekstur kulit, dan roman muka. Isyarat suara masih banyak, namun bau dan panas tubuh kadang-kadang tidak terdeteksi jika tidak menggunakan parfum. Zona jarak pribadi adalah transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.
Daerah ketiga adalah jarak sosial (social distance), yang mempunyai jarak 4 - 25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak sosial yang umum serta hubungan bisnis. Dalam penelitian di suatu kantor terbukti bahwa pada susunan bangku-bangku dan perabotan milik kantor sering disusun ternyata secara tak sengaja berdasarkan pada zona jarak sosial.
Pada bagian yang dekat dengan zona sosial tau pada jarak 4 - 7 kaki, kontak visual tidak begitu terselaraskan dengan baik dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Isyarat-isyarat vokal seperti kekerasan dan tinggi rendahnya suara dapat dengan mudah dideteksi, tetapi panas tubuh dan isyarat-isyarat sentuhan lainnya menjadi relatif tidak penting. Interaksi di antara orang yang secara dekat bekerja bersama dan di antara perkenalan-perkenalan yang terjadi secara kebetulan pada jarak ini, dan hal itu adalah jarak yang dapat diterima dan pantas dalam lingkungan umum. Hasil pengamatan Hall, bahwa orang-orang yang ada di bandara atau dalam percakapan umum di jalan-jalan dan kantor-kantor seringkali menjaga jarak satu sama lain di dalam range ini.
Fase yang ketiga adalah fase jauh atau dalam jarak 7 - 12 kaki, seringkali lebih formal, dimana pengamatan visual secara terinci seringkali terlewatkan, meskipun seluruh tubuh orang lain dapat dengan mudah dilihat. Panas tubuh, sentuhan dan bau biasanya tidak lagi ada pada jarak ini.
Daerah yang keempat/terakhir adalah Zona Publik, yaitu pada jarak 12 - 25 kaki atau jarak-jarak dimana isyarat-isyarat komunikasi lebih sedikit dibandingkan dengan daerah-daerah terdahulu. Jarak ini secara khusus disediakan untuk situasi-situasi formal atau pembicaraan umum atau orang-orang yang berstatus lebih tinggi, misalnya dalam kelas.
E. TERITORIALITAS
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975)
penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.
1. Elemen-elemenTeritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu:
(1) kepemilikan atau hak dari suatu tempat;
(2) personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu;
(3) hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar; dan
(4) pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutu han dasar psikologis sa.mpai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.
Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spasial yang salirig terkait satu sama lain:
1. Personal space, yang telah banyak dibahas di muka.
2. Home Base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya
rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian
kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan, maka Hussein EI-Sharkawy (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan empat tipe teritori yaitu: attached, central, supporting, & peripheral.
1. Attached Territory adalah "gelembung ruang" sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal.
2. Central Territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja,
dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi; Oscar Newman menyebutnya. "ruang privat".
3. Supporting Territory adalah ruang-ruang yang bersif at semi privat dan
semi publik. Pada semi privat terbentunya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang, atau area- area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang-ruang semi publik antara lain adalah: salah satu sudut ruangan dalam toko, kedai minum (warung), atau jalan kecil di depan rumah. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publik tidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Territory adalah ruang publik, yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu: teritorial primer, teritorial sekunder, dan teritorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utarna ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah negara, dan sebagainya.
2. Teritori Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona servis, dan sebagainya.
3. Teritorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh teritorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu: Stalls, Turns, dan Use Space.
a. Stalls
Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau diper gunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar di hotel, kamar-kamar di asrama, ruangan kerja, lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
b. Turns
Turns mirip dengan stalls, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin, dan sebagainya.
c. Use Space
Use Space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah Use Space" atau ruang terpakai yang dimiliki oleh orang itu. serta tidak dapat diganggu- gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.
Privasi suatu lingkungan dapat dicapai melalui pengontrolan teritorial. arena di dalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi:
1. Kebutuhan akan identitas, berkaitan dengan kebutuhan akan
kepemilikad, kebutuhan terhadap aktualisai diri, yang pada prinsipnya adalah dapat menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat;
2. Kebutuhan terhadap stimulasi yang berkaitan erat dengan aktualisasi
dan pemenuhan diri;
3. Kebutuhan akan rasa aman, dalam bentuk bebas dari kecaman, bebas
dari serangan oleh pihak luar, dan memiliki keyakinan diri;
4. Kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya (Lang dan Sharkawy dalam Lang, 1987).
Menurut Fisher dkk. (1984), pada teritori-teritori utama, suatu keluarga memiliki peraturan-peraturan teritorial yang memfasilitasi berfungsinya rumah tangga. Hal ini mendukung organisasi sosial keluarga dengan cara memperbolehkan perilaku-perilaku tertentu dilakukan oleh beberapa anggotanya, pada daerah-daerah tertentu (misalnya: orang tua dapat membangun keintiman di kamar tidur tanpa terganggu). Dalam satu studi tentang teritorialitas dalam kehidupan keluarga, ditemukan bahwa orang¬orang yang berbagi kamar tidur menunjukkan perilaku teritorial, seperti halnya individu-individu di meja makan (misalnya: dengan adanya pola tempat duduk). Anggota keluarga umumnya menghormati tanda-tanda teritorial yang lain, seperti misalnya pintu yang ditutup dan pelanggaran aturan-aturan teritorial seringkali berakibat pada penghukuman orang-orang yang melanggarnya.
Perilaku teritorial dalam kelompok tidak terbatas pada teritori utama saja. Lipman (1967) menemukan bahwa rumah peristirahatan membuat klaim yang hampir eksklusif atas kursi-kursi tertentu dalam ruang sehari-hari. Mereka mempertahankan "teritori" mereka meskipun akan mengakibatkan ketidaknyamanan fisik dan psikologis.
Pada suatu studi yang juga mendukung asumsi Altman (1975) tentang pembedaan konseptual antara teritori primer, sekunder dan umum, Taylor dan Stough (1978) menemukan bahwa subjek mela porkan merasa memiliki kendali yang lebih besar di teritori primer (misalnya kamar di asrama), diikuti oleh teritori sekunder (misalnya sekretariat perkumpulan) dan teritori umum (misalnya tempat minum, bar atau kafetaria). Pada banyak penelitian, perasaan mengendalikan atau mengontrol ini berkaitan dengan perasaan puas dan sejahtera (sense of well being), seperti juga efek positif lainnya (misalnya implikasi yang menguntungkan terhadap kesehatan). Dan studi yang dilakukan oleh Edney (1975) terhadap mahasiswa Universitas Yale memperjelas manfaat tambahan dari perasaan rnerasa berada di wilayah sendiri.
Penelitian ini dilaksanakan di kamar salah seorang dari pasangan yang ada, di suatu asrama (teritori primer), dimana anggota yang lain menjadi "tamu pengunjung". Subjek yang berada di wilayahnya sendiri dinilai (rated) oleh si tamu 13bih santai, daripada si pemilik tempat menilai tamunya, dan pemilik kamar menilai kamarnya lebih menyenangkan dan bersifat pribadi, daripada si tamu. Pemilik kamar juga menunjukkan perasaan kontrol pasif yang lebih besar. Pada studi yang berhubungan, Edney dan Uhlig (1977) melaporkan bahwa subjek yang terdorong untuk berpikir bahwa Lamar tersebut adalah teritorinya lebih tidak bergairah, mengatribusikan perila kunya lebih kepada kamarnya, dan menemukan setting tersebut lebih menyenangkan daripada yang lainnya dalam Lelompok kontrol.
Menurut Altman (1975), teritorial bukan lianya alat untuk menciptakan privasi saja, melainkan berfungsi pula sebagai alat untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial.
Perilaku teritorialitas manusia dalam hubungannya dengan lingkungan binaan dapat dikenal antara lain pada penggunaan elemen-elemen fisik untuk menandai demarkasi teritori yang dimiliki seseorang, misalnya pagar halaman. Teritorialitas ini terbagi sesuai dengan sifatnya yaitu mulai dari yang privat sampai dengan publik. Ketidakjelasan pemilikan teritorial akan menimbulkan gangguan terhadap perilaku.
LATIHAN SOAL
1. Bagaimana menjelaskan hubungan antara kepadatan dan kesesakan?
2. Sebutkan kategori kepadatan menurut Holahan dan Altman!
3. Kesesakan tidak selalu menimbulkan pengaruh yang negatif. Coba terangkan!
4. Apa kaitan antara desain arsitektur dengan kesesakan?
5. Bagaimana menurut anda cara mencapai privasi penghuni rumah dengan desain banyak menggunakan bukaan (kaca atau jendela terbuka)?
6. Apa perbeciaan mendasar antara teritorialitas dengan ruang personal?
7. Apa implikasi konsep teritorialitas terhadap desain rumah tinggal?
Jadikan setiap Postingan untuk ajang DISKUSI dan saling BERBAGI agar ilmu anda semakin berkembang dan berguna bagi orang lain.
Gunakan Kolom Komentar di bawah ini untuk menyampaikan PENDAPAT/ OPINI sebagai bentuk partisipasi untuk mencerdaskan bangsa.
0 komentar:
Post a Comment