Nama untuk mata kuliah ini ialah Filsafat Ilmu (The Philosophy of Science). Sengaja hal ini digarisbawahi sebab kita Bering mendengar istilah Filsafat Ilmu Pengetahuan. Masalahnya terletak pads salah kaprah dalam bahasa lndoncsia. Seperti akan disinggung dalam baris-baris berikut, salah kaprah ini menjadi salah satu faktor mengapa filsafat ilmu Bering disarnakan dengan filsafat pengetahuan, meskipun keduanya memang sangat berkaitan erat. Di dunia akademis, kita mengenal pula istilah filsafat pengetahuan. Jadi ada tiga ungkapan: filsafat ilmu, filsafat ilmu pengetahuan, dan filsafat pengetahuan. Filsafat Ilmu adalah padanan dari istilah bahasa Inggris Philosophy of Science, sedangkan Filsafat Pengetahuaii adalah padanan dari bahasa Inggris epistemology. Kata epistemologi sendiri berasal dari bahasa ' Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu atau teori). Kata lain untuk epistemologi ialah gnoseologi (dari bahasa Yunani gnose = pengetahuan, dan logos = ilmu atau teori). Sedangkan Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah salah kaprah terjemahan Philosophy of Science.
Bab ini lebih merupakan pendahuluan dan perkenalan awal dengan ilmu yang merupakan salah satu cabang dari filsafat ini. Diharapkan dari pembahasan ini dapat diketahui dengan lebih jelas arti filsafat ilmu, hubungannya (persamaan dan perbedaan) dengan ilmu-ilmu lain, kedudukannya dalam seluruh filsafat, serta manfaat praktisnya.
2. Filsafat Ilmu dan Filsafat Pengetahuan
Seperti disinggung di atas, sebagian kalangan akademis kita menggunakan istilah Filsafat Ilmu, sedangkan sebagian lain lebih suka memakai Filsafat Ilmu Pengetahuan. Kelompok yang menggunakan istilah Filsafat Ilmu menganggap istilah ini lebih tepat karena merupakan terjemahan dari istilah Inggris Philosophy of Science. Padahan kata science dalam bahasa Indonesia adalah ihnu, bukan ilmu pengetahuan. Menerjemahkan science dengan ilmu pengetahuan adalah salah kaprah. Sedangkan kelompok yang menggunakan istilah Filsafat Ilmu Pengetahuan mengatakan istilah filsafat ilmu pengetahuan tidak salah. Prokontra itu bukan isapan jempol, tapi benar-benar ada. Buktinya, kita menemukan buku-buku dengan kedua judul di atas. Situasi ini tentu saja memprihatinkan karena terjadi di lingkup disiplin filsafat. Ini jelas sangat membingungkan para pemula di bidang studi filsafat.
Pernah, prokontra ini menjadi polemik di kalangan akademisi. Nampaknya, polemik itu berakhir begitu saja, karena kini kita masih menemukan buku-buku dengan kedua judul di atas. Kita kutip pendapat Jujun S. Suriasumantri, seorang ilmuwan yang sejak awal mempertahankan istilah Filsafat Ilmu. Dia berpendapat bahwa istilah yang lebih tepat, dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, ialah filsafat ilmu. Menurut dia, penggunaan istilah filsafat ilmu pengetahuan tidak tepat, sebab pengetahuan adalah genus, sedangkan ilmu adalah species. Oleh sebab itu keduanya tak dapat disejajarkan. Sedangkan ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. (Jujun, 9)
Epistemologi sendiri berarti teori pengetahuan (dari bahasa Yunani: episteme = pengetahuan; logos = teori. Dari akar kata ini muncul istilah epistemology dalam bahasa Inggris). Jadi, epistemologi pada dasarnya berarti teori tentang pengetahuan. Kalau begitu, apa beda filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan?
Dalam buku ini digunakan istilah filsafat ilmu, bukan filsafat ilmu pengetahuan. Memang, nampaknya filsafat ilmu pengetahuan adalah istilah yang salah kaprah. Kita, sebagai pengguna bahasa Indonesia, berkewajiban mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Menggunakan istilah atau ungkapan yang salah kaprah adalah awal yang tidak terpuji, lebih-lebih dalam kuliah filsafat.
Karena ilmu dan pengetahuan tidak sama (pengetahuan merupakan genus, ilmu adalah species), maka filsafat ilmu tidak sama persis dengan filsafat pengetahuan. Bahwa kedua istilah itu disamakan dalam pemaksian di kalangan akademis, itu soal lain. C. Verhaak, dalam buku Filsafat Ilmu Pengetahuan menjelaskan sebagai berikut: filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan adalah episteme sesuai pandangan Aristoteles. Filsafat pengetahuan memeriksa sebab-musabah itu bertolak dari gejala pengetahuan dalam hidup sehari-hari, antara lain kebenaran, kepastian, obyektivitas, abstraksi, intuisi, asal usul dan tujuan pengetahuan. Filsafat ilmu juga mempelajari semuanya itu, namun karena sudah meneliti dan membicarakan sebab musabah pertama tadi, filsafat ilmu dalam hal ini tidak menambah sesuatu yang baru. (Verhaak,.12-13).
C.A. van Peursen, dalam buku Susunan Ilmu Pengetahuan (tcrjemahan, Gramedia, 1989) memulai bab I dengan subjudul menantang: Filsafat Ilmu, Apakah Memang Ada? Dia kemudian menjawab bahwa memang ada filsafat ilmu. Menurut van Peursen, filsafat ilmu adalah renungan mengenai apakah ilmu itu, yakni tentang struktur dan fungsi ilmu. Menurut dia, filsafat ilmu mempunyai dua tendensi, yakni tendensi mctafisik, dan tendensi metodologik. Tendensi metafisik mempelajari dasar-dasar ilmu, sedangkan tendensi kedua menyelidiki metodologi ilmu. Disini dipelajari cara kerja dan susunan ilmu. (van Peursen, 1-3)
Dari pandangan-pandangan di atas menjadi jelas bahwa filsafat ilmu memang tidak sama begitu saja dengan filsafat pengetahuan, analog dengan perbedaan antara ilmu dan pengetahuan. Menurut van Peursen, filsafat ilmu merupakan perpanjangan dari ilmu tentang pengetahuan, atau penerapan teori pengetahuan pada pengetahuan ilmiah. Filsafat pengetahuan atau teori pengetahuan menelaah struktur dan kesahihan pengetahuan insana, yang mencakup antara lain kegiatan mengamati, mengingat, menyangka, dan bernalar. Jadi, bidang yang lebih luas dari pengetahuan ilmiah. Dalam arti lebih sempit, filsafat ilmu mencakup penerapan pendapat-pendapat, baik klasik maupun modem, tentang teori pengetahuan pada ilmu (van Peursen, 79)
Jadi, filsafat ilmu sebetulnya merupakan salah satu penyelidikan atau refleksi lanjutan (second reflection). Posisinya sama dengan refleksi lanjutan lain seperti sejarah ilmu, psikologi ilmu, atau sosiologi ilmu (tentu saja ada perbedaannya!) Kita tahu bahwa para ilmuwan (di bidangnya masing-masing) melakukan penyelidikan terhadap obyckobyek dan masalah-masalah -khusus di bidangnya. Yang dilakukan filsafat ilmu ialah melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah itu. Disini perhatian tidak lagi terkonsentrasi pada obyek-obyek penyelidikan ilmiah tersebut tapi dialihkan kepad4 proses penyelidikannya itu sendiri. Jelas, segi-segi yang menonjol dan latar belakang seluruh kegiatan tampil kedepan. Maka akan lebih jelas terlihat saling kaitan antara obyek-obyek dan metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dan tujuan penyelidikan ilmiah, antara pendekatan alamiah dan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah. (Beerling dkk, 1)
Dari penjelasan-penjelasan tadi kita dapat menyimpulkan bahwa filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan atau teori pengetahuan (epistemologi) itu berbeda. Filsafat ilmu merupakan perpanjangan dari teori pengetahuan. Hanya saja, seperti dikatakan Verhaak, karena baik filsafat ilmu maupun filsafat pengetahuan (dalam konsep Aristoteles) merupakan episteme (yang* berarti manusia tidak hanya tahu tentang sesuatu, tapi tahu mengapa sesuatu itu) yakni pengetahuan sampai ke sebab musababnya, maka filsafat ilmu tidak dapat menambah suatu yang baru lagi.
Hubungan yang sangat erat antara filsafat ilmu dan epistemologi dapat dilihat dari penjelasan Beerling berjkut ini. Menurut BeerIing, dua lapangan penyelidikan filsafat ilmu adalah pertama, sifat pengetahuan ilmiah, dan kedua, cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah. Pada bidang penyelidikan yang pertama, filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan/epistemologi, yang secara umum menyelidiki syaratsyarat dan bentuk-bentuk pengetahuan manusia. Pada bidang penyelidikan kedua, filsafat ilmu berhubungan erat dengan logika dan metodologi. Tidak heran, kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan pengertiannya dengan metodologi. (Beerling, 3-4)
Jelas disini, cakupan penyelidikan filsafat ilmu lebih luas dibanding filsafat pengetahuan, karena ia juga menyelidiki metodologi bagaimana pengetahuan ilmiah itu diperoleh. Tapi, karena itu pula filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan, seringkali disamakan (:anpa disadari), sampai-sampai epistemologi disinonimkan dengan filsafat ilmu.
3. Definisi Filsafat Ilmu
Di bawah ini diberikan definisi tentang epistemologi. Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, definisi ini diberikan untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang apa itu filsafat ilmu.
3.1. Definisi Nominalis
Epistemologi berasal dari kata bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Jadi, epistemologi ialah teori pengetahuan. Kata gnoseologi (nama lain dari epistemologi) berasal dari bahasa Yunani gnosis = tahu/pengetahuan dan logos = ilmu.
3.2. Definisi Realis
Berdasarkan asal usul kata di atas, dikemukakan sejumlah definisi tentang epistemologi. Definisi apa saja yang diberikan, selalu mengandung unsur-unsur dasar tersebut. Secara sederhana filsafat ilmu dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari hakikat ilmu. Profesor Beerling dkk, dalam buku Pengantar Filsafat Ilmu, mendefinisikan filsafat ilmu sebagai penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Rupanya yang lebih padat dan lengkap adalah definisi yang diberikan oleh Runnes. Dia mengatakan bahwa epistemologi adalah
"cabang filsafat yang menyelidiki asal-usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan (the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge).
Agar filsafat ilmu betul-betul dibedakan dari ilmu, Beerling dkk, dalam buku yang sama menulis sebagai berikut: "...Filsafat Ilmu tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam kenyataannya, melainkan mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat mengatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah." (Beerling, 2).
The Liang Gie, dalam buku Pengantar Filsafat Ilmu, memberikan sebuah daftar definisi filsafat ilmu sekedar untuk memperkaya pemahaman. Tapi, toh akhir-akhirnya apa yang menjadi pusat perhatian filsafat ilmu ialah asal-usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Hanya saja setiap filsuf memberikan tekanan terhadap unsur-unsur tertentu dalam definisinya. Alfred Cyril Ewing, misalnya, berkata: "istilah filsafat ilmu biasanya diterapkan pada cabang logika yang membahas dalam suatu cam khusus metode-metode dari berbagai macam ilmu". Di sini Ewing menekankan unsur metode. Sebaliknya, A.R.Lacey, menekankan unsur metodenya ilmu. Berdasarkan obyek formalnya, filsafat ilmu (philosophy of science) punya nama lain, seperti teori ilmu (theory of science), adiilmu (metascience), metodologi (methodology), dan ilmu tentang ilmu (science of science atau scientia scientiarum). Rudolf Carnap mendefinisikan epistemologi sebagai science of science yang tugasnya ialah melakukan analisis dan deskripsi tentang ilmu dari berbagai sudut pandang, termasuk logika, metodologi, sosiologi, dan sejarah ilmu. (The Liang Gie, 57-62)
4. Obyek Filsafat Ilmu
Kita membedakan obyek material dan obyek formal. Yang dimaksudkan dengan obyek material filsafat ilmu (dan juga ilmu-ilmu lain) ialah sesuatu atau obyek yang diselidiki, dipelajari, dan diamati. Sedangkan obyek formal filsafat ilmu (dan ilmu-ilmu lain) ialah sudut pandang (angle) dalam penyelidikan atau pengamatan. Sebuah ilmu dibedakan dari ilmu lain karena obyek formalnya. Dengan perkataan lain, dari sudut obyek material, beberapa ilmu mempunyai kesamaan, tapi berdasarkan obyek formal, ilmu-ilmu itu berbeda.
4.1. Obyek Materialy
Obyek material Filsafat Ilmu ialah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) atau ilmu. Obyek material filsafat ilmu sama dengan obyek material beberapa ilmu lain seperti sejarah ilmu, psikologi ilmu, atau sosiologi ilmu. Semuanya mempelajari ilmu-ilmu. Misalnya, psikologi ilmu adalah cabang psikologi yang memberikan penjelasan tentang proses-proses psikologis yang menunjang ilmu. Hasil penelitian bidang ini dapat merumuskan pentingnya faktor psikologis pada kreativitas proses penyusunan hipotesis ilmiah. Demikian juga unsur psikologis dalam persepsi, khususnya persepsi pada observasi ilmiah. (Toeti Herati Noerhadi, Kata Pengantar dalam Metologi Ilmu Pengetahuan, A.B.Shah, ix).
4.2. Obyek Formal
Obyek formal Filsafat Ilmu ialah asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu. Dalam kaitan dengan ini, C.A. van Peursen menyebutkan adanya dua kecenderungan dalam filsafat ilmu, yakni tendensi metafisik dan metodologik. Pada tendensi metafisik, filsafat ilmu misalnya bertanya apakah ruang yang digunakan ilmu ukur itu merupakan suatu yang sungguh-sungguh ada sebagai ruang mutlak atau hanya skematisasi (rengrengan) yang dipaksakan pada gejala-gejala oleh pengamatan manusia? Filsafat ilmu juga mempertanyakan bagaimana peranan hukum sebab-akibat dalam realitas alam. Juga diselidiki misalnya: bagaimana sifat pengetahuan yang mendasari ilmu? Apakah gejala historis dapat ditampilkan dalam suatu ilmu berdasarkan alsan-alasan obyektif? Menyangkut tendensi metodologik, filsafat ilmu memusatkan perhatian pada data relevan. dan konstruksi argumentasi sahih. Pertanyaan yang diajukan misalnya: apa itu verifikasi (tasdik) dan falsifikasi? Apa peran sebuah hipotesis? Adakah penalaran induktif dan deduktif? (Peursen, 1-2)
5. Hubungan antara FiLsafat Ilmu dengan Ilmu-Ilmu Lain
Yang dimaksudkan dengan ilmu-ilmu lain di sini adalah apa yang disebut van Peursen sebagai second reflection (refleksi atau penyelidikan lanjutan), yakni ilmu-ileriu yang obyek formalnya adalah pengetahuan ilmiah. Jadi, tidak dimaksudkan ilmu-ilmu yang obyek materialnya adalah realitas umum. Di sini hanya dikemukakan tiga ilmu yakni sejarah ilmu, psikologi ilmu, dan sosiologi ilmu.
1. Sejarah Ilmu
Sejarah Ilmu menganalisa dan menerangkan hubungan-hubungan kesejenisan enter berbagai ilmu dari aspek sejarah. Filsafat ilmu, seperti dijelaskan di atas, menyelidiki juga tentang anal usul ilmu. Jadi, dalam hal ini ada persamaan antes sejarah ilmu dan filsafat ilmu. Hanya saja, filsafat ilmu punya sudut pandang khan yang tidak digunakan oleh sejarah ilmu yakni care kerja ilmu-ilmu.
5.2. Psikologi Ilmu
Psikologi Ilmu menyelidiki proses-proses psikologis yang menunjang ilmu. Ini akan sangat berguna bagi kreativitas proses penyusunan hipotesis ilmiah. Filsafat ilmu juga menyelidiki hal-hal ini. la mempelajari, misalnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan persepsi indera (sense perception) dan bagaimana proses pengetahuan berlangsung. Tetapi, filsafat ilmu memiliki kekhasan yang tidak dimiliki psikologi ilmu, yakni menyelidiki care kerjanya ilmu itu sendiri.
5.3. Sosiologi Ilmu
Sosiologi Ilmu menyelidiki proses-proses, struktur-struktur, faktor-faktor dan syaratsyarat yang berlaku pads penyelenggaraan kegiatan ilmiah secara kolektif. Ini juga dilakukan oleh filsafat ilmu, tetapi lagi-lagi disini keduanya berbeda menurut obyek formal, karena filsafat ilmu justru mempertanyakan validitas ilmu itu sendiri (Beerling, hlm.2)
Sejarah ilmu, psikologi ilmu, dan sosiologi ilmu menyelidiki later belakang den hubungan-hubungan faktual, mempertanyakan kembali secara de facto asal mule yang mempertumbuhkan serta memungkinkan atau pule yang merintangi dan membatasi timbulnya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah.
Tetapi, filsafat ilmu mempertanyakan kembali secara de jure landasan-landasan den azas-a7as yang memungkinkan ilmu untuk memberikan pembenaran terhadap diri sendiri dan terhadap ape yang dianggap benar. Jadi, perbedaan filsafat ilmu dan ketiga ilmu itu terletak pads masalah yang hendak dipecahkan, dan metode yang digunakan. Filsafat ilmu tidak saja menyelidiki cars penyelenggaraan ilmu, tapi juga metodologi ilmu, yakni azas-azas den alasan yang menyebabkan ilmu mengklaim diri memperoleh pengetahuan ilmiah. (Beerling dkk, 2-3)
6. Sejarah Singkat
Epistemologi, sebagai cabang filsafat, mempunyai sejarah yang sangat panjang. Guna lebih memahami ilmu ini, perlu kita melihat sejenak sejarah perkembangannya sejak zaman Yunani klasik. Apa yang dibicarakan di sini hanya merupakan tahap-tahap penting
dalam perkembangan epistemologi hingga mencapai kedudukannya di antara ilmu-ilmu dewasa ini.6.1.Masa Yunani Kuno hingga Plato
Epistemologi berawal di Yunani kuno dengan munculnya kaum sofis di masa Socrates. Mereka menentang kemungkinan adanya pengetahuan. Kaum sofis adalah kelompok intelektual yang memulai corak baru filsafat Yunani. Filsafat sebelum sofisme berorientasi kepada alam, sedangkan sejak muncuinya kaum sofisme orientasi lebih kepada manusia (yang mencapai puncaknya pada Socrates, Plato, dan Aristoteles). Protagoras, salah seorang sofis terkemuka, berpendapat bahwa apa yang tampak merupakan satu-satunya realitas yang dapat diketahui. Tiap orang adalah ukuran segalagalanya (man is the meassure of all things), kata Protagoras. Karena pengetahuan bergantung pada pengalaman seseorang (berarti benar tidaknya pengetahuan ditentukan oleh orang per orang), maka pengetahuan itu bersifat relatif. Artinya, apa yang benar bagi si A, boleh saja tidak dianggap benar bagi si B, C, D, dan seterusnya.
Socrates dan Plato, dua filsuf utama Yunani yang baru muncul sedikit sesudah para sofis, menentang relativisme pengetahuan yang diajarkan oleh para sofis. Untuk itu Socrates memperkenalkan konsep definisi yang menurut dia menunjukkan hakikat atau ciri utama dari sesuatu. Definisinya diperoleh melalui metode induksi (dia sendiri tidak menggunakan istilah ini), di mana dicari unsur-unsur yang sama dari berbagai benda. Jadi, menurut Socrates, hakikat sesuatu ditunjukkan lewat definisi, bukannya pendapat relatif dari orang per orang. Jadi, ada kebenaran obyektif.
Plato juga berpendapat bahwa pengetahuan itu bersifat independen. Artinya, obyek pengetahuan bersifat independen dari subyek yang mengetahui. Dalam buku Theaetetus. Plato menolak pandangan yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah persepsi. karena sensasi yang menyertai persepsi bersifat subyektif sebab bergantung pada subyek. Obyek, kata Plato, tidak terlalu bergantung pada subyek. Pandangan bahwa pengetahuan dan persepsi mempunyai kaitan erat kemudian memunculkan dua pandangan yang saling bertentangan, yakni dualisme dan realisme.
Dengan asumsi bahwa pengetahuan tidak berubah dan obyeknya adalah realitas,
Plato mengemukakan dalam buku Republic, teori forma (bentuk). Meourut Plato, karena dunia pengalaman indra selalu berubah, maka ia tak dapat menjadi obyek pengetahuan (dan sebab itu tidak riil). Menurut Plato, yang menjadi obyek pengetahuan ialah forma
(bentuk) atau idea-idea, dan idea-idea hanya dapat dikenal oleh rasio. Bagi Plato, pengetahuan adalah keyakinan yang terbukti benar (true belief justified by an account). Defisini klasik ini bertahan sangat lama, dan baru bisa digugurkan pada tahun 1960-an.
6.2. Aristoteles dan sesudahnya.
Aristoteles menerima defisini pengetahuan sebagai keyakinan yang terbukti benar, tapi menolak teori forma yang dikemukakan Plato. Dia mengatakan pembenaran itu terjadi melalui pengalaman indra. Aristoteles menyusun sebuah metode rinci untuk mempelajari pengetahuan dalam logika, yang merupakan standar bagi argumen filosofis selama sekitar 2000 tahun.
Pada abad 3 Masehi, Sextus Empiricus menghidupkan kembali skeptisisme yang diajarkan para sofis dengan menerima kritik Plato terhadap persepsi (skeptisisme indraindra) dan menyetujui penolakan Aristoteles atas rasio murni (skeptisisme rasio) sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Sextus menegaskan bahwa tidak mungkin ada pengetahuan. Di masa abad pertengahan, masalahnya bukan tentang apakah pengetahuan mungkin atau tidak mungkin, tetapi tentang sumber pengetahuan dan presuposisi pengetahuan.
6.3. Masa Modern
Sejak abad 16 hingga abad 19, masalah epistemologi terutama berkisar pada soal metodologi. Setelah matematika dan ilmu fisika mencapai kemajuan pesat, metodologi rasio murni (rasionalisme) dan pengalaman indra (empirisme) mengklaim diri sebagai sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Para penganut rasionalisme (Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan G.W. von Leibniz) berpendapat bahwa sumber dan ujian terakhir pengetahuan adalah penalaran deduktif yang didasarkan pada aksioma-aksioma yang dengan sendirinya benar. Pandangan ini memang menjelaskan, kepastian pengetahuan tetapi tidak menjelaskan mengapa ada keyakinan yang keliru. Para penganut empirisme (John Locke, George Berkeley, dan David Hume) sebaliknya menegaskan bahwa pengetahuan bersumber dan dibenarkan melalui pengalaman indra. Mereka'ini memang membuktikan kesalahan, tapi tak dapat membuktikan kepastian pengetahuan tentang dunia. Dengan mengatakan bahwa karena pengetahuan akan penyebab kejadian-kejadian didasarkan pada pesepsi (yang selalu bisa salah), kita tak pernah merasa pasti bahwa suatu penyebab tertentu akan selalu punya efek yang diharapkan - juga berlaku bagi hukum dasar ilmu, maka Hume sebenarnya menolak induksi itu sendiri. Pada abad 19 John Stuart Mill mencoba memformulasikan metode induksi untuk membuktikan hukum kausalitas dan matematika. Filsuf Jerman Immanuel Kant mencoba mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dengan menerima unsur rasio dan pengalaman dalam pengetahuan. Menurut Kant, kita memiliki kepastian tentang dunia pengalaman (phenommenon) karena kita mengkonstruksi dunia tersebut, tapi kita tak dapat mengetahui dunia sebagai adanya (noumenon). Karena dunia pengalaman dikonstruksi mcnurut hukum-hukum . matematika dan kausalitas, tidak perlu membuktikan aplikasi universal dari hukum-hukum ini pada pengalaman. ' Kemudian aliran realisme dan idealisme mengikuti pandangan Kant di atas. Para penganut neorealis seperti G.E.Moore menerima pandangan bahwa benda-benda adalah seperti yang kelihatan. Bagi para idealis, yang berpendapat bahwa segala-galanya ada dalam akal budi, arti kebenaran menjadi masalah. Mereka menerima teori koherensi kebenaran, yang mengatakan bahwa standar kebenaran adalah konsistensi logis dari sebuah proposisi dengan sebuah sistem proposisi-proposisi yang lebih luas. Pandangan ini ditolak oleh filsuf-filsuf seperti Ludwig Wittgestein karena suatu sistem keyakinan yang salah juga dapat konsisten secara internal. Wittgestein menerima teori korespondensi kebenaran, di mana kebenaran dilihat sebagai relasi antara idea atau proposisi dan obyeknya. Filsafat analitik dan linguistik, fenomenologi, dan pragmatisme juga merupakan aliran-aliran dalam filsafat yang coba menyelesaikan masalah-masalah epistemologi, dengan mengangkat kembali masalah hakikat pengetahuan.
7. Manfaat Belajar Filsafat limit
Apakah filsafat ilmu itu bermanfaat? Sebagai cabang filsafat, pertanyaan ini tentu harus dikaitkan dengan pertanyaan: apakah filsafat itu bermanfaat? Bahwa berfilsafat itu berarti masuk dunia yang abstrak, tidak seorang pun yang membantah. Bahwa filsafat itu tidak terlalu dituntut untuk memasuki pasar tenaga kerja modem (dibandingkan misalnya dengan ilmu komputer, psikologi, ekonomi, manajemen, akuntansi, dan hukum), tidak kita sangkal. Jarang jarang kita temukan persyaratan untuk suatu lowongan kerja (yang dimuat di koran atau majalah) mencantumkan ijazah filsafat sebagai persyaratan. Tetapi, bukan hanya faktor-faktor itu menentukan bermanfaat tidaknya filsafat atau filsafat ilmu. Disini bukanlah tempatnya untuk. berdebat tentang apakah filsafat ilmu itu bermanfaat atau tidak. Kita andaikan bahwa ilmu ini memang bermanfaat (salah satu petunjuknya ialah bahwa filsafat ilmu menjadi mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi, termasuk Universitas Gunadarma. Sebab, jika tidak berguna maka tidak akan diajarkan dan wajib diikuti oleh mahasiswa). Patut dicatat bahwa di negara-negara maju filsafat ilmu sudah sangat maju dan dianggap sebagai salah satu cabang ilmu yang penting demi kemajuan ilmu itu sendiri. Kecenderungan ini menjalar ke Indonesia. Beberapa tahun terakhir, filsafat ilmu sudah menjadi mata kuliah wajib di berbagai perguruan tinggi. Ini juga merupakan indikasi bahwa cabang filsafat ini dianggap bermanfaat, paling kurang di mata para perencana pendidikan dan kebudayaan pemerintah.
Manfaat belajar Filsafat Ilmu, menurut A.M.W. Pranarka (dalam bukunya Epistemologi Dasar: Sebuah Pengantar) dapat dilihat berdasarkan tiga pertimbangan, yakni pertimbangan strategis, kebudayaan, dan pendidikan. Di bawah ini diuraikan secara singkat tentang pertimbangan-pertimbangan tersebut.
7.1. Pertimbangan Strategis
Ilmu merupakan kekuatan yang membentuk kebudayaan, menggerakkan sejarah, dan mengubah dunia. Sejarah menunjukkan bahwa evolusi peradaban manusia selalu digerakkan oleh ilmu. Segala aspek kehidupan umat manusia rriengalami perubahan total setelah terjadinya revolusi ilmu di abad pertengahan. Teknologi, yang merupakan penerapan ilmu, dewasg ini telah mengubah seluruh aspek kehidupan modern.
Alvin Toffler, dalam buku PowershiJt, menyebutkan tiga jenis kekuasaan di zaman ini, yakni kekerasan, teknologi, dan uang. Dari ketiganya, teknologi memiliki kekuasaan paling besar. Kemajuan ilmu dan teknologi merupakan unsur pendorong kemajuan peradaban manusia. Berkat ilmu dan teknologi, manusia mampu mengontrol alam untuk kepentingan manusia. Teknologi merupakan perpanjangan tangan manusia yang melengkapi apa yang kurang pada manusia.
Sebaliknya, kita juga menyadari keterbataan-keterbatasan teknologi. Tidak jarang terjadi, teknologi mendatangkan malapetaka bagi manusia. Teknologi nuklir yang digunakan untuk kepentingan bangsa manusia (misalnya sebagai sumber tenaga penggerak dalam transportasi, penerangan, dan lain-lain) seringkali kali mendatangkan bencana. Contoh, teknologi nuklir dapat digunakan dalam perang antarbangsa yang mengakibatkan penghancuran massal. Ketidakhati-hatian dalam mengelola teknologi nuklir dapat mengakibatkan kebocoran seperti yang terjadi di Chernobyl, Russia. Manusia, berkat teknologi, mampu mengadakan penelitian dan membuat obat-obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, tetapi salah pemakaian obat-obat itu juga justru mendatangkan kesengsaraan dan masalah baru. Kemajuan teknologi biomedis memungkinkan manusia menciptakan fotokopi manusia (cloning), tapi prestasi ini serentak memunculkan persoalan etis yang sulit dipecahkan.
Krisis epistemologi seringkali memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk, seperti dogmatisme totaliter, skeptisisme radikal, dan relativisme mutlak. Semuanya berkaitan pula dengan berbagai krisis kemasyarakatan. Krisis epistemologi tidak jarang menimbulkan berbagai pertentangan, rasa saling curiga, dan permusuhan di antara manusia.
Jadi, ilmu membuktikan diri sebagai kekuatan yang sering disalahgunakan sehingga mendatangkan kesengsaraan umat manusia. Untuk mencegah hal tersebut, kita perlu mempelajari secara mendalarn hakikat, sifat, dan struktur ilmu sehingga ilmu dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan dan hakikatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita perlu mempelajari filsafat ilmu (Pranarka,l9-22).
7.2. Pertimbangan KebudaysanPengetahuan merupakan salah satu unsur kebudayaan, bersama unsur-unsur lain seperti teknologi, ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, seni, dan religi. Dengan ilmu, manusia membudayakan dirt, membudayakan alam, membudayakan masyarakat. Perkembangan kebudayaan selalu berjalan beriringan dengan perkembangan ilmu. Revolusi ilmu di Eropa merupakan dinamisator kelahiran kebudayaan modern. Proses itu sendiri telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti keagamaan, moral, hukum, politik, kemasyarakatan, ideologi, dan lain-lain. Jadi, epistemologi merupakan penggerak kebudayaan modem.
Sejalan dengan itu, muncul krisis-krisis sebagai ekor panjang dari perkembangan masyarakat yang digerakkan oleh perkembangan ilmu. Ada krisis pangan, krisis energi, krisis ekonomi, krisis perdamaian, krisis lingkungan hidup. Dan manusia mendambakan lahirnya suatu tatanan baru yang lebih manusiawi. Salah satu hal penting yang harus dilakukan ialah mempelajari epistemologi. Dengan mempelajari epistemologi, kita dapat menghindarkan diri dari hal-hal negatif yang dalam sejarah lebih kelihatan di masyarakat Barat.
7.3. Pertimbangan Pendidikan
Hubungan antara filsafat ilmu dan pendidikan sangat erat. Seperti dikatakan di atas, ilmu ikut membentuk pertumbuhan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Keduanya selalu berjalan seiring. Usaha pcndidikan selalu berkaitan dengan ilmu. Bahkan, dalam pendidikan, ilmu memperoleh porsi yang sangat besar.
Salah satu pokok utama dalam kaitan dengan pendidikan di sekolah ialah kurikulum. Dan kurikulum tidak dapat dipisahkan dari ilmu (materi, komposisi, metodologi, silabus, clan sistem evaluasinya). Mereka yang terlibat dalam perencanaan kurikulum clan pendidikan pada umumnya perlu mengetahui hakikat clan pertumbuhan ilmu itu sendiri. Pendidikan merupakan kunci kemajuan. Tengok saja, pendidikan sangat ditekankan di negara-negara maju. Kemiskinan dan kebodohan dapat diberantas tuntas dengan pendidikan. Dengan pendidikan dibangun juga sikap yang tepat terhadap ilmu. Sikap yang benar ialah: bukan manusia untuk pengetahuan, tetapi pengetahuan untuk manusia. Untuk tujuan tersebut kita perlu mendalami asal, tujuan, ciri, dan hakikat ilmu. Dan itu dilakukan dengan mempelajari epistemologi (Pranarka,29-31).
8. RangkumanBerdasarkan pembahasan di atas, kita mengemukakan beberapa pokok pikiran sebagai
rangkuman di bawah ini:
8.1. Filsafat Ilmu adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat dan batas-batas
pengetahuan, asal usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan manusia.
Epistemologi juga mempelajari masalah-masalah lain yang berkaitan dengan itu, seperti
persepsi indra (sense perception), hubungan natar subyek yang mengetahui dan obyek
yang diketahui, jenis jenis pengetahuan dan tingkat-tingkat kepastian bagi setiap jenis
pengetahuan, hakikat kebenaran, serta hakikat dan justifikasi inferensi.
8.2. Obyek formal filsafat ilmu ialah tujuan dan cara kerja ilmu-ilmu. Itulah kekhasan
filsafat ilmu dibanding ilmu-ilmu lain yang juga mempelajari ilmu, seperti sejarah ilmu,
sosiologi ilmu, dan psikologi ilmu.
8.3. Belajar filsafat ilmu itu sangat bermanfaat, antara lain dari aspek strategi,
kebudayaan, dan pendidikan. Dari aspek strategi, dengan mendalami hakikat ilmu, umat
manusia dapat menghindarkan diri dari kekeliruan-kekeliruan dalam proses
perkembangan ilmu dan teknologi yang dapat membawa kesengsaraan bagi umat
manusia. Dari aspek kebudayaan, mempelajari epistemologi dapat membaiau manusia
mengatasi pelbagai krisis yang terjadi dalam perkembangan kebudayaan manusia. Dad
aspek pendidikan, 'epistemologi memungkinkan maausia menyadari sepenuhnya fungsi
utama dari ilmu, yakni melayani manusia (jadi, bukan manusia untuk ilmu).
0 komentar:
Post a Comment