Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Wednesday, March 24, 2010

Kisah Penggugah Hati - Kumpulan Kisah Chicken Soup For The Soul

Wednesday, March 24, 2010
Suara Malaikat

Diantara marinir-marinir AS yang berperang melawan Jepang pada PD II, ada seorang pemuda berusia 21 tahun, Kopral William Devers, yang menyatakan dirinya atheis. Tak satupun argument, kutipan Alkitab atau paksaan dari teman-teman marinirnya atau pendeta tentara yang dapat menggoyahkannya. Selama kompi Mayor Satu menghadapi Jepang, sejumlah unit terbunuh dan pendeta tentara terluka. Dalam kesakitan yang amat sangat,pendeta itu memanggil Devers, “ Di kantongku sebelah kiri…ambillah..kumohon… Semalam aku bermimpi. Dalam mimipi malaikat menampakkan diri dan mengatakan bahwa Aku harus membuatmu mengambil Alkitab ini. Ambillah nak, kumohon.” Devers memasukkan ALkitab itu ke dalam kantongnya untuk memuaskan orang yang terluka itu.

20 menit kemudian, pasukan Kopral Devers tertangkap oleh patroli Jepang, dan sebelumnya dia mengetahui apa yang telah terjai, dia tergeletak ditanah, pikirannya menghadapi kegelapan, pasti dia sedang sekarat. Ketika dia sadar, dia merasakan luka tembak di dadanya, tidak ada darah.

Peluru menembus ke dalam Alkitab yang dibawanya di dalam kantong, bersarang di kitab Mazmur, yang berbunyi demikian, :
“Walau seribu orang rebah disisimu, dan sepuluh ribu disebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu.”


James Pruitt

Santo Petrus di Pintu Surga

Tiga orang laki-laki meninggal pada waktu bersamaan dan berakhir di hadapan Santo Petrus di Pintu Surga. Santo Petrus berkata kepada laki-laki pertama, “Mengapa aku harus membiarkanmu masuk?”
Laki-laki itu menjawab, ”Saya seorang dokter dan saya telah menyembuhkan banyak orang.”
Santo Petrus berkata, ”Baiklah, kamu boleh masuk.”

Santo Petrus berkata kepada laki-laki kedua, ”Mengapa aku harus membiarkanmu masuk?”
Laki-laki itu menjawab.”Saya seorang pengacara dan telah membebaskan banyak orang tak bersalah.”
Santo Petrus berkata, ”Baiklah, kamu boleh masuk.”

Santo Petrus berkata kepada laki-laki terakhir, ”Dan mengapa aku harus membiarkanmu masuk?”
Laki-laki itu menjawab, ”Saya mengelola sebuah Pusat Perawatan Kesehatan dan saya menolong orang-orang merawat kesehatannya dengan biaya murah.”
Santo Petrus berpikir sejenak mengenai hal ini dan berkata, ”Baiklah, kamu boleh masuk, tetapi kamu hanya dapat tinggal selama tiga hari!”

Alice Gray

Kehidupan Mulai ?

Seorang Pengkhotbah, seorang Pendeta, dan seorang Rabi, seperti biasanya masing-masing menikmati kopi di sebuah kedai kopi setempat. Di pagi hati yang istimewa itu, mereka mendiskusikan tentang titik awal sebuah kehidupan dimulai.

"Kehidupan mulai pada saat pembuahan," dengan empati Si Pendeta menjawab.

"Bukan," sanggah Si Rabi. "Saya percaya hidup mulai pada saat kelahiran."

Si Pengkhotbah menghirup kopinya sambil mempertimbangkan pertanyaan dengan hati-hati dan akhirnya berkata, "Anda berdua salah. Kehidupan mulai ketika anak bungsu meninggalkan rumah dan anjing peliharaan mati!"

Sepatu Emas untuk Yesus

Hanya empat hari sebelum Natal dimana semangatnya belum juga muncul di dalam diriku, bahkan sekali pun banyak mobil yang memenuhi perparkiran pertokoan di wilayah kami. Didalam took, lebih ara lagi. Kereta-kereta dorong belanjaan serta orang-orang yang berbelanja memadati setiap lorong.

Mengapa aku datang ke kota hari ini? Aku heran. Kakiku hampir sama sakitnya dengan kepalaku. Didalam daftarku berisi nama-nama orang yang katanya sih, tidak ingin dibelikan apa-apa, tetapi aku tahu mereka akan sedih jika aku tidak akan membelikan mereka sesuatu.

Membelikan seseorang yang telah memiliki segalanya dan menyayangkan harga barang yang mahal, aku pertimbangkan untuk membelikan apa saja asalkan sesuatu yang lucu.
Dengan tergesa-gesa aku memenuhi kereta belanjaanku dengan barang-barang yang masih tersisa dan segera keluar. Aku pilih antrian yang paling pendek, tetapi nampaknya bisa memakan waktu 20 menit mengantri.

Di depanku ada dua orang anak – seorang anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun dan seorang gadis cilik yang sedikit lebih muda. Anak laki-laki itu memakai sebuah mantel yang buruk, dengan sepatu tenis yang kebesaran terlihat jelas sobekan-sobekannya dalam celana jeansnya yang kependekan. Dia menyerahkan beberapa lembar dolar yang sudah lusuh dan tangannya yang kotor.

Si gadis cilik itu berpakaian serupa dengan kakaknya dan rambutnya tipis keriting. Dia membawa sepasang sandal rumah yang berkilauan seperti emas, sambil bersenandung mengikuti lagu natal yang diputar di toko, tidak tepat nada, tetapi dengan begitu gembira.
Ketika kami akhirnya sampai di meja kasir, gadis itu meletakkan barangnya di depan kasir dengan hati-hati. Dia memperlakukannya seperti barang yang berharga.

Kasir melihat label harganya. ”Harganya $6.09,” katanya.
Si anak laki-laki meletakkan uang dalam genggamannya sambil mencari-cari ke dalam kantongnya. Akhirnya dia mengumpulkan $3.12. ”Sepertinya kita harus meletakkannya kembali.” Dengan berani dia berkata. ”Kita kembali lagi lain waktu, mungkin besok.”
Seiring dengan pernyataan tersebut, terdengar isakan kecil dari si gadis cilik. ”Tetapi Yesus akan menyukai sepatu ini,” tangisnya.
”Baiklah, kita pulang dan bekerja lagi. Jangan menangis. Kita pasti kembali lagi,” jamin si kakak.

Dengan cepat aku memberikan $3.00 pada kasir. Anak-anak itu sudah lama mengantri. Dan, lagipula, ini kan Natal.
Tiba-tiba sepasang tangan memelukku dan sebuah suara kecil berkata, ”Terima kasih, nona.”
”Apa maksudmu saat mengatakan Yesus akan menyukai sepatu itu?’ aku bertanya.
Anak laki-laki itu menjawab, ”Ibu kami sedang sakit dan akan pergi ke surga. Kata Ayah, Ibu mungkin akan pergi sebelum Natal untuk tinggal bersama Yesus.”
Si gadis cilik berkata-kata. ”Guru Sekolah Minggu bilang bahwa jalan-jalan disurga adalah emas yang berkilau-kilau, sama seperti sepatu ini. Bukankah Ibuku akan terlihat cantik berjalan-jalan di sana dengan sepatu ini?”

Mataku basah saat aku melihat wajahnya yang penuh airmata.
”Ya,” jawabku, ”Ibumu pasti cantik dengan sepatu itu.”
Diam-diam, aku bersyukur kepada Tuhan karena telah memakai anak-anak ini untuk mengingatkanku akan semangat memberi yang sesungguhnya.

Helga Schmidt.

Mengapa?

"Di jalan aku melihat seorang gadis kecil
kedinginan dan menggigil dalam pakaiannya yang tipis,
dengan sedikit berharap akan makanan yang cukup.
Aku marah dan berkata kepada Tuhan :
'Mengapa Kau mengijinkan hal seperti ini?
'Mengapa Kau tidak melakukan sesuatu?'
Untuk beberapa saat Allah diam.
Namun malam itu, tiba-tiba Dia menjawab :
'Aku pasti melakukan sesuatu.'
Aku menciptakan engkau."

Bagaimana mencapai surga

Tiada hal yang lebih menunjukkan karakter seseorang selain dari pada hal apa yang ditertawakannya.
Pendeta Billy Graham menceritakan suatu waktu pada awal pelayanannya ketika dia tiba di sebuah kota kecil untuk berkhotbah di sebuah kebaktian. Karena ingin mengirim sebuah surat, dia bertanya kepada seorang anak laki-laki kecil dimana letak kantor pos. Setelah diberitahukan, Dr. Graham berterima kasih padanya dan berkata, ”Jika kamu datang ke Gereja Baptis sore ini, kamu akan mendengarkan saya bercerita bagaimana menuju surga.”
”Saya tidak berpikir akan pergi ke sana,” kata si anak kecil itu. ”Anda bahkan tidak tahu jalan menuju kantor pos.”

Masalah di Penginapan

Aku mengajar kelas 2 di London, Ontario, Canada dan diminta untuk memproduksi sebuah pertunjukan Natal. Beberapa orang berpikir apa yang terjadi bisa menjadi rusak, ketika orang-orang melihat cerita Natal yang mereka pernah lihat. Andalah hakimnya.

Setelah banyak berpikir dan mempertimbangkan, aku mendapatkan variasi-variasi untuk cerita Natal itu. Sebuah masalah adalah Ralph. Dia adalah seorang anak laki-laki berbadan besar untuk anak usia 9 tahun dan seharusnya sudah di kelas 4. Disamping besar, dia canggung, lamban bergerak dan lamban berpikir. Dia disenangi oleh semua anak, terutama mereka yang lebih muda -- dia bertingkah seperti pelindung.

Ralph ingin menjadi gembala dengan sebuah seruling. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku mempunyai peran yang lebih penting baginya. Sebagai pengurus rumah penginapan, aku beralasan, dia tidak perlu menghafal terlalu banyak. Ukurannya yang besar akan membuat adegan penolakannya terhadap Yusuf menjadi lebih impresif.

Kami berlatih dan berlatih, setiap anak merasakan pentingnya keberhasilan malam nanti. Auditorium dipenuhi dengan keluarga dan teman-teman untuk menyaksikan pertunjukan tahunan yang luar biasa.

Namun tak seorangpun baik penonton maupun pemain yang lebih menarik perhatian malam itu daripada Ralph.

Pertunjukan berlangsung tanpa kesalahan berarti sampai saat Yusuf muncul, berjalan perlahan, dengan lembut menolong Maria menuju sebuah penginapan. Dia mengetuk dengan keras pintu kayu penginapan.

Ralph sudah siap dan sedang menunggu.
"Apa yang kau inginkan?" dia bertanya, mendorong pintu hingga terbuka.
"Kami mencari sebuah kamar yang dapat disewa."
"Carilah mereka dimana saja," Ralph menatap lurus ke depan, tetapi dia berkata-kata dengan keyakinan. "Penginapan penuh."
"Tuan yang baik, kami sudah menanyakan ke mana-mana tetapi sia-sia. Kami sudah menempuh perjalanan yang jauh dan kami sangat kelelahan."
"Tidak ada kamar untukmu."
"Tolonglah, ini istriku Maria. Dia sedang hamil dan harus menemukan tempat untuk beristirahat malam ini. Tentu kau mempunyai beberapa tempat yang kecil untuknya. Dia begitu lelah."
Ralph memandang Maria. Ada jeda yang panjang. Penonton menjadi tegang.

"Tidak, pergilah!" aku memberitahukan.
Ralph hanya berdiri di sana.
Tiga kali aku memberitahukan dari balik panggung, setiap kali lebih keras dari sebelumnya. Malaikat-malaikat yang dibelakang panggung bersamaku juga mulai resah.
Akhirnya, Ralph secara otomatis mengulang perkataan yang sudah dipelajarinya selama berminggu-minggu latihan :
"Tidak, pergilah!"

Yusuf dengan sedih menggandeng Maria dan siap untuk pergi.
Pemilik penginapan tidak segera masuk ke penginapannya seperti yang telah diarahkan. Dia berdiri disana memandangi pasangan yang sedih itu, memandang dengan bingung, dengan mulut yang terbuka, dahinya mengkerut karena prihatin, matanya dipenuhi oleh air mata.
Tiba-tiba, sandiwara natal berubah total.

"Jangan pergi Yusuf. Tolong jangan pergi." Ralph memanggil.
"Bawa Maria kesini."
Wajahnya cerah kembali karena sebuah senyuman yang lebar. Dia membuka lebar tangannya.

"Kau boleh memiliki kamarku."
Dan akupun menangis. Kemuliaan Allah menyinari mereka, dan dalam waktu singkat, paduan suara malaikat menyanyikan lagu-lagu Natal

Dina Donohue

Saat Bersama Ayah

Satu hari seorang gadis kecil berusia sekitar lima tahun dan ayahnya datang ke perpustakaan sebelum dibuka. Aku membiarkan mereka masuk lebih awal karena ayahnya menjelaskan bahwa ia memiliki perjanjian dengan seorang dokter sebentar lagi dan segera akan pergi. Ia menjelaskan bahwa gadis kecilnya sangat senang berkunjung ke perpustakaan dan melihat buku-buku serta mainan.

Walaupun aku mengerjakan tugasku seperti biasa, aku dapat mendengar keduanya mengelilingi perpustakaan, mencari dan berbisik. Akhirnya aku mendengar gadsi kecil itu berkata, "Aku sebenarnya tidak begitu suka datang keperpustakaan dibandingkan bersama ayah." Pria itu memberi tahu anaknya bahwa ia tidak perlu membuat alasan; Ayahnya akan menyisihkan waktunya untuk bersama-sama dengan dia kapanpun yang ia inginkan.

Aku tersenyum saat mereka berdua meninggalkan perpustakaan, dan berpikir pada diriku sendiri bahwa hati gadis kecil itulah yang menjadi guru terbaik dibanding yang dapat dia pelajari dari buku-buku - atau setidaknya itulah kebenaran yang terpenting.

Marry Ellen Grisham

Aku Gadis Cilik Ayah

Pada suatu sore beberapa waktu yang lalu suamiku tinggal dirumah bersama dengan anak-anak sementara aku pergi berbelanja. Berbelanja untuk keluarga yang terdiri dari enam orang dan empat orang dari keluargaku adalah laki-laki sehingga membuatku agak sedikit repot, maka hari itu aku sampai di rumah larut malam.

Saat aku berjalan pulang ke rumah, semuanya sudah gelap dan sepi tidak seperti biasanya. Setelah kuletakkan kantong-kantong belanjaan, aku berjingkat ke kamar, diterangi oleh cahaya bulan lembut yang menerangi lewat jendela. Scott terbaring disana, kedua tangannya terlipat dibelakang kepalanya, memandang langit-langit. Ia terlihat sangat murung, dan aku segera berpikir ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

”Hai,” aku berkata dengan lembut dan duduk disisi tempat tidur. ”Ada apa?”
”Oh, aku hanya sedang berpikir tentang anak perempuanku,”ia tersenyum malu. ”Dan betapa aku sangat mengasihinya.”

Nyatanya malam itu bukanlah malam yang benar-benar menyenangkan. ”Apa yang terjadi dengan Rachel malam ini?” tanyaku.
”Begini,” ia menghela nafas dan mencari kata-kata yang tepat untuk melukiskan perasaannya. Aku tadi sedang membuat api unggun di luar rumah, dan telepon berdering. Aku berdiskusi cukup alot dengan seseorang dan aku marah. Setelah itu aku keluar rumah dan berjongkok dekat api unggun, dan tak lama, gadis kecl kita keluar dari rumah dan bersandar di dekatku.

”Ayah,’ia berkata, ’kau kelihatannya butuh sebuah pelukan.’” Ia berhenti sejenak dan menghela nafas dengan puas.
”Ia kekasih kecilku, kau tahu.”
”Aku tahu,” aku tersenyum sambil mengusap leher belakang suamiku. ”Dan aku harap ia akan selalu menjadi kekasih kecilmu.”

Sore keesokan harinya Scott pulang dari pekerjaannya dan menemukanku tertidur di sofa. Ia membangunkanku dan menggelitik hidungku dengan setangkai mawar merah. Sebelum sempat aku mengungkapkan terima kasihku, Rachel berlari dari ruangannya dan tersenyum lebar. Rambutnya yang ikal pirang kemerahan tersibak ke sana ke mari saat ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa disampingku. Di tangannya yang kecil dan lembut, ia memegang sebuah keranjang lavender berisi bunga-bunga daisi dan carnation merah muda yang segar. Tersemat di antaranya sebuah kartu dengan tulisan tangan Scott ”Terima kasih untuk pelukannya.

Mata coklat Rachel bersinar, dan ia tersenyum dengan senang ke arahku. ”Ibu hanya mendapat setangkai bunga. Ayah memberiku sekeranjang!”

Hari Kasih Sayang terhebat

Sebagai seorang remaja, aku bekerja di sebuah restoran di bagian Selatan California. Walaupun malam-malam di California biasanya hangat, pada malam di bulan Februari ini angin berhembus cukup kencang melalui pintu depan.

Sekitar pukul sembilan malam, segalanya terasa berjalan lambat dan aku mulai merasa kasihan pada diriku sendiri. Kau lihat, semua temanku pergi menonton film untuk merayakan hari kasih sayang, tetapi aku harus bekerja sampai restoran ini tutup.

Aku tidak begitu memperhatikan seorang pria yang baru saja memasuki restorant. Beberapa lembar daun terbang mengikutinya masuk. Suara angin meratap langsung berhenti terdengar begitu pintu menutup dengan sendirinya.

Aku menyibukkan diri dengan membuat lebih banyak kopi. Tiba-tiba pemilik restoran menyambar lenganku. ”Ini sangat aneh,” ia berbisik, ”ada seorang pria di ujung sana yang berkata ia tidak akan makan di sini jika bukan kau yang melayaninya.”

Aku menelan air liur. ”Apakah ia orang aneh?”
”Lihat saja sendiri,” katanya.

Kami dengan hati-hati mengintip pria misterius itu lewat pohon hiasan. Dengan pelan pria itu menurunkan menunya, menampakkan rambutnya yang tebal dan putih, matanya yang biru keabuan, dan senyum yang lebar di atas janggut putihnya. Ia mengangkat tangannya dan melambai.

”Itu bukanlah orang aneh!” kataku. ”Itu ayahku!”
”Maksudmu ia datang untuk melihatmu di tempat kerja?” Pemilik restoran terheran-heran. ”Bila kau ingin aku jujur, aku merasa ia agak aneh.”

Aku tidak berpendapat demikian. Aku merasa ayahku sangat rapi. Tetapi aku tidak membiarkan ayah tahu tentang pendapat pemilik restoran itu. Kasihan Ayah! Aku bersikap sangat tidak masa bodoh, mengatakan dengan cepat menu sup hari itu dan mencatat pesanannya sebelum seorangpun melihat ia meremas siku tanganku dan berkata, ”Terima kasih, sayang.”

Tetapi aku ingin kau tahu – aku tidak pernah melupakan malam itu. Kehadirannya di sana mewakili ribuan hal bagiku. Waktu ayah dengan diam-diam memperhatikanku membersihkan meja dan menuangkan kembali cangkir kopi yang kosong, aku dapat mendengar suaranya yang tak terucap memantul didinding :”Ayah disini. Ayah ingin mendukungmu. Ayah bangga padamu. Kau melakukan pekerjaan yang hebat. Pertahankan kerja kerasmu. Kau adalah gadisku. Ayah menyayangimu.”

Itu adalah hari kasih sayang yang terhebat dan terindah yang ku terima tahun itu.

Ku Dapati Dirinya Di Sana

Setiap tahun, hari jadiku mengikuti ritual yang sama. Ibuku datang menemuiku, pada hari akhir musim gugur itu, dan aku membukakan pintu. Ia berdiri di ambang pintu, angin meniupkan dedaunan di sekitar kakinya.

Udara terasa dingin, dan di tangannya terdapat kado ulang tahunku. Kadonya selalu benda kecil dan berharga, sesuatu yang sudah lama kuperlukan, hanya saja aku tak menyadarinya.
Aku membuka kado dari ibuku dengan hati-hati, lalu menyimpannya baik-baik bersama segala benda milik hatiku. Betapa rapuhnya kado-kado itu, dari tangan ibuku.

Andai ibuku dapat menemuiku pada hari jadiku hari ini, aku akan membawanya ke dalam kehangatan dapurku. Lalu kami akan minum teh bersama, dan menyaksikan daun gugur terempas di jendela.

Tak perlu buru-buru membuka kadoku, karena hari ini aku tahu bahwa aku telah membukanya saat aku membuka pintu depan dan mendapati dirinya di sana, angin meniupkan dedaunan di sekitar kakinya ...

Christina Keenan
From Chicken Soup for the Mother’s Soul

Prognosis

Seorang ibu muda telah didiagnosis mengidap sejenis kanker yang dapat diobati. Ia pulang dari rumah sakit, merasa tak nyaman akan penampilan fisiknya dan kerontokan rambut akibat radiasi.

Saat duduk di kursi dapur, anak lelakinya muncul diam-diam di pintu, memperhatikannya dengan rasa ingin tahu.

Saat ibunya memulai penjelasan yang sudah dilatihnya untuk membantu anaknya memahami apa yang dilihatnya, anak itu maju untuk membenamkan diri dalam pangkuannya.

Dengan seksama, ia meletakkan kepalanya pada dada sang ibu beberapa lama. Ibunya berkata, “Suatu saat nanti, mudah-mudahan dalam waktu dekat, Ibu akan sembuh seperti dulu lagi.”

Anak kecil itu duduk dan berpikir. Dengan kejujuran anak usia enam tahun, ia hanya menyahut, ”Rambutnya beda, tapi hatinya sama.”

Ibunya tak lagi harus menunggu untuk ”Suatu saat nanti, mudah-mudahan dalam waktu dekat” untuk sembuh.
Ia sudah sembuh sekarang

Rochelle Pennington
From Chicken Soup for the Mother’s Soul

Aku Tak Mau Bayi Baru

“Aku tak mau bayi baru.”

Ini sambutan anak sulungku Brian, waktu aku memberitahu padanya bahwa aku dan ayahnya akan memiliki anak ketiga. Kami telah melewati ronde pertama persaingan antarsaudara saat adiknya Damian dilahirkan.

Tapi sekarang, Brian yang berusia tiga tahun ini menyatakan pendapatnya tentang bayi baru ini dan logika, alasan, maupun bujukan tak dapat mengubah pendapatnya.

Dengan bingung, aku bertanya, ”Mengapa kamu tak mau bayi baru?”
Dengan mata lebar dan berkaca-kaca, ia memandangku lurus dan berkata, ”Karena aku tak ingin Damian diganti.”

Rosemary Laurey
From Chicken Soup for the Mother’s Soul

Doa Bocah Kecil


Pada suatu malam, saat anak lelakiku masih kecil, aku berdoa bersamanya.
Hari berikutnya aku harus pergi ke luar negeri untuk menghadiri konferensi hokum internasional, dan aku sangat gugup. Aku banyak mengucapkan doa untuknya, tetapi kali ini aku meminta ia berdoa untukku.
Inilah yang dikatakan anakku:
“ Tuhan, tolong Bantu ayahku untuk menjadi berani, dan tidak berbuat terlalu banyak kesalahan. “
Itu adalah doa yang tidak buruk bagi setiap ayah.


Rob Parsons
From Chicken Soup for Christian Dad’s Soul



Sudah Keturunan


Seorang wanita muda bernama Mary melahirkan anak pertamanya. Karena suaminya sedang menjalani tugas militer, setelah melahirkan ia menginap beberapa minggu di rumah orang tuanya.

Suatu hari Mary mengatakan pada ibunya bahwa ia terkejut karena rambut bayinya berwarna kemerahan, padahal ia dan suaminya berambut pirang.

“Mary,” kata ibunya, “kamu ingatkan, rambut ayahmu itu merah.”

“Tapi Bu,” kata Mary, “apa hubungannya? Aku kan anak angkat.”

Seraya tersenyum kecil, Ibu mengucapkan kata-kata terindah yang pernah didengar anaknya: “Aku selalu lupa.”

The Best of Bits & Pieces
From Chicken Soup for Mother’s Soul

Tentang Melahirkan

Ada sesuatu yang harus dikatakan tentang membiarkan diri Anda dalam bentuk kanak-kanak. Dua puluh tujuh tahun yang lalu aku memandang putriku untuk pertama kalinya ketika ia ditaruh diperutku, tali pusarnya masih melekat padaku. Matanya yang kecil seakan-akan tak henti-hentinya memandangku. Aku menyaksikan sepotong diriku terbaring disana, dan dia sungguh-sungguh unik yang menakjubkan dan mengherankan.

Hari ini aku berdiri disampingnya, menyeka mukanya, dan memperingatkannya agar memusatkan perhatian pada gerakan-gerakan tubuhnya sendiri untuk melahirkan, dan jangan peduli pada rasa sakit dan takut. Dia sangat ngeri pada rasa sakit. Tetapi walaupun demikian lihatlah, ia menolak segala obat … bertekad akan melahirkan bayinya sealamiah mungkin, seperti yang dulu dilakukan para nenek buyutnya.

Ia melakukan gerakan mendorong, bersiap dan mengeluh yang terasa berabad-abad lamanya --- dan lihatlah putrid dari putriku ditaruh di dada Mamanya, memandang mata Mamanya. Sebuah misteri Agung kembali menyelimuti diriku, mengizinkan aku melihat cucuku, bagian dari diriku sendiri yang akan melangkah ke masa depan, dan pada gilirannya membentuk anaknya sendiri, cucu-buyutku.

Kay Cordell Whitaker

From Chicken Soup for Woman’s Soul



Karunia yang Tak Terlukiskan

Ia menyelinap masuk ke dalam dunia, dan ke dalam pelukanku, diletakkan disitu oleh surga. Ia datang langsung dari Tuhan. Karunia yang tak tergambarkan. Saat aku memandangnya, kedamaian dan kesucian mengisi udara disekitarnya. Melalui airmata bahagia aku berbisik ditelinganya, “Kami senang kamu ada disini. Kami sudah menunggu lama sekali untuk bias melihatmu.” Ia membuka matanya, dan akupun mulai berubah – saat tanpa akhir yang terisi oleh ketakterhinggaan akan kehidupan. Dalam matanya aku melihat pengenalan total, cinta tanpa pamrih, dan kepercayaan yang sempurna. Aku adalah seorang ibu. Pada saat itu aku merasakan, dan dalam hatiku aku mengetahui, segala sesuatu yang perlu ku ketahui untuk membimbingnya.

Saat berbaring ditempat tidur, ia tidur diantara aku dan ayahnya. Kami menghitung jari kaki dan tangannya dan mengagumi kesempurnaan dalam bentuk mungil itu. Kami mencari kemiripan dengan kami, dan keunikan dirinya. Kami tak berkata apa-apa, tetapi hati dan benak kami penuh oleh pikiran tentang harapan dan impian kami untuknya, tentang dirinya nanti, tentang anugrah yang dibawanya dan bagaimana dia akan menyentuh dunia. Hanya memandangnya dan merasakan kasih dan manis yang dibawahnya, seakan stress dan beban dunia terangkat dari kami, dan apa yang penting dan benar dan benar dalam dunia ini menjadi jelas – seperti berada dalam kehadiran orang sakti yang bijak. Sulit sekali menutup mata kami untuk tidur.

Dengan berlalunya hari dan tahun, kami kagum akan perubahan yang terjadi pada dirinya. Senyum pertama, kata pertama, langkah pertama – semuanya tepat waktu, namun dalam waktu dan caranya sendiri. Ia mengajari kami kembali cara bermain; untuk memperlambat dan melihat dunia kembali. Untuk menemukan hal-hal yang dulu kami lihat, dan ketahui. Kentara bahwa banyak hal yang bisa ingat, rasakan, dan lihat yang tak bisa kami lakukan, dan mungkin selamanya tak mungkin bias.

Waktu akan melesat berlalu; mendadak ia akan tumbuh dewasa, siap membumbung kedunia dan memberikan sesuai dengan takdirnya. Melepaskanya akan menghancurkan hati kami, namun kami tahu bahwa ia bukan milik kami. Ia datang untuk mengajari kami, memberi kami kebahagiaan, menyempurnakan kami, dan menghubungkan kami dengan Tuhan.

Jeanette Lifeski

From Chicken Soup for Mothers’s Soul

Harapan

Harapan adalah rak
Tempatku menggantungkan impian
Hati-hati aku menempatkan
Sepotong bagian masa depan
Pada Harapan.

Harapan adalah kotak
Tempatku menyimpan berbagai pikiran.
Hati-hati aku melipat
Segala aspirasi untuk
Dicobakan.

Harapan adalah rak
Tempatku meletakkan ketakutan
Hati-hati mereka kusisihkan
Agar tidak makin
Berkembang

Harapan adalah rak
Tempatku menggantung keberhasilan
Dengan bangga memperlihatkan
Segala yang berhasil kuwujudkan, dengan bantuan
Harapan

Kelsey Brunone
From Chicken Soup for the Teenage Soul Letters



Deklarasi Kemanusiaan

Dengan ini aku menyatakan bahwa aku adalah manusia.
Aku adalah manusia yang bias merasakan kebahagiaan dan tawa, juga bias merasa sedih dan meneteskan air mata.
Aku adalah manusia yang memiliki kebutuhan untuk mencintai dan membantu sesame, juga merasa butuh dicintai dan ditolong oleh sesame.
Aku adalah manusia yang mempunyai mimpi-mimpi dan prestasi,
Tapi yang terutama bahwa aku adalah manusia yang memiliki kekurangan-kekurangan dan bias melakukan kesalahan.

Sebagai manusia, aku berhak atas hal-hal berikut :
1. Aku berhak untuk tidak sempurna
2. Aku berhak untuk membuat banyak kesalahan (kadang-kadang kesalahan besar)
3. Aku berhak untuk belajar dari kesalahan-kesalahanku
4. Aku berhak untuk memaafkan diriku sendiri
5. Aku berhak untuk merasakan apa yang kurasakan
6. Aku berhak untuk tertawa sampai keluar air mata, dan menangis sampai kesedihanku sirna.
7. Aku berhak untuk menjalani hidup sesuai pilihanku
8. Aku berhak untuk mendapatkan kebahagiaan
9. Aku berhak untuk memilik kepercayaan-kepercayaan sendiri
10. Aku berhak untuk memiliki teman-teman sejati dan cinta sejati
11. Aku berhak untuk dicintai oleh orang-orang lain
12. Aku berhak untuk dicintai oleh diriku sendiri


Michelle Bouchard
From Chicken Soup for The Teenage Soul Letters



Menerima Keadaanku

Dear sobat-sobat di Chicken Soup,
Namaku Adam. Sekarang aku mahasiswa sophomore di University of Illinois, Champaign/Urbana. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih pada kalian yang telah menghasilkan buku-buku yang begitu bagus. Aku mengidap penyakit alopecia areata, kondisi yang menyebabkan penderita mengalami kerontokan rambut di kepala dan tempat-tempat lain. Penyakit ini biasa dialami pria dan wanita dari berbagai tingkatan usia tapi terutama menyerang anak-anak muda. Aku sudah empat kali mengalaminya dalam hidupku.

Sebelumnya aku belum pernah mendengar siapa pun mengalami yang seperti ini, dan keadaan ini benar-benar berat buatku. Akhirnya aku mencukur habis sisa rambutku saat duduk dikelas tiga. Toh rambutku yang tertinggal masih sepertiganya. Sulit menjelaskan pada orang-orang.

Setahun-dua tahun setelah didiagnosis mengidapa penyakit tersebut, kebetulan aku membaca kisah “No-Hair Day (Hari Tanpa Rambut)” di buku Chicken Soup for The Teenage Soul, tentang seorang gadis yang juga mengidap alopecia. Cerita itu sungguh sangat menghibur hatiku. Setelah membacanya, aku tidak mau merasa tertekan lagi dengan keadaanku. Aku masih tetap gundul, meski enam bulan sebelumnya aku masih punya rambut lengkap di kepalaku. Aku masih tetap berjuang mengatasi perasaan tidak menarik dan malu. Tapi kisah itu telah memberiku contoh hebat tentang seseorang yang bias mengatasi kehilangan rambutnya, serta reaksi orang terhadap kondisinya, dengan cara positif. Terima kasih banyak, kuharap kalian melanjutkan karya bagus itu.

Adam Heise
From Chicken Soup for The Teenage Soul Letters



Apakah Sukses Itu?

Apakah Sukses Itu?
Serign dan banyak tertawa,
Mendapatkan rasa hormat dari orang pandai
dan rasa kasih dari anak-anak
Meraih penghargaan kritikus yang jujur
dan tabah menghadapai pengkhianatan teman palsu
Menghargai keindahan
Menemukan sifat baik dalam diri orang lain
Membuat dunia lebih baik, entah dengan
anak yang sehat, sepetak kebun
atau kondisi sosial yang lebih baik,
Mengetahui bahwa seseorang telah hidup
lebih mudah karena keberadaanmu
Itulah arti sukses

Ralp Waldo Emerson
From Chicken Soup fot The Teenage Soul

Tarian

Mengingat kembali kenangan akan
Tarian yang kita lakukan dibawah bintang yang bertaburan
Untuk sesaat seluruh dunia benar
Bagaimana aku tahu bahwa kau akan pernah
Mengucapkan selamat tinggal

Sekarang aku senang aku tak tahu
Cara semuanya akan berakhir
Cara semuanya akan pergi
Hidup kita lebih baik diserahkan pada kesempatan
Sebetulnya aku dapat menghindari rasa sakit
Tapi aku akan kehilangan tarian itu

Dengan memelukmu aku akan memeluk segalanya
Untuk sesaat, bukankah aku raja
Kalau aku tahu bagaimana raja akan tumbang
Siapa yang bisa bilang aku dapat mengubahnya?

Hidup kita lebih baik diserahkan pada kesempatan
Sebetulnya aku dapat menghindari rasa sakit
Tapi aku akan kehilangan tarian

Tony Arata
From Chicken Soup for The Teenage Soul



Home Run

Pada tanggal 18 Juni, seperti boasa aku menghadiri pertandingan bisbol adikku. Cory berusia 12 tahun waktu itu dan sudah dua tahun bermain bisbol. Waktu aku melihatnya melakukan pemanasan untuk pukulan berikutnya, aku memutuskan memasuki tempat para pemain untuk memberikan sedikit petunjuk. Tapi saat tiba disana, saya hanya berkata,”Aku saying kamu.”

Ia bertanya, “Maksudmu, aku harus membuat home run?”
Aku tersenyum dan berkata, “Lakukanlah semampu kamu,”

Saat ia berjalan ke tempat memukul bola, ada semacam aura disekitarnya. Ia terlihat sangat percaya diri dan yakin tentang apa yang akan dilakukannya. Ia hanya memerlukan satu ayunan, dan… ia membuat home run-nya yang pertama! Ia mengitari masing-masing base dengan bangga – matanya berbinar dan wajahnya cerah. Tapi yang paling menyentuh hatiku adalah ketika ia berjalan kembali ke tempat pemain. Ia menoleh padaku sambil tersenyum-senyum, paling lebar yang pernah kulihat, lalu berkata, “Aku saying kamu juga, Ter.”

Aku tak ingat, regunya menang atau kalah salam pertandingan itu. Pada musim panas di bulan Juni itu, hal itu tak penting lagi.

Terri Vandermark.



Suara Bertepuk Sebelah Tangan

Ada sebuah kisah yang indah tentang Jimmy Durante, salah seorang penghibur besar beberapa generasi lampau. Ia diminta mengisi acara untuk menghibur para veteran Perang Dunia II. Ia menjawab jadwalnya sangat padat sehingga ia hanya mampu menyediakan beberapa menit. Tetapi jika mereka tidak berkeberatan bila ia menyajikan sebuah monolog singkat, kemudian langsung pergi ke urusan berikutnya, ia akan datang. Tentu saja, direktur pertunjukan segera menyetujuinya dengan senang hati.

Tetapi, ketika Jimmy naik panggung, sesuatu yang menarik terjadi. Sebagaimana disepakati, ia melakukan monolog singkat, tetapi kemudian ia tetap disitu. Tepuk tangan semakin riuh, sehingga ia tidak segera beranjak. Tidak terasa ia sudah tampil lima belas menit, dua puluh menit, bahkan tiga puluh menit. Akhirnya ia membungkuk sekali lagi dan berjalan meninggalkan panggung. Dibelakang panggung, seorang menghentikannya untuk bertanya, “Saya kira Anda akan pergi setelah beberapa menit. Apa yang terjadi?”

Jimmy menjawab, “Saya memang harus pergi, tetapi saya dapat melakukan alasan saya untuk tetap tinggal. Anda dapat melihat sendiri orang di baris terdepan itu.”

Dibaris terdepan ada dua pria, masing-masing kehilangan sebelah tangan mereka. Salah seorang kehilangan tangan kanan sedangkan seorang lagi kehilangan tangan kiri. Namun bersama-sama, mereka dapat bertepuk tangan, dan itulah tepatnya yang mereka lakukan, bertepuk tangan dengan keras dan ceria.

Tim Hansel
From Chicken Soup for the Unsikable Soul



Kerjakan yang Mampu Kau Kerjakan

Hari itu salah satu hari musim gugur yang dingin ketika seorang petani melihat seekor burung wallet kecil berbaring terlentang ditengah ladangnya. Petani itu berhenti mencangkul, kemudian menghampiri makhluk bersayap yang ringkih itu lalu bertanya, “Mengapa kau berbaring dengan kaki ke atas seperti itu?”

“Kudengar langit akan runtuh hari ini,” sahut sang burung.

Petani renta itu berdecak. “Apakah menurutmu kau dapat menahan langit dengan sepasang kaki kurusmu?”

“Bukankah orang harus mengerjakan yang mampu diperbuatnya,” jawab sang burung dengan tegas.

D’ette Corona.
From Chicken Soup for the Unsikable Soul


Albert

Bekerja di sebuah rumah sakit tempat merawat pasien yang baru mengalami stroke merupakan sebuah pilihan yang tidak boleh ragu-ragu. Mereka biasanya sangat ingin hidup atau justru sangat ingin mati. Ini tampak dari sorot mata mereka.
Albert mengajariku banyak hal tentang stroke.

Pada suatu petang aku sedang berkeliling melakukan pemeriksaan, aku bertemu dengannya, meringkuk dalam posisi seperti janin dalam kandungan. Ia seorang pria tua berwajah pucat pasi dengan tampang seperti orang mati, kepalanya hamper tidak kelihatan dibalik selimutnya. Ia tidak bereaksi ketika aku memperkenalkan diri, dan ia tidak menyahut sepatah katapun ketika aku mengatakan bahwa ia harus “segera” makan malam.

Diruang jaga perawat, seorang perawat junior memberiku sedikit informasi tentang dirinya. Ia tidak memiliki siapapun. Ia merasa telah hidup terlalu lama. Istrinya telah tiga puluh tahun meninggal, kelima anaknya entah berada dimana.

Baiklah, aku akan menolongnya. Sebagai seorang janda yang meskipun bertumbuh subur namun cukup cantik dan jarang bergaul dengan pris di luar pekerjaan, kupikir aku dapat memuaskan salah satu kebutuhanku. Anggap saja ini sebuah petualangan.

Keesokan harinya aku mengenakan pakaian yang bukan seragam perawat biasa, tetapi tetap saja berwarna putih. Lampu tidak kunyalakan. Tirai kututup rapat.

Albert langsung membentakku, menyuruhku keluar. Aku justru menarik kursi ke dekat pembaringannya, kemudian duduk dengan kaki menyilang dan dagu agak tengadah. Aku memberinya senyuman yang sesempurna mungkin.

“Tinggalkan aku. Aku ingin mati.”
“Apa tidak salah? Diluar sana banyak wanita menunggumu.”

Ia tampak agak tersinggung. Tapi aku berbicara panjang lebar tentang betapa senang aku bekerja di unit rehabilitasi karena aku dapat membantu orang mencapai potensi maksimum mereka. Ini tempat yang penuh dengan kemungkinan. Ia tidak menyahut sepatah katapun.

Dua hari kemudian ketika aku mendapat giliran jaga, aku diberitahu bahwa Albert telah menanyakan kapan aku bertugas disitu lagi. Kawan-kawan disitu menyebut pria itu “pacarku” dan gossip ini segera beredar. Aku tidak pernah membantah. Bahkan diluar kamarnya, aku berseru kepada yang lain untuk tidak mengganggu “Albert-ku”.

Dalam waktu tidak lama Albert mau belajar duduk, mengantungkan kakinya disisi pembaringan untuk melatih keseimbangan. Ia juga bersedia menjalani fisioterapi asalkan aku mau dating lagi untuk “mengobrol”.

Dua bulan kemudian, Albert sudah menggunakan alat bantu berjalan. Dan pada bulan ketiga, ia meningkat pada sebatang tongkat penyangga. Pada hari ketika ia diperbolehkan pulang, kami merayakannya dengan sebuah pesta. Albert dan aku berdansa dengan iringan lagu Edith Piaf. Ia bukan pria yang romantis, tapi dalam berdansa ia mampu memegang kendali. Aku tidak dapat menahan airmataku saat kami harus saling berpisah.

Secara berkala aku menerima kiriman bunga mawar, bunga krisan dan kacang yang gurih. Ia telah berkebun lagi.

Kemudian pada suatu siang, seorang wanita cantik menggunakan baju ungu muda datang ketempatku bertugas, meminta bertemu dengan aku. Atasanku memanggil; waktu itu aku sedang memandikan pasien.

“Oh, jadi Anda! Wanita yang mengingatkan Albert-ku bahwa ia seorang pria sejati!” kepalanya tengadah, senyumnya mengembang ketika ia memberikan aku sebuah undangan untuk datang ke pesta perkawinan mereka.

Magi Hart
From Chicken Soup for the Unsikable Soul



Halilintar


Seorang temanku memiliki anak perempuan berusia empat tahun yang sangat menggemaskan. Ia pandai dan cerewet. Bila ada kontes siapa mirip ShirleyTemple masa kini, aku rasa ia akan menang mutlak.

Suatu malam ada halilintar yang sangat keras. Cahayanya berkilat dan guntur menggelegar – halilintar yang menakutkan sehingga orang akan sedikit kaget dan bergetar sedikit.

Temanku berlari ke atas ke kamar anak perempuannya untuk melihat apakah anaknya ketakutan dan meyakinkan anaknya bahwa semuanya itu baik-baik saja.

Ia masuk ke kamar anaknya dan menemui anaknya sedang berdiri disamping jendela, membentangkan kedua tangannya ke depan jendela. Kemudian temanku berteriak, “Apa yang sedang kamu lakukan?” anaknya berbalik dari kilatan halilintar dan dengan gembira menjawab, “Aku pikir Tuhan sedang memotretku.”


Tony Campolo
From Chicken Soup for Christian Dad’s Soul



Kepala dan Pertandingan


Seorang sahabat menderita penyakit kurang percaya diri setelah melalui proses perceraian yang melelahkan. Ia sedikit enggan kembali ke dunia perkencanan, risau bahwa ia telah “kehilangan sentuhannya” dengan kaum wanita.

Celakanya, segera setelah mengakhiri hubungannya yang terahulu, ia mulai kehilangan rambutnya, dan ia melihat ini sebagai isyarat dari surga bahwa ia ditakdirkan untuk membujang selamanya. “Siapa yang mau berkencan dengan orang botak?” katanya kepadaku pada salah satu malam sewaktu kami saling mengeluh sambil minum bercangkir-cangkir cappuccino yang enak. Sebagai orang bijak abadi, ia yakin bahwa rambut yang bagus adalah karcis masuk menuju suatu hubungan yang sukses. “Apa yang bisa dielus-elus dengan jari seorang cewek sekarang?” serunya sambil berkecil hati. “Kulit kepalaku?”.

Ketika ia mulai mengajak para wanita untuk pergi keluar, ia hanya membawa mereka ke tempat-tempat di mana topi bisbol dapat diterima – bermain Frisbee di taman, membawa anjing berjalan-jalan, pertandingan bisbol, atau peristiwa lain yang sedikit bernada olahraga dimana ia dapat menyembunyikan kepalanya yang menipis. Ia berhasil baik sementara waktu, tetapi hanya ada sebegitu banyak peristiwa olahraga yang dapat dikunjungi, dan hanya ada sedikit hari-hari cerah untuk melemparkan Frisbee dan membawa anjing berjalan-jalan.

Juga, salah satu segi besar kepribadian sahabatku itu adalah bahwa ia sama sekali senang pergi keluar untuk santap malam yang enak. Kami telah menikmati banyak malam dikuliah dengan menghabiskan terlalu banyak uang untuk membeli berbotol-botol anggur, makanan-makanan pembangkit selera, dan kudapan coklat hangat di restoran-restoran yang paling bergengsi. Celakanya, tak ada satupun dari restoran ini yang mengijinkan pelanggannya menggenakan topi bisbol, tanpa menghiraukan betapa indahnya topi itu barangkali. Ini mulai menghambatnya dan sekali lagi loyo, sampai ia menerima pemberitahuan di kotak surat bahwa ia memenangkan sebuah makan malam gratis untuk dua orang di sebuah restoran eksklusif di pusat kota.

“Selamat!” bunyi surat itu. “Anda dan seorang tamu telah terpilih untuk mencicipi dan menikmati masakan dan suasana tempat kami yang istimewa. Dapatkanlah sertifikat hadiah terlampir seharga lima puluh dolar!” Ia berjingkrak-jingkrak kesenangan dengan bersemangat. Ia berpikir sungguh-sungguh mengenai apa yang harus dikenakannya, apa yang akan dipesannya, kapan mau perginya, dan… siapa yang akan diajaknya. Ia tidak mengenakan sebuah topi ke restoran baru ini. Tetapi siapa yang akan diajaknya yang tidak akan terkesiap oleh kepalanya yang hamper-hampir gundul itu?

Keningnya mengeryit karena kecewa dan ia terkulai disofa di dekatnya. Setelah beberapa menit diam, ia berteriak “Aw, wuih. Aku akan pergi.” Sambil melompat dari tempat duduknya, wajahnya menampilkan perangai ceria yang sudah teramat biasa itu dan ia dengan segera melarik daftar kencan yang mungkin. Akhirnya ia memilih Sarah—wanita yang telah berbulan-bulan dikaguminya dari jauh. Ia duduk di kursi kesukaannya, menekan nomor telepon dengan penuh keyakinan dan meminta Sarah menerima dengan rasa syukur. Beberapa malam kemudian, dengan mengenakan pakaian yang sangat dendi dan kepala botak yang indah, ia dan Sarah menghabiskan petang yang sempurna dan sejak saat itu jatuh cinta dengan asyiknya.

Dan aku mau mengatakan ini kepada Anda: Itulah lima puluh dolar terbaik yang pernah kukeluarkan


Katie Mauro
From Chicken Soup for The Single’s Soul



Sahabat-sahabat Marty


Ketika marty berumur tiga tahun, ia pulang-pergi dari tempat kerja bersamaku selama setahun penuh, menuju ke tempat penitipan anak milik perusahaan dan pulang lagi ke mobil jemputan rekan-rekanku. Ia menjadi sangat lengket denganku.

Ketika marty berumur empat tahun, aku dan ibunya menyewa pengasuh di tempat tinggal kami yang memiliki taman dan jalan melingkar—hari-hari yang panjang bersama Bu Olson yang pendiam dan lembut.

Bersama Bu Olson, Marty menciptakan dua sahabat khayalannya, Shawn dan Kawn. Ia mengatakan kepada kami, Shawn dan Kawn adalah adalah anak-anak gelandangan dan ia telah memutuskan untuk mengadopsi mereka.

Anak-anak kecil itu selalu berada disamping marty—tertawa-tawa, bercanda, berbisik-bisik. Marty memberi mereka masing-masing sebuah tempat di meja, tidur berdua di tempat tidur tingkat atas, dan tempat duduk do mobil. Kalimat-kalimat mereka singkat, yang diterjemahan oleh marty, akan membuat kami semua terbahak-bahak. Tentunya, Shawn dan Kawn itu tidak tampak. Hanya marty yang bisa melihat mereka.

Kakak marty yang berumur tujuh tahun, Jimmy, akan membelalakkan matanya seraya menerima Shawn dan Kawn dan semua tempat rahasia mereka sambil mengeleng-gelengkan kepala, dan mengangkat bahu. Kadang-kadang tentu saja, mereka itu menjadi kambing hitam bagi kecelakaan Jimmy sendiri.

Marty hamper berumur lima tahun ketika aku dan ibunya berpisah. Tak lama kemudian kami bercerai. Setelah suatu pecan bersama di apartemen perkotaanku yang kecil, aku berkemas untuk mengantakannya pulang ke rumah ibunya. Sambil masuk dan mengangkat satu bawaan lagi, aku mengdengar marty menangis dikamar mandi. Aku membuka pintu. Marty duduk di lemari kecil, bibir bawahnya menuh dengan kesedihan.

Aku cemas jangan-jangan ia ingin pindah ke tempat tinggal. Ia memandang ke arahku dan berkata, “Ayah, aku akan merindukan Shawn dan Kawn.” Kemudian ia memandang kea rah bak mandi, yang penuh dengan air sabun dan mainan-mainan yang mengapung.

“Tetapi mereka ada dimobil bersama Jimmy,” kataku, “siap untuk pergi bersamamu.”

Perlahan-lahan marty menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menghirup nafas. “Tidak ayah. Mereka ada di bak mandi. Kami sudah banyak bicara akhir pekan ini. Shawn dan Kawn memutuskan akan tinggal bersama ayah mulai sekarang. Kami tak ingin Ayah kesepian.

Belakang, di malam itu aku berjalan-jalan di taman, diikuti oelh Shawn dan Kawn di belakang. Sulit menahan air mata, setelah mengetahui bahwa hal paling menyenangkan yang pernah kurasakan dalam waktu lama adalah hadiah berupa sahabat-sahabat anakku yang berumur empat tahun.

James M. Jertson
From Chicken Soup for The Singles Soul



Selamanya


Setelah bercerai, putri remajanya menjadi semakin hebat memberontak.

Pemberontakan ini berpuncak pada suatu malam ketika menelepon untuk memberitahukan bahwa ia harus datang ke kantor polisi untuk menjemput putrinya, yang ditahan karena mengemudi ketika mabuk.

Mereka tidak berkata-kata sampai sore berikutnya.

Sang ibu membuka ketegangan dengan memberi putrinya sebuah hadiah kotak kecil yang terbungkus.

Dengan tidak bersemangat, putrinya membuka kotak itu dan mendapatkan sebuah batu kecil.

Ia membelalakkan matanya dan bertanya, “Bagus Bu, untuk apa ini?”

“itu kartunya,” kata sang ibu.

Putrinya mengeluarkan kartu dari amplopnya dan membacanya. Air mata menetes di kedua pipinya. Ia bangun dan memeluk ibunya erat-erat ketika kartu itu jatuh ke lantai.

Pada kartu itu tertulis kata-kata:
“Batu ini berumur lebih dari 200 juta tahun. Itulah berapa lamanya yang akan diperlukan sebelum aku berputus asa karena dirimu.”

Rob Gilbert dan Karen Wydra
From Chicken Soup for The Singles Soul



Mengisi Catatan


Kurang dari satu tahun setelah penguburan istriku, aku dihadapkan pada kenyataan-kenyataan paling mengerikan karena menjadi seorang duda dengan lima anak.

Surat-surat dari sekolah.
Lembar-lembar izin darmawisata, pemungutan suara persatuan orang tua dan guru, formulir-formulir pesanan Troll Book, pendaftaran-pendaftaran olahraga, formulir-formulir kesehatan, dan laporan kemajuan akademik yang tak terbilang banyaknya—suatu serbuan pekerjaan tulis-menulis atas kebaikan birokrasi pendek.

Lembaran-lembaran ini harus dibaca dan ditandatangani, atau ditempatkan sebagai alas sangkar burung. Tanpa memedulikan tujuannya, surat-surat itu harus ditandatangani setiap hari.

Pada suatu hari, Rachel yang berumur delapan tahun membantuku mengisi lima (aku hitung lima) formulir perlakuan darurat untuk sekolah. Ia akan mengisi informasi umum, dan aku akan menambah sisanya. Setelah menandatangani formulir-formulir itu, aku memeriksa ketepatannya. Waktu itulah aku melihat pada setiap kartu, di kolom sebelah telepon kantor ibu, Rachel menulis:
“1-800-SURGA

Rob Loughran
From Chicken Soup for The Singles Soul

0 komentar:

Post a Comment

 

Komentar

Postingan Terakhir