“ Kenapa lama sekali sih Man ? katanya jam 09 pagi berangkatnya, ternyata baru jam 02.30 siang kamu baru datang. Trus SMSku gak dibalas lagi…” Aku kesal dengan Iman yang selalu molor gak tepat waktu. Aku merasa kesal sekesal-kesalnya. Rasanya pengen memberi pengertian tapi marah – marah dengannya juga percuma … terlalu sering lagi… apalagi akhir-akhir ini, hampir tiap hari tengkar terus. Mending cari ngalah aja.
“ Aku masih bantu orang rumah. Aku rada nggak enak badan. Kufikir aku tidak perlu balas SMSmu karena pastinya aku datang kesini… jadi ya gitu… “ Kalimatnya gantung tanpa bersalah. Dia bicara sambil duduk di kursi letter L ku berwarna coklat muda. Tangannya memegang rokok wismilak kesukaannya. Matanya tidak berani menatapku. Cuma sekali-kali. Aku memandangnya sambil ingin menangis. Sebenarnya aku capek hari ini pergi ke Banyuwangi. Entah kenapa perasaanku resah. Antara malas pergi, kesal dengan situasi yang menurutku benar-benar membosankan, dan ada sesuatu yang entah kenapa dalam hatiku melarang untuk pergi kesana. Tapi perginya aku sama Iman adalah untuk kepentingan bisnisnya. Aku juga tidak enak kalau males mengantar dia berangkat. Soalnya dia sudah terlalu banyak membantuku dalam banyak hal. 5 tahun bukan waktu yang sebentar aku dan Iman menjalin kasih. Selama itu sudah banyak suka dan dukanya. Banyak halangan dan rintangannya hingga kami sering putus nyambung.
“ Jadi pergi gak ? siang – siang gini, apa kamu gak capek ? besok aja tah ? “ aku duduk didepannya dengan ekspresi kesalku. Sulit menyembunyikan rasa engganku. Tapi aku selalu begini, bersikap sok baik tapi aslinya aku setengah hati.
“ Ya ayo ! kamu keliatannya kepaksa gitu…” mata Iman memandangku tanda agak marah. Rupanya dia pintar membaca ekspresiku.
“ Ayo !!! gak usah ngerokok dulu Man ! perjalanannya kan jauh. Aku ambil helm dulu ya… “ aku bergegas masuk kedalam ruang tengahku untuk mengambil helm. Berpamitan sama ayah ibuku. Samar2 kudengar ibuku berpesan pada Iman,
“ Hati – hati Man ! gak usah ngebut ! gak usah keburu – buru… santai aja ! “
“ Iya bu… Assalamuaallaikum “
Hari menjelang sore ketika kudapati ban sepeda Iman kempes. Waktu itu aku dan Iman sudah berada di daerah pinggiran Banyuwangi. Mencari tukang tembel ban dan menemukan setelah menuntun sepedanya sejauh 10 meter. Sambil menunggu ban sepeda Iman ditembel, kami mengobrol ringan. Aku melihat wajahnya kepayahan, tapi dia keliatannya begitu antusias. Jaket berwarna putih tulang yang ia pakai terkesan lusuh. Aku tahu dia memaksakan diri pergi ke Banyuwangi hari ini. Hari Minggu yang panasnya sangat terik sementara terlihat di sisi langit sebelah sana terdapat awan hitam menggantung. Mungkin sebentar lagi hujan segera turun. Setelah semuanya bisa terkendali, kamipun melanjutkan perjalanan lagi.
Jam 20.35 malam aku mermasuki kotaku yang dingin. Sangat lelah karena selama perjalanan pulang tadi kami sering berhenti di pinggir jalan. Penyakit Iman kambuh lagi. Alhasil, kami beristirahat lumayan lama di masjid. Iman punya sesak nafas yang selalu dibantu tabung mini sebagai alat yang paling aman buatnya. Aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Mungkin yang bisa kulakukan cuma memberi air mineral yang kubawa dari rumah. Iman sangat tidak manja. Kadang dia malu dengan sakit sesak nafasnya. Pernah waktu itu aku mengantar dia menebus obat di apotik. Iman bilang padaku,
“ Setelah aku punya penyakit begini, seharusnya kamu harus jaga-jaga mencari pacar lagi. Aku tidak mau kelak kamu menemani aku sambil mengurusi penyakitku. Kamu pasti akan segera bosan. Aku kasihan ma kamu… dan mungkin hanya kamu yang mampu bertahan dengan keadaanku …”
” Ngomong apa sih kamu ? semua bukan karena penyakit kan ? bilang aja kamu sudah bosan ma aku. Aku tidak masalahin kamu, apa yang terjadi ma kamu. Aku bukan cewek kemarin sore kenal ma kamu. Semua ini bukan masalah. Dan aku marah jika kamu merendahkan diri di depanku hanya karena sesakmu. Itu tidak etis ! kenapa aku yang bersemangat sedangkan kamu yang nggak. Ngomong apa sih kamu…?”
Iman selalu seperti itu. Dia selalu merasa kuat. Hampir tidak pernah dia mengeluh kepadaku. Malah sebaliknya, dia sebagai sumber pertahananku. Dia tempat aku berkeluh kesah. Kadang ku bertanya padanya, kenapa dengan wajahnya yang murung ? dia cuma bisa bilang “ Capek… “ setelah itu aku tidak berani bertanya lagi. Takut menambah masalah. Dia jarang bercerita panjang lebar tentang apa yang ada dalam hatinya. Dia jarang terbuka padaku. Kecuali kalau terpaksa. Tapi biasanya kalau dia ada masalah, dia tidak bercerita padaku. Kalaupun dia bercerita, setelah masalahnya sudah selesai. Dia tidak butuh bantuanku. Dia orang yang mandiri. Dia juga tidak suka merepotkan orang lain. Malah dia yang selalu dibutuhkan orang lain.
Akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengannya. Yang dimasalahin adalah dia menyuruhku mencari pacar lagi. Aku merasa dia tidak mencintaiku lagi. Ada – ada yang bikin kami jadi ribut. Setelah itu dia hilang tidak ada kabar. Muncul kembali di rumahku tanpa penyelesaian. Ya seperti itulah Iman. Seharusnya dia tahu, aku membutuhkannya melebihi yang dia tahu. Semua bukan karena cinta, tapi karena dia adalah sosok yang sangat menghargai wanita. Dia memberiku banyak pelajaran yang berharga. Andai dia tahu seberapa pentingnya dia buat hidupku… aku jadi merasa mungkin Iman bosan padaku. Atau mungkin hubungan kami yang lama bikin dia jenuh. Jenuh ? entahlah…
“ aku pingin kopi. Buatkan ya Dik ! …” Iman menyalakan rokoknya di ruang tamu rumahku. Aku segera menuju dapur setelah bersua dengan orang rumah. Iman mengobrol dengan ibu dan bapakku. Sambil menunggu air masak, aku mencuci mukaku. Penat sekali… rasanya pingin segera merebahkan diri. Ibuku menghampiriku,
“ Gimana tadi ? Iman gak ngebut kan ? masalahnya udah selesai ? “ ibukku menungguiku yang sedang bikin kopi. “ udah kok …” aku menjawab singkat aja. Sepanjang malam itu Iman betah di rumahku, bercanda dengan bapakku. Aku pingin banget tidur. Tapi Iman masih ngobrol banyak. Jadi kuputuskan aku bikin kopi juga.
Jam 22.00 Iman berpamitan pulang. Sebelum itu, ia menawari ibuku membeli tahu lontong kesukaan ibu. Tapi karena waktu udah malam, jadi ibu menolak Iman membelikan tahu lontong kesukaannya.
“ Besok jam 11 siang aku kesini ya… kita beli pulsa bareng. Sambil cari es yuk ! “ Iman berkata padaku diatas sepedanya. Malam itu udara di luar sangat dingin. Tanah basah terkena hujan masih terasa baunya. Iman menghidupkan sepedanya. Sambil kemudian memegang tasbih yang ia lingkarkan di lehernya. Memandangnya sebentar kemudian memandangku,
“ hangat banget tasbih ini di leherku. Kamu mau ? “
“ Boleh… hehe besok aja wes. Ok Man ketemu besok ya ! aku ngantuk nih… besok gak pake molor lagi ya…”
“ Insyaallah, Assalamuallaikum…”
“ Walaikummsalam… “ jawabku sembari melihatnya berlalu di hadapanku. Entah kenapa aku tidak segera beranjak masuk kerumahku. Aku terus memandangi punggungnya sampai dia hilang di tikungan rumahku.
Dan entah kenapa Iman hari ini baik sekali.
04.00 pagi alarm HaPeku berbunyi. Aku dengan mata setengah melek terjaga dari tidurku. “… jangan lupa sholat subuh “ tulisan pesan yang diset dalam HaPeku itu mengingatkan aku akan Iman. Pasti dia nih yang udah ngeset alarm di HaPeku. HaPe pemberian Iman itu amat sangat berguna. Tapi sayang juga, walaupun Iman yang membelikannya, dia jarang sekali menghubungiku. Baik telepon ataupun SMS. Pernah aku marah padanya,
“ Man, fungsimu membelikan aku HaPe buat apa sih ? kamu gak pernah hubungi aku. Malah aku yang terus – terusan hubungi kamu. “
“ Yah kalau hubungi kamu biar enak…” jawabannya Cuma sedikit sambil menghisap rokoknya dalam – dalam. Tapi benar juga ya… dia diam-diam ngeset alarm di HaPeku. Dan segera kukirim SMS… “ Man aku udah bangun karena alarmmu tadi. Thanks ya… jangan lupa sholat juga ! “ setelah kutinggalkan pesan buat Iman, aku segera mengambil wudhu. Sebenarnya ngantuk berat, tapi mataku udah terjaga enggan untuk tidur lagi. Saatnya sholat nih…
Pagi itu dingin begitu menusuk tulang. Aku terus berada dalam selimut tebalku yang hangat. Setelah sholat subuh, aku beranjak tidur kembali. Dingin karena hujan turun tak henti-hentinya semalaman. Sesekali berhenti namun hujan lagi. Kulihat jamku menunjukkan angka 07.20 pagi. Ibuku mengobrol dengan bapakku di ruang tengah. Ngomongin banyak hal sampai aku kaget ada telpon di HaPeku. Kulihat nomor yang tidak kukenal. Sebenarnya malas kuangkat karena aku masih ngantuk, tapi telepon itu tidak henti-hentinya berbunyi,
“ Hallo…”
“ Assalamuallaikum… ni betul mbak ninie ? “ suara wanita separuh baya itu begitu asing di telingaku dan dengan enggan ku menjawab,
“ Walaikumsalam… Ya benar, ni sapa ya ? “
“ Saya tantenya Iman, mau kasih kabar kalau Iman meninggal dunia jam 06.00 pagi. Dia meninggal karena…” tak kudengar lagi orang itu ngomong apa. Aku terus berfikir, meninggal… meninggal dunia… Iman meninggal ? tidak mungkin ! semalam masih di sini. Malahan sekarang kita janji keluar bareng jam 11 siang. Itu tidak benar kan… itu hanya aku salah dengar kan…
“ mbak… saya tunggu ya di sini. Dimakamkan jam 12 siang. Assalamualaikum…”
Aku tidak bersuara sama sekali. Ku peluk erat –erat HaPe pemberian Iman itu. Aku juga tidak bisa menangis. Aku Cuma tertunduk, benarkah… benarkah… Iman… kamu jangan bercanda dong ! kamu udah janji sama aku kan… iman… hatiku menjerit pilu. Ibukku menghampiriku,
“ Siapa yang telpon ?”
” Tantenya Iman…” mataku masih kosong, belum bisa kupercaya…
“ Kenapa dengan Iman ? “
“ Ma, Iman meninggal… pagi ini dia meninggal… “ suaraku tersekat di tenggorokan. Ku lihat ibuku menangis tidak percaya. Menangis sejadi – jadinya. Ibuku kayak orang kesetanan… bapakku menenangkan ibuku sambil bertanya padaku yang tertunduk tak bergeming. Tuhan jawab tanyaku? Benarkah semua ini… benarkah kenyataan ini... benarkah Tuhan ? semua terjadi seperti mimpi. Aku berharap ini mimpi. Dan bangun dengan keadaan yang beda…
Aku melihat Iman. Dengan mataku sendiri, dia tertidur dalam damai. Bibirnya tersenyum sedikit. Tubuhnya mendingin. Kain kafan menyelimuti tubuhnya. Beberapa orang dikiri kanan Iman membaca surat Yasin. Aku duduk di sebelahnya. Iman… belum bisa kupercaya dan belum bisa ku ikhlaskan engkau begini… aku mencoba tidak menangis, karena kamu benci melihatku saat menangis. Dunia kami seolah menjadi beda. Aku menatapnya terus, berharap dia bergerak dan menghilangkan semua yang terjadi hari ini. Tapi Iman hanya diam… tak juga bernafas… tak juga tersenyum seperti yang biasa dia lakukan kepadaku. Banyak hal yang membuat perjalanan cintaku dengannya. Inikah akhirnya Man ? kamu tertidur dan tak mungkin kembali bangun…. Bagaimana kujalani hidupku tanpa kamu ? janji kamu akan menjemputku siang ini malah aku yang mendatangimu. Aku menemuimu tanpa nyawa. Jangan begini Tuhan… kumohon jangan begini. Jangan Kau beri semua kenyataan ini padaku Tuhan… aku tidak sanggup tanpanya. Aku benar-benar tidak sanggup tanpanya… banyak hal terjadi pada semua musim. Tapi hari ini mengalahkan musim-musim yang lain. Semuanya seperti hari akhir… perjalanan yang teramat panjang menjadi hilang hari ini. Kehilangan Iman seperti kehilangan separuh nyawaku sendiri. Aku jadi mengerti kenapa dia menyuruhku mencari pacar lagi. Dia tidak bisa menjagaku lagi. Selama ini dia bersikap acuh karena untuk diriku supaya bisa mandiri tanpanya. Semua yang dia lakukan adalah untukku sendiri. Aku tidak mengerti Iman, semuanya terlihat setelah dia pergi. Kenapa kesadaranku terlambat, saat kusadari semuanya yang Ia lakukan hanyalah untuk kemandirianku sendiri.
Siang yang kelabu, Mungkinkah Iman… semua ini adalah takdir saat kau merasa sudah tidak bisa menjagaku lagi… seharusnya aku lebih menjagamu… menjaga semua untukmu… maafkan aku Iman. Ku ikhlaskan kamu pergi. Tuhan lebih menyayangimu daripada semua yang ada di bumi ini. Aku yakin takdir Tuhan. Selama kau bersamaku 5 tahun ini, kamu adalah bahu sandarku, kami adalah cahaya hidupku, dan alasan aku bisa tertawa di duniaku ini. kamu adalah cahaya di rumahku. Kamu adalah pelangi bagi keluargaku. Semua merasa kehilangan. Hidup tanpa kamu adalah hidup yang kosong… Kamu bukan hanya segalanya, tapi kamu adalah satu-satunya. Semoga kau damai di surga… dan akan kujaga cinta kita selamanya… Man… semoga kau bahagia di surga. Aku mencintaimu… Aku berharap kamu masih mampu mendengar meskipun tak akan ada jawaban. Siang ini tak lagi sama, kalau boleh ku berhayal, Iman… mungkin siang ini kita minum es campur kesukaan kita setelah kita membeli pulsa. Ku berharap Iman mampu mendengar. Walaupun yang terdengar hanyalah desiran angin yang menerpa pohon bambu yang saling bergesekan. Man… hanya jasadmu yang meninggalkan aku… aku hanya mengantar kepergian jasadmu. Hatimu sudah sepenuhnya kau serahkan kepadaku… kita tidak berpisah… tidak!
Warna langit berbeda berlahan-lahan seolah ikut berkabung. Terlukis wajah Iman yang tertawa sambil memamerkan giginya yang rapi. Berdiri mematung disini sambil melihat orang tua Iman membelai tempat peristirahatannya yang terakhir. Bau harum bunga mawar menambah derita bagi yang kau tinggalkan. Aku ingin tidak mengingat semua ini. Sungguh sedikit bayangannyapun tak ingin kuingat. Aku ingin lupa!
Hari-hari tanpa Iman sungguh tidak berarti… tanpa Iman, apakah bisa kujalani hidup? Aku harus tetap hidup! Dengan penuh semangat… tapi hidup tanpa Iman? Itu… itu adalah sebuah kenyataan yang kejam… iya kan Man? Dipusara terakhir, aku memegang nisan yang bertuliskan namanya. Berharap Iman memanggilku kembali! Tapi kapan… semuanya hayalan dalam kedukaan yang teramat sangat. Kupanjatkan doa terakhir untuk Iman, seorang yang berarti bagi hidupku… karena Iman adalah kekasih, sahabat, kakak, pendengar, dan juga bagian dari hembusan setiap nafas yang mengalir di aliran darahku. Aku akan hidup dengan baik meskipun itu teramat sulit.
“ Iman, berbicaralah biar ku dengar, aku ingin kau memanggilku… lalu pergilah dengan tenang… “
0 komentar:
Post a Comment