Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sunday, March 21, 2010

Cerpen - Sebatang Lilin By Dian Arie. S.O.

Sunday, March 21, 2010

Aku bangun dengan kepala berat pagi ini. Saat terduduk di ranjang, tanpa sengaja bayangan tubuhku memantul di cermin, aku meringis. Oh my God, siapa orang itu ? Wajahnya kusam dengan kulit dibawah mata yang menghitam…aku tak mengenalinya. Coba…coba lihat rambutnya, betapa kusut dan berminyak. Pancaran matanya memancarkan kekosongan, kehampaan …

Aku terus terpaku oleh bayanganku sendiri, hingga beberapa detik kemudian aku terisak-isak. Yah…aku telah menjadi orang asing, bagi diriku sendiri. Menyedihkan! Perlahan aku bangkit dari tidurku dan berdiri di jendela. Oh tidak! Dari sini tidak begitu jelas, aku harus keluar menuju teras agar bisa melihatnya. Bergegas aku menyeret sandal bututku dan berlari-lari kecil keluar kamar kos.

Benar saja, aku melihatnya. Rasanya ingin menangis hanya karena melihatnya saja. Laki-laki itu hampir separuh mengisi hidupku, merayakan ulang tahunku, memelukku saat aku terluka, tertawa di saat-saat yang menyenangkan. Tuhan, betapa besar arti kehadirannya untukku.
Dari sini pun, rasanya aku masih bisa mencium wangi parfum yang selalu dikenakannya. Ya, dia selalu menyukai bau tajam menusuk itu, dan aku terkadang harus pura-pura menyukainya pula. Tapi, tak mengapa, saat dia pergi keluar kota, aku kerapkali tidur dengan botol bekas parfumnya dan dia hanya tertawa saat aku bercerita.

Lihatlah langkahnya yang selalu tergesa-gesa hingga dasinya berkibar-kibar tertiup angin. Dia masih seperti dulu, bangun bermalas-malasan padahal dia harus sampai ke kantor tepat waktu. Aku seringkali harus ikut tergopoh-gopoh menyiapkan semua keperluannya. Begitu tergesanya dia hingga secangkir teh hangat yang kusiapkan selalu lupa dia minum. Aku tak pernah bisa marah—tak pernah bisa padanya. Dia selalu menyiapkan senyuman terbaiknya dan sedikit bisikan maaf.

Begitu pun saat malam itu, dia pulang terlambat dan duduk dengan gelisah di ujung ranjang. Aku menatapnya tanpa prasangka. Seperti biasa jika tengah gelisah, dia berkali-kali mengusap-usap ujung dagunya. Aku tahu benar itu, aku telah mengenalnya bertahun-tahun, sejak kami masih kuliah hingga bekerja dan sudah menjalani tiga tahun pernikahan saat itu.

Jika kuingat sekarang, sebenarnya aku sering melihatnya dalam posisi kebingungan seperti itu. Kadang dia terlihat melamun saat makan siang dan mandi lebih lama dari biasanya. Tapi, kupikir tak ada persoalan, apalagi sejak setahun sebelumnya dia giat mengubah gaya hidup sehat dengan olah raga, sedikit berlatih yoga, makan makanan bebas lemak dan kami juga mengikuti terapi agar segera memperoleh momongan. Jadi kupikir dia kelelahan menjalani itu semua, belum lagi pekerjaan yang menyita seluruh waktunya.

Tapi malam itu ada yang berbeda. Biasanya dia kembali bersikap normal jika aku bertanya tapi, kali ini dia semakin gelisah dihadapanku. Aku ingat segera meletakkan laptop di pangkuanku.

“Ada apa, sayang ?” tanyaku.
Dia tidak menjawab, pandangannya tertuju pada lantai kamar. Setelah kudesak, akhirnya dia mengatakan suatu kalimat yang tak pernah kubayangkan akan kudengar seumur hidupku. Rasanya menyesal telah bertanya karena aku tak siap mendengar jawaban seperti itu.
”Vivi hamil, Ma…” katanya dengan suara setengah berbisik.
Aku mengernyitkan dahi dan sedikit terkejut mendengarnya,
”Oh ya ?” kataku kebingungan, ”Vivi teman sekantor Papa ?”
Aku mencoba mengingat-ingat dan memang aku mengenalnya walau tidak seberapa dekat. Aku pernah beberapa kali datang di acara kantor suamiku dan mengenal gadis itu di sana. Ia sangat ramah walaupun sedikit pendiam. Wajahnya biasa-biasa saja, tubuhnya tinggi, berambut pendek sedikit ikal dan setahuku ia belum menikah. Aku memandang suamiku lagi dan dia mengangguk lemah.
”Hamil? Tapi dia kan belum menikah?”
Lama suamiku membiarkan pertanyaanku menggantung di udara dan aku hanya bisa memandangnya dengan rasa penasaran yang tak bisa kusembunyikan.
“Dia—dia—mengandung anakku, Ma.” katanya lirih.

Aku tak ingat lagi yang terjadi kemudian. Oh tidak, tidak! Bukannya tidak ingat, tapi aku hanya tak ingin mengingatnya. Mereka sudah hampir dua tahun berselingkuh dibelakangku dan kehamilan Vivi membuatnya harus bertanggungjawab.

Kulalui proses perceraian yang menyakitkan. Sungguh tak kusangka menjadi janda di usia tiga puluh tahun. Saat meninggalkan rumah, aku hanya membawa pakaian, uang di bank hasil pembagian harta gono-gini dan laptop yang berisi tulisan-tulisanku.

Aku tak tahu harus kemana. Aku tak mungkin pulang ke rumah orang tua, walaupun mereka berkali-kali memintanya. Entah mengapa aku merasa ajakan itu tidak sepenuhnya tulus. Mereka adalah ‘orang baik-baik’— jika bisa dibilang begitu—penuh dengan kekerasan tekad menjaga nama baik dan perceraian sama sekali tak pernah mampir dalam sejarah keluargaku. Aku tak ingin melihat diriku sendiri telah menodai itu semua saat berhadapan dengan wajah-wajah mereka yang kecewa. Aku punya beberapa teman yang peduli tapi aku toh harus mengerti bahwa mereka memiliki hidup mereka sendiri…

Hingga aku terdampar di tempat kos ini. Tempat kos yang kupilih agar selalu bisa melihatnya setiap hari. Yah, tempat ini memang tak jauh dari rumahku dulu. Aku tak tahu mengapa aku berada di sini, tapi yang kutahu dengan pasti bahwa aku masih merindukannya, masih ingin memeluknya, masih ingin memilikinya lagi seperti dulu.

Dia adalah teman terdekatku, dia selalu ada di sekitarku, mendengarku bercerita sambil duduk merokok di pinggir jendela, memberiku semangat saat aku lelah dengan impian-impianku mewujudkan mimpi menjadi penulis, dia selalu menjadi sandaran saat aku kesepian dan ingin terbenam dalam perlindungan seseorang.

Kami berdua memilih rumah mungil itu karena sama-sama menyukai bentuk jendelanya yang kuno dan lebar serta teras berbentuk bundar di sisi rumah yang langsung menjadi tempat favoritnya setiap sarapan pagi. Aku ingat, kami harus berdebat keras menentukan warna yang tepat untuk ruang tamu kami yang mungil agar terkesan hangat. Akhirnya dia yang memenangkan perdebatan itu dengan memilih warna hijau lembut yang tidak begitu kusukai. Walaupun sedikit kesal, tapi aku puas juga karena dia membiarkanku menentukan beberapa perabotan rumah tanpa melalui perundingan sebelumnya.

Kini dia telah menjadi orang asing, dia benar-benar sudah pergi dari hidupku, disaat aku masih ingin dia ada. Tak! Segampang itulah jari pesulap dijentikkan dan setangkai bunga menjadi seekor kelinci. Hidupku telah hancur …

Aku terduduk dengan mata yang basah hingga jari-jari tanganku gemetaran.
”Kenapa, Mbak ?”
Aku mendongak. Gadis itu berdiri dengan handuk di bahunya dan memandangku cemas. Kalau tak salah, dia gadis dari kamar sebelah tapi aku tak tahu namanya.
“Tidak…” jawabku sambil bangkit dari dudukku, ”Nggak apa-apa kok, sedikit pusing aja.”
“Istirahat aja di kamar, Mbak. Ini khan lantai dua, bahaya.” katanya.
Aku tersenyum,
”Ya, terima kasih.” lalu berlalu meninggalkannya.

Aku sedikit berlari menuju kamar dan kemudian terduduk di ranjang dengan linglung. Yah…aku harus melakukannya sekarang! Sekarang! Empat jam lagi adalah waktu yang tepat. Tapi apa yang harus kulakukan sambil menunggu waktuku mati?
Meyakini bahwa segala penderitaan ini akan berakhir membuatku sedikit lega. Aku bangkit dan membongkar lemari. Aku harus memakai gaun terbaik, terindah dan laksana Juliet, aku akan terkapar di depannya. Dia akan menyesal telah membuatku begini, dia akan menyesal seumur hidupnya. Karena dia telah membunuhku...

Aku sudah mempersiapkan skenario ini setiap malam dan setiap memikirkannya, niatku mengakhiri hidup telah bulat. Semalam aku menelpon mama dan suaranya tetap dingin menyalahkanku,
”Coba kamu dengar omongan mama sejak dulu, Pram bukan pria baik-baik. Sejak dulu mama tahu itu! Sekarang coba lihat adik-adikmu sukses dan hidup bahagia karena mereka mau mendengar nasehat mama.” Omelnya dengan suara melengking seperti biasa.
Aku menutup telepon sambil menghela nafas. Sejak semula, aku tahu tak dapat berharap banyak dari mama. Aku bisa mengerti dia sangat kecewa karena aku tak pernah bisa menyelesaikan kuliah dan memilih menikah dengan Pram. Lama aku terpekur di depan telepon dan bingung harus menghubungi siapa lagi. Baru kusadari aku tak punya siapapun, menyedihkan.

Lama aku dalam posisi terpekur tanpa memikirkan apapun. Kutengok jam dinding, ya ampun, begitu lama waktu berjalan dan aku telah sampai pada detik-detik terakhir hidupku.
Aku bangkit dan bergegas mengenakan gaun itu. Sebentar lagi jam dua belas dan Pram—seperti biasa—akan makan siang di sebuah kedai makan di seberang kantornya. Aku bahkan hapal benar tempat yang biasa dia duduki, sebuah meja kecil di teras dekat trotoar jalan. Aku akan menghampirinya, mengatakan bahwa aku sangat mencintainya dan akan mengakhiri hidupku dihadapannya.
Kupandangi botol kecil dengan bubuk berwarna kelabu yang tersimpan di atas kaca rias. Dengan ragu kuambil dan segera kumasukkan dalam tas kecilku. Kamu akan menolongku mengakhiri semuanya…

Aku merias wajahku sedikit agar kematianku terlihat cantik. Kupakai baju favoritnya, atasan dengan leher rendah berwarna kuning lembut dihiasi bunga-bunga kecil dan rok selutut dengan renda-renda putih di bagian bawah. Setelah mengamati bayangan diriku sekali lagi di cermin, kulangkahkan kaki keluar kamar kos. Langkahku ragu sejenak tapi bayangan kegelapan masa depan membuatku melangkah lebih cepat.

Itu dia, kedainya masih sepi karena jam istirahat kantor masih lima belas menit lagi. Aku akan duduk disana, menunggu Pram datang. Aku duduk dengan tenang, memesan softdrink dan sedikit gelisah menunggunya. Detik demi detik bagai berjam-jam lamanya.
“Duduk disini, Nek.”
Aku menoleh. Tak jauh dari tempatku, duduk seorang nenek dengan badan agak bungkuk dengan seorang anak perempuan berusia kira-kira sebelas tahun. Mereka tampak akrab dan sang nenek mengangguk-angguk sambil mendengarkan cucu perempuannya bercerita. Aku kembali berpaling sambil memandang jam di tanganku sekali lagi. Ya ampun, sebentar lagi …
“Aku diejek gendut, Nek.” Suara gadis kecil itu terdengar lagi. Kali ini suaranya terdengar agak marah, ”Aku enggak mau sekolah lagi! Mereka semua jahat!”
Aku kembali menoleh ke arah suara itu.
“Kenapa ga mau sekolah?” tanya sang nenek dengan suaranya yang kecil dan lembut.
“Yah nenek, khan sudah dibilang kalo teman-teman mengolok-olok Caca gendut.”
“Karena itu gak mau sekolah?” tanya sang nenek sekali lagi.
“Nenek ga ngerti sih gimana rasanya.” ujar si cucu dengan suara perlahan, ”Mereka melihat Caca seperti alien aja, makhluk aneh.”
Sang nenek tertawa perlahan, lalu dia menyendokkan secuil es krim dihadapannya,
”Waduh enak sekali, ice cream rasa apa ya, Ca?”
“Aduh nenek, khan es krim stroberi.”
Sang nenek mengangguk-angguk, dan menyendokkan secuil lagi, kali ini berwarna coklat,
”Kalau yang ini?”
Si cucu memandang neneknya dengan pandangan kesal,
”Nek, itu es krim coklat.”
“Oh ya? bukannya coklat rasanya pahit? Ingat tidak waktu kita melelehkan coklat di dapur minggu lalu ?”
“Itu coklat asli, Nek, gak ada gulanya, nenek sendiri yang bilang khan?”
Si nenek tertawa lagi,
”Oh iya ya,” katanya, ”Kok bisa ya? sama-sama coklat tapi rasanya beda.”
Sang cucu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya,
”Nenek aneh, ih.” katanya.
“Tau tidak,” kata sang nenek sambil mengelus-elus rambut sang cucu, ”Dari coklat kamu bisa belajar banyak hal, agar rasanya enak harus diberi sedikit gula atau krim, terserahlah apa saja, pokoknya rasanya tidak pahit lagi. Namun, walau kita berusaha agar tidak mendapatinya lagi, terkadang masih saja kita menemukan hal-hal yang tidak kita inginkan, seperti kopi yang kurang gula, buah yang asam, cake coklat yang keras seperti yang kita bikin minggu lalu, padahal kita membuatnya persis seperti yang tertulis di resep.”
“Tapi rasanya enak kok.” timpal sang cucu.
“Nenek pikir, kehidupan pun demikian, cucuku sayang,” ujar sang nenek, ”Kadang manis, kadang pahit, asam, pedas hingga kita mengeluarkan air mata dan kita gak bisa menghindarinya, walau telah berusaha keras menghindarinya. Dalam kue yang keras pun, ternyata rasanya enak, kopi yang pahit pun, kalau kita beri sedikit gula—hmm—rasanya sangat nikmat.” ujar sang nenek sambil memasukkan sesendok es krim ke mulutnya yang keriput, ”Bagaimana kalau sebaiknya, kau cari terus sesuatu untuk membuat hidupmu terasa manis? Bukan ide yang buruk, kan? Jika kamu tidak mendapatkannya dari orang lain, kenapa tidak kamu sendiri yang mencarinya, menciptakannya, bagaimanapun hidup harus terus berjalan, kamu harus melewatinya,”

Aku tertegun mendengarnya dan semakin tertegun saat suara yang kecil dan lembut itu kembali berkata,
”Apakah dengan bersembunyi semua akan masalah selesai? Tidak, cucuku sayang! Tak ada masalah yang benar-benar selesai bagi hati yang selalu putus asa, tak ada hidup yang menyenangkan bagi jiwa yang terus mengeluh, kamu harus tetap bangun setiap pagi, pergi ke sekolah dan menghadapi semua masalahmu,”
“Tapi—bagaimana cara menghadapinya, Nek? Mereka semua tidak menyukaiku!”
“Tidak, itu tidak benar, Caca sayang. Mereka hanya perlu lebih mengenalmu, bahwa meskipun kamu sedikit gendut tapi jika tersenyum, kau mampu menghangatkan hati siapa saja yang memandangnya, benar-benar senyuman bidadari ... “
“Ah Nenek bisa aja,” terdengar suara mungil itu sedikit malu-malu.
“Kamu juga tak pernah keberatan menolong orang lain, pandai masak, jago bikin kue…”
Sang cucu tertawa, “Cukup. Cukup, Nek...” katanya.
Tapi sepertinya sang Nenek tidak menghiraukannya.
“Tapi yang paling Nenek sukai adalah suaramu yang indah saat menyanyi—begitu bening, merdu,”
“Waduh kepala Caca mulai membesar, Nek.”
Mereka berdua terdengar tertawa riang. Kemudian terdengar lagi suara lembut sang Nenek, kali ini sedikit ada ketegasan didalamnya.

“Bagaimana mereka mengetahui itu semua, jika kamu menutup diri, meringkuk di pojok, bermuka masam dan jarang tersenyum? Bangun dan melangkahlah ke arah mereka, berbagilah kebahagiaan dan kebaikan-kebaikanmu, jika kamu diejek, tersenyumlah dan kuatkan hatimu, katakan pada dirimu sendiri bahwa, ‘aku mungkin gendut tapi aku tak pernah membuat nenekku kecewa, aku selalu membuat nenek tertawa, aku baik hati, aku tegar dan aku akan lebih kuat dari mereka yang mengejekku, jika mereka mengejek lagi, aku semakin kuat dan terus bertambah kuat hingga mereka belajar dari kekuatanku.’

”Wow, kedengarannya indah sekali, tapi Nenek tahu, bukan sesuatu yang mudah menjalaninya, terutama temanku yang bernama Melda, ia selalu melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan sikap menghina, bagaimana aku bisa tersenyum pada cewek jahat seperti dia? Aku ingin menghantamnya dengan tinjuku, atau menjambak rambutnya hingga botak. Rasanya itu lebih melegakan, Nek. Aku tak bisa melakukan sebaik yang nenek harapkan.”

“Tentu saja kau bisa meninjunya, menghantamnya ke dinding, menjambak rambutnya atau merontokkan giginya, jika kau mau! Yakinkah kamu penyelesaian seperti itu yang kau inginkan? Benarkah tidak ada jalan yang lebih baik? Menawarkan persahabatan yang manis?”

“Tidak, Nek! Kalau saja nenek tahu seperti apa dia...”
“Salahkah bila dicoba? Bukankah kamu belum mencobanya? Bukankah kamu belum membagi satu senyummu yang manis itu terhadapnya? Belum kan? Mungkin kau akan mendapatkan sesuatu yang tidak kau duga.”
Diam sejenak.
”Entahlah, Nek” terdengar suara sang cucu, sedikit mengambang.
Ia terdiam sejenak lalu bertanya lagi,
”Tapi Nek, mengapa sih Tuhan memberikan Caca tubuh begini gendut? Papa-mama yang selalu sibuk? Dan teman-teman di sekolah yang selalu mengejek? Kayaknya Tuhan nggak adil deh, masalah Caca begitu banyak.”
Sang nenek terlihat tersenyum,
”Caca Sayang, Jangan berburuk sangka terhadap Tuhan. Terkadang Ia memberikan suatu misteri untuk dipecahkan dan manusia harus menjalani takdirnya. Kadang melewati padang bunga yang harum berwarna-warni, hingga mata ini silau oleh keindahannya, atau melintasi danau biru yang tenang, teduh, hingga kita terlena oleh kedamaian dan kesejukannya, namun juga melewati sebuah gua yang gelap-gulita dan kita tak tau harus kemana,”
Sang nenek berhenti sebentar dan kali ini suaranya terdengar begitu kuat sambil memandangi sang cucu lekat-lekat,
”Tapi ingat satu hal ini,” katanya meyakinkan, ”Saat dimasukkannya kita dalam gua yang gelap-gulita, Tuhan meletakkan sesuatu di tangan kita...”
“Hm? Apa itu, Nek?”
“Itu—” ujar Si Nenek, ” Sebatang lilin dan sekotak korek api. Setelah itu, kamu sendirilah yang mencari jalannya. Apakah kamu memilih tetap dalam gelap, menangis, meratap, menyesali diri dan menyalahkan keadaan…” Suara sang nenek terhenti sejenak lalu terdengar lagi, ”Atau mulai menyalakan lilin, tapi ketakutan dan putus asa membuatmu berhenti melangkah, takut tersesat atau takut mencari, hingga akhirnya lilin habis menyala dan kamu masih berdiri mematung di tempat, kembali dalam kegelapan yang panjang—” Suaranya menggantung.
“Ya Nek ?” ujar sang cucu terdengar tak sabar.
“Atau kamu mulai nyalakan lilinnya, dan teruslah berjalan, terus berjalan ... Menangislah jika kau merasa sakit dan takut, karena kita ini hanyalah manusia yang tengah diuji, tapi jangan pernah berhenti melangkah, teruskan perjalanan dengan sebatang lilin menyala di tanganmu. Perjalanan ini akan terasa melelahkan, menyakitkan, tak apa ...tak apa... rasakan saja sakit dan lelah itu, tangisi kepedihannya tapi jangan terlalu larut olehnya, jangan padamkan semangat, ingatlah, bahwa ribuan orang pernah melintasi jalan yang sama gelapnya tapi mereka melaluinya juga. Jadi, teruslah berjalan, lalui perjalanan yang menyakitkan itu agar kamu semakin kuat dari waktu ke waktu, yakinlah bahwa lorong panjang yang gelap itu akan berakhir, kamu pasti akan menemukan sinar di ujung lorong jika kamu terus menyalakan harapan, tak berhenti melangkah, jangan pernah mengenal kata putus asa dan percayalah! Percayalah, Tuhan akan menolongmu jika kamu meminta pertolongannya dengan sungguh-sungguh.”

Aku meletakkan tanganku di bibir meja dengan gemetar dan air mataku jatuh tertumpah-ruah…Oh Tuhan, apa yang tengah kulakukan ini? Apa yang telah kulakukan?

Aku begitu limbung, alam seolah berputar di sekelilingku dan kusadari tubuhku terjatuh. Terdengar suara-suara orang disekelilingku, mataku begitu kabur oleh air mata tapi, aku melihatnya…aku melihat wajah itu … seraut wajah tua dengan keriput dimana-mana, matanya begitu damai dan teduh, dia pasti malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkanku. Serta merta kupeluk tubuh renta yang tak pernah kukenal itu kuat-kuat sambil berbisik,
”Terima kasih…terima kasih.” Dan aku terus terisak-isak dalam pelukannya.

Toko buku yang berada di lantai dua sebuah mall terbesar di Jakarta terlihat lebih ramai dari biasanya. Beberapa orang terlihat mengantri sambil mendekap sebuah buku kecil bersampul kuning lembut. Aku menepuk-nepuk kedua pipiku, seperti biasa untuk meredakan ketegangan. Seorang pria berbaju rapi tersenyum dan mempersilahkanku duduk.

“Selamat sore,” sapaku pada seorang muda-mudi yang berada di urutan pertama, mereka tampak malu-malu sambil menyodorkan buku kecil itu dihadapanku.
”Terima kasih ya sudah membeli buku saya, ditulis buat siapa ?” tanyaku.
Sudah tujuh tahun sejak saat itu berlalu dan ini adalah buku keempatku. Rasanya hampir tak percaya, pada akhirnya aku bisa melihat bukuku dipajang di sebuah toko buku sebesar ini. Tentunya panjang sekali jalan hingga aku bisa duduk disini dan memberikan tanda-tangan pada mereka yang menyukai karya-karyaku.
Nenek Erni, yang kutemui bersama cucunya Caca di kedai siang itu, sudah tiada. Dia menutup mata dua tahun lalu karena sakit jantung kronis, namun kehangatan pelukannya masih kurasakan setiap aku mengenangnya.

Begitu hangat…hanya pelukan, tanpa kata-kata, namun aku seolah memindahkan semua beban ini dipundaknya yang rapuh. Saat terakhir aku melihatnya di rumah sakit malam itu, dia tersenyum saat melihatku dan bibir keriputnya mengucapkan terima kasih ketika menerima seikat bunga mawar putih kesukaannya. Badannya sudah sangat lemah hanya pandangan matanya yang masih terlihat menyiratkan keteguhan. Caca menangis terisak dalam pelukanku, aku hanya bisa menggeretakkan gigi dengan air mata meleleh ketika pada akhirnya kain putih itu menutupi wajahnya yang renta. Dia terlihat cantik, begitu damai…

Mengherankan, saat dia dimakamkan di pagi yang dingin, aku yang terakhir beranjak dari makamnya. Aku memandangi tanah bertabur bunga itu dan lebih merasa kehilangan dibandingkan siapapun. Dia telah pergi…tak kudengar lagi nyanyian-nyanyiannya, senda-guraunya dan kehangatan pelukan yang selalu kuterima setiap berpamitan pulang dari rumahnya yang asri. Aku telah menemukan kekuatanku, menemukan hidupku lagi dan kali ini dia telah pergi…benar-benar sudah pergi hingga aku merasa sunyi. Tapi, sebatang lilin telah dinyalakan dan aku siap untuk terus berjalan …
“ Mama !”
Aku mendongakkan kepala dan seraut wajah cantik Keisha, putriku tercinta, tengah tersenyum sambil menyodorkan buku bersampul kuning lembut itu dihadapanku,
”Aku juga penggemar buku-buku mama.”celotehnya, “Papa juga.” timpalnya lagi sambil menoleh pada Erick, suamiku, yang langsung menjawab, ”Tentu saja.”
Aku hanya bisa tertawa sambil membubuhkan tanda-tanganku di buku kecil yang disodorkan mereka. Dari jendela kaca, kulihat mulai gerimis. Titik-titik air memercik pada beningnya kaca. Aku tersenyum pada antrian berikutnya…




Finish

1 komentar:

Penerimaan CPNS 2014 said...

Cerpen yang sangat bagus :)

Post a Comment

 

Komentar

Postingan Terakhir