Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Tuesday, January 17, 2012

Heboh! Bedah Perawan Bima Dua Hari

Tuesday, January 17, 2012
Tanggal 30 Desember tahun 2010 lalu, Grup Bima Institute, melalui akun facebook, heboh dengan diskusi gadis perawan di Bima. Diskusi berlangsung seru hingga tanggal 31 Desember 2010. Empat puluh sembilan komentar mewarnai dinding diskusi. Mereka inilah yang buka-bukaan soal keperawanan. Ada Ilham Abdul Rasul, ZhaNty Pha, Nurdin Micky, Ensyar Langgudu, Iwan Supartana, Thethe Icha MechieSelalu, Ibnu Abbas, Umar Ali, Rio Robby, Dayat Poetra M Nor, dan Mudda Bima. Bagaiman dinamika buka-bukaan soal perawan Bima? Jangan lewatkan liputan berikut!


Di awal, Ilham Abdul Rasul coba lempar umpan dengan pernyataan, “kata orang (sesumbar): sangat sulit menemukan gadis yang masih perawan di Bima. Tapi, sepertinya memang harus dilakukan survey deh supaya bisa dapatin hasil yang akurat.”


Karuan saja. Pernyataan Ilham mendapat tanggapan beragam, multiperspektif dari peserta lain. ZhaNty Pha, orang pertama beri tanggapan. Zha mendukung pernyataa Ilham. Bahkan ia mengatakan, tidak dilakukan survey pun bisa dibaca bagaimana kondisi disana. Ilham merasa geli kalau faktanya seperti itu. Soalnya, Bima yang oleh banyak kalangan dikenal masyarakatnya agamis, malah anak gadisnya tidak terjaga. “Kalau dulu waktu saya SMA, di Ngali sana, kalau mau pacaran sama seorang gadis, terlebih dahulu orang tuanya yang dipacarin, nggak tahu yah, sekarang kayak apa?” ungkap Ilham.


Ibnu Abbas menguatkan pernyataan Ilham. “Saya teringat dengan pemberitaan Koran Kompas dan Fajar (Sulsel) pada beberapa minggu lalu yang membeberkan hasil survey BKKBN pusat. Menurut suvey, hampir 50% remaja putri di kota-kota besar sudah tak perawan lagi. Berita dan hasil survey itu membuka pikiran kita. Ternyata sudah sejauh itu degradasi moral masyarakat hari ini. Namun, hal itu perlu kiranya dikaji sumber masalahnya bisa disebkan: Pertama, nilai kearifan lokal. Contoh: maja labo dahu yang berkembang di masyarakat sudah mulai tergeser. Kedua, ketidakmampuan lembaga pendidikan hari ini melakukan transformasi nilai-nilai kebajikan kepada masyarakat sebagai peserta didik. Ketiga, lemahnya kontrol orangtua. Keempat, tidak berfungsinya pendidikan informal (transformasi budaya di masyarakat). Dan Kelima, sikap politik pemangku kebijakan,” kata Ibnu.


Ups! Ada yang tersentil rupanya. Berbeda dengan ZhaNty, Ensyar Langgudu menolak keras pernyataan Ilham. “Sebagai wanita mada (baca: saya) sangat tidak sependapat dengan bahasa, bahwasannya sangat sulit menemukan wanita yang masih perawan di Bima,” ungkap Ensyar. Atas penolakan ini Ilham menjawab, “dek Ensyar, saya mengerti perasaan adik sebagai seorang wanita, tapi sekali lagi ini hanya sesumbar dan memang membutukan pembuktian, saya berharap berita itu sama sekali tidak benar. Karena jujur, saya sendiri punya adik perempuan di Bima sana. Sebagai kakak, saya juga ngeri dengarnya.” Lantas Ensyar menambahkan, “mungkin memang sebagian kecil wanita seperti itu. Tapi, bukan berarti semua orang bisa berpendapat kalau wanita di Bima banyak yang sudah tidak perawan. Insya Allah atas didikan dan kasih sayang ita doho sebagai kakak, kami selaku sebagai adik bisa manjaga diri.”


Perlukah Tes Keperawanan?

 
Sulastri sempat membatah keras pernyataan Ilham. Ilham menjelaskan bahwa tadinya pernyataannya akan membuat semua gadis Bima jengkel bahkan marah, tapi ia bersyukur karna Sulastri juga punya kegelisahan yang sama seperti dirinya dan kebanyakan orag Bima yang lain.

Kali ini Ilham semakin usil. Ia mengusulkan, langkah paling efektif menurutnya, ia hendak mengusulkan pada Bupati Bima, agar saat penerimaan CPNS bagi masyarakat yang mengaku lajang dilakukan tes keperawanan, laiknya instansi lain yang melakukan tes bebas narkoba. “Ini hanya langkah awal. Selanjutnya bupati keluarkan kebijakan melalui Kadis. Pendidikan dengan mewajibkan siswa puteri yang muslim untuk mengenakan jilbab. Memang bukan jaminan. Tapi, paling tidak, dia akan terbebani dengan jilbabnya. Kalau dia tidak menjaga pergaulannya. Dan saya kira masih banyak lagi yang lain,” tutur Ilham.


Nurdin Micky sempat meragukan metode seperti apa yang akan digunakan untuk tes keperawanan. Ilham hanya mengatakan banyak metode dan pendekatan ilmiah.


Tiba-tiba, Iwan Supartana, dengan foto profil anak kecil nan lugu muncul. Ia bilang “Hmm…rupanya rubrik buat orang dewasa, aku masih bocah, no coment ah, alnya ulama aja nggak ngurus yang demikian, hih…maaf maaf kate. Mene ku tehe….” Di balik keluguan Iwan sebetulnya meninggalkan kata-kata kritis yang sangat tajam. Atas pernyataan ini, Nurdin Micky malah menanggapi dengan nada guyon, “ya anak kecil mending nete aja biar cepat besar..” Namun Ilham mencoba jawab, “Bung Iwan, tadinya saya hanya lempar bola, dan saya bersyukur ada juga adik-adik kita yang tersinggung. Maksudku Bima nggak buruk-buruk amat.”


Kali ini, Thethe Icha MechieSelalu muncul dengan penolakan yang cukup keras. Thethe tidak sependapat dengan pernyataan Ilham di atas yang menyatakan cek keperawanan saat tes CPNS. Thethe malah mempertanyakan, apa ada yah, alat untuk mengetahui keperawanan seseorang. Thethe merasa, itu hak individu untuk mengakui perawan atau tidak perawan. Untuk hal seperti ini Thethe merasa perlu adanya kesadaran individu. Kita ketahui juga bagaimana keadaan Bima sekarang, semakin modern dan masyarakat Bima juga lebih mementingkan gengsi. “Kanda Micky, saya tidak sepakat juga dengan pernyataan, seharusnya itu anak kecil yang dididik, dibina dan diberikan pencerahan,” ungkap Thethe menambahkan.


Atas pernyataan Thethe, Ilham menanggapi, “dek Thethe, saya sudah menduga hal ini banyak yang tidak setuju dengan pernyataan saya. Semua itu benar, hak masing-masing individu, cuma kalau benar ada syarat kayak gitu, kan pasti tambah takut adik-adik kita untuk berbuat yang nggak wajar. Bahwa, ada modernisasi yang ikut mempengaruhi, iya. Saya juga setuju, tapi modernisasi tanpa nilai budaya lokal saya malah khawatir bablas adikku.”


Umar Ali, kali ini menanggapi ringan. Umar mengatakan, pembahasannya adalah pola hidup terindikasi terjadi seks bebas yang meresahkan dikalangan kaum muda Bima. Terlalu dini menyimpulkan apalagi dengan melihat kondisi sosial pergaulan dan referensi umum yang terjadi di kota-kota besar lain. “Pergaulan bebas, lebih terbuka, seks bebas, dan lain-lain, berbeda makna. Maka survei boleh-boleh saja, tapi prosentase sosialnya belum sebanding. Siwe Mbojo tentu masih sangat menjaga hak kepribadian,” kata Umar.


Ibnu Abbas menanggapi Umar. “Pak Umar, sip, adinda setuju. Dalam hati kecil kami masih yakin bahwa Bima tidak seperti itu. Namun, itu perlu menjadi bahan pertimbangan agar bisa diantisipasi sedini mungkin. Tak perlu menunggu dari pemerintah, kita mulai saja dengan kesadaran kita masing-masing. Kemudian kita menyadarkan orang terdekat kita, sebagaimana tertuang dalam pesan-pesan suci, ‘jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka’,” ungkap Ibnu diplomatis.


Rupanya Thethe Icha MechieSelalu belum puas. Ia menambahkan “ Masih jauh beda juga model pergaulan Daerah Bima dengan kota-kota besar lainnya. Tidak bisa dibandingkan. Yang saya lihat sebenarnya pergaulan di daerah kita hanya sebatas ikut-ikutan saja,” kata Thethe dengan tulisan gaul, hingga sedikit merepotkan editor menafsirkan kalimat demi kalimat.


Menjawab Thethe, Ilham berusaha diplomatis, “dek Thethe, survey itu tidak hanya dengan melakukan wawancara terhadap sasaran, kan bisa dilakukan wawancara pada anak lelaki. Dan bukan hanya wawancara ada juga pendekatan lain misalnya medis. Ada kok dek, alat untuk nguji keperawanan, jangankan itu orang suka bohong aja ada alat deteksi, namanya lie detektor.”


Tantangan dan Harapan

Nurdin Micky mengatakan, “saya kira kini saatnya kita bangkit dari keterpurukan, terutama dari keterpurukan moral dan mental. Boleh pacaran tapi tak perlu dicoba-coba yang belum saatnya. Ibarat mangga kalau dimakan sbelum matang rasanya asam, tapi kalau udah matang rasanya sungguh nikmat. Prinsib maja labo dahu adalah prinsip yang mutlak dimiliki kita, orang Bima. Sehingga selalu terkontrol dalam pergaulan. Majulah terus putra putri Bima….!!!” Dijawab Ilham, “Insya Allah adik. Sejauh kita masih punya keyakinan untuk mempertahankan budaya dasar masyarakat dan merubah keadaan hari ini pastilah ada jalannya. Ilham menambahkan, “dinda Nurdin, saya setuju, tapi usul saya, saya pikir pemaknaan dari prinsip hidup maja labo dahu itu perlu dilakukan rekonstruksi agar pemahamannya tidak menjadi bias. Prinsip ini memang telah mengakar dalam setiap individu kita, orang Bima. Tapi, tidak sedikit yang mengalami reduksi. Maja dalam pengertiannya, yakni malu dalam konteks ini malu yang dimaksud adalah terhadap perbuatan yang salah. Dahu yang berarti takut, mengandung arti takut untuk berbuat dosa. Prinsip ini merupakan perwujudan dari konsep taqwa dalam Al-Qur’an.”


Zha lantas mengajak, sebagai kakak atau pun orangtua bagi adik-adik, anak Bima yang bermoral, marilah sama-sama memegang teguh bagaimana Bima dulu yang subhanallah, karakteristiknya tak bisa dimiliki oleh komunitas lain. Lalu, Zha menambahkan, apapun metode atau cara yang di pikirkan semoga bisa membangun Bima lebih baik, amien. Ditambahkan pula, sebagai putri Bima yang jauh, mencari ilmu ingin sekali membawa ilmu yang bermafaat buat Bima tercinta. “Walau terkadang hati kecil saya menangis melihat kondisi pergaulan adik-adik disana. Kalau pulang, jadi tolong sebagai ayah bagi kami, berikan yang terbaik dan lebih tegas lagi,” ungkap Zha penuh harap.


Ilham berharap, ide yang kecil bisa memberi manfaat kendati hasilnya pun agak kecil, tapi kalau boleh berumpama, ide kecil ini ibarat lilin ditengah lorong yang sangat gelap, sekecil apapun sinar lilin itu pastilah memberi manfaat bagi setiap orang yang melewati lorong tersebut.


Melihat dinamika diskusi yang semakin hangat, Nurdin Micky, salah satu inisiator Bima Institute mengambil kesempatan. “Saya pernah disindir oleh teman-teman di kampus. Katanya mahasiswa Bima itu nggak bisa bersatu, nggak bisa berdiskusi, sukanya berkelahi antar sesama. Tapi, melihat antusias dan semangat berdiskusi yang kita lakukan lewat grup ini, maka mulai sekarang saya berani berteriak sekencang-kencangnya, bahwa kami orang Bima bisa bersatu, walau sering beda pendapat dalam forum diskusi….!!” ujar Micky.


Tikungan Tajam di Akhir Putaran

Ibarat lomba balap, tiba-tiba Rio Robby melejit kencang dari belakang. Rio mengatakan, “Bung Ilham, salut dengan keprihatinan Anda. Tapi, tetap saja tidak menyentuh akar permasalahannya. Menurut saya, perempuan adalah korban, korban dari brutalnya nafsu laki-laki. Jangan lupa sesuatu menjadi ada karena adanya permulaan. 100% saya yakin, jika saat ini ada permpuan Bima sudah tidak perawan itu karena laki-lakinya yang bejat. Terlalu jauh jika sampai pada harus adanya tes keperawanan, karena sebenarnya banyak faktor yang bisa saja membuat seorang perempuan sudah tidak memiliki keperawanan. Jangan naif menyikapi hal ini.


Rio menmbahkan, “Sulastri, Anda jangan menjadikan pergaulan sebagai faktor penentu bahwa seorang perempuan dikatakan sudah tidak perawan. Dasarnya kurang kuat. Seharusnya Anda protes bahwa sebagai perempuan Anda sudah dilanggar hak-haknya. Harusnya Anda balik bertanya kepada Bung Ilham. Kok cuma perempuan yang dites, laki-laki kok nggak? Kalau ternyata banyak juga laki-laki yang sudah tidak perjaka, lantas apa bedanya dong! Harusnya laki-laki diberikan predikat yang sama, agar kekhawatiran itu tidak hanya menjadi milik perempuan, dan keegoisan laki-laki menilai perempuan.


Dayat Poetra M Nor juga tak kalah tajamnya. “Kanda ilham, sebenarnya melakukan survey seperti itu sma halnya dengan membuka aib seseorang, dan membuka aib seseorang ada pasalnya loh! Cukup Tuhan (Allah) dan dia saja yang tau. Dan memang, ada sih alat untuk mengetahui perawan/tidaknya seseorang. Tapi ,coba dibayangkan ketika kemaluan seseorang di tes pakai alat tersebut. Waduh sadis sekali. Seperti yg dikatakan Bang Rio itu benar sekali, kenapa laki-laki juga tidak di tes? masa hanya perempuan saja sih, yang kena dampaknya. Sungguh tidak adil itu. Kalaupun tujuan survey itu hanya untuk memperingatkan kepada generasi penerus, tidaklah perlu tes seperti itu Kanda. Kalau memang ingin mengingatkan kepada generasi penerus akan dampaknya perbuatan itu, cukuplah diadakan kegiatan seperti pengajian, ceramah selama 1/2 hari dalam 1 minggu di sekolahnya. Bahkan bila perlu panggil itu ustadz/da’i untuk mewakili ceramah tersebut,” demikian papar Dayat.


Dan, saudara-saudara! Kali ini, peserta diskusi tiba-tiba nyelonong pada saat pembicaraan hampir ditutup. Mudda Bima, semakin memperkuat penolakan pernyataan Ilham. “Sumbang saran ndaiku yang tak begitu panjang juga tak begitu pendek, tak begitu besar juga tak begitu kecil. kelamin adalah urusan masing-masing yg tak perlu, tak pantas, tak bermanfaat, dan tak masuk domain publik. seperti halnya kesengsar…aan dan kenikmatan yg ditimbulkan oleh bagian tubuh yg satu ini toh mjd tanggungan masing-masing. Apalagi rencana pemerintah akan mengeluarkan UU tentang keperawanan, wuih, sadis amat Negara, ingin masuk samapai ke wilayah-wilayah kemaluan rakyat. Padahal, urusan publik, sampai akhir zaman sepertinya nggak kelar-kelar. ‘Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu….peraturan yg sehat yg kamu mau,’ kata iwan fals,” kata Mudda.


Seakan tak puas, Mudda kembali dengan pernyataan, “Saya panjangin dikit, heheheh…..dan ingat! Apa yang terjadi pada kelamin tidak pernah berbanding lurus dengan akhlak, moral, atau kemaslahatan bersama. Sebab kelmin tidak pernah ganguin siapa-siapa. Perjaka atau perawan adalah inseden yang terjadi pada bagian tubuh. Sama seperti ketika tangan kita terluka atau kaki kita tergores. Bukan semata-mata karena bersentuhan dengan orang lain. Dan, masalah per-per yang saya sebutkan, berbeda konteks ketika membicarkan seks di luar nikah. Jadi, pemerintah jangan “gila” deh! Main tes-tes segala. Apalgi urusan tes-tes ini jadi lahan korupsi, ssssstttt! (rahasia umum). Lebih baik kita tes kekayaan pejabat dgn pembuktian terbalik. Misalnya; berapa pengasilan normal seorang bupati setiap bulan, kalikan setahun. Seluruh pejabat berlaku hal yang sama. Kalau ada kelebihan, boleh diambil untuk disumbangkan ke masjid, panti asuhan, dan ke tempat-tempat yang memang butuh dan perlu. Begitu! Jangan kelamin orang diobok-obok.”


Wow, ternyata masih ada sisa-sisa greget yang mau dituntaskan oleh Mudda. “Wah, keganggu lagi, neh. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya; ini ada logika sederhana. Kenapa dinamakan “alat kelamin”. Artinya kemin hanyalah sebuah alat. Mobil adalah alat transportasi, ketika sebuah mobil menabrak orang, yang diadili tentu sopirnya. Nggak pernah kan mobil yg dihukum! Atau dihadirkan di hapan majelis hakim yang “konon” mulia! Artinya tes ke-per-per (perjaka dan/atau perawan) salah alamat. Untuk urusan ini, paling-paling kita hanya bisa bilang, ‘Jangan Bermain-main dengan Kelaminmu’ sebagaimana judul cerpen Djenar Maesa Ayu. Dan anjuran saya, mari kita kembalikan kelamin pada fungsi yang sesungguhnya. Kita manfaatkan sebaik-baiknya, sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) dari Tuhan. Kita jaga dan kita rawat dia, sebagai tanda syukur atas karuniaNya.


Di akhir diskusi, 31 Desember 2010 jam 14:49, terhadap gemuruh penolakan dari peserta diskusi lain, Ilham Abdul Rasul menutup diskusi dengan mengatakan, ”terima kasih semuanya. Saya bersyukur teman-teman saya, alias saudara-saudara saya, orang Bima ini, masih sangat peduli dengan urusan moral, secara jujur Bima alias Mbojo itu dikenal orang karna moralnya bagus, kalau itu juga hilang mungkin Bima juga tinggal nama dan hanya akan menjadi kenangan. Wallahualam bissawab.” (Editor: Mudda Bima).

Sumber :  http://bimaqta.wordpress.com


Jadikan setiap Postingan untuk ajang DISKUSI dan saling BERBAGI agar ilmu anda semakin berkembang dan berguna bagi orang lain.

Gunakan Kolom Komentar di bawah ini untuk menyampaikan PENDAPAT/ OPINI sebagai bentuk partisipasi untuk mencerdaskan bangsa.



Anda Akan Menyukai ini :

0 komentar:

Post a Comment

 

Komentar

Postingan Terakhir