Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Monday, January 23, 2012

Arsitektur dan Psikologi

Monday, January 23, 2012

Adalah Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin mengatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari pribadi dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi:


Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin rnengajukan adanya kekuatan kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik & daya mendekat dan daya tolak & daya menjauh. Interaksi tersebut teriadi pada lapangan psikologis seseorang (penghuni/pemakai) yang pada akhimya akan mencerminkan tingkah laku penghuni (Iskandar, 1990).

Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan (environmental psychology) yang sudah baku, beberapa istilah lain telah mendahuluinya, Semula Lewin pada tahun 1943 memberikan istilah ekologi psikologi (psychological ecology). Lalu Egon Brunswik dengan beberapa mahasiswanya mengajukan istilah psikologi ekologi (ecological psychology). Pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah seting perilaku (behavioral setting) untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari .

Istilah psikologi arsitektur (architectural psychology) pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah pada tahun 1961 dan 1966. Jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku (Environment and Behavior). Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William 'nelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidang psikologi lingkungan (environmental psychology) di CUNY (City University of New York) (Gifford, 1987).

Definisi psikologi lingkungan memiliki beragam batasan. Heimstra dan Mc Farling (dalam Prawitasari, 1989) menyatakan bahwa psikologi lingkungan adalah disiplin yang memperhatikan dan mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan fisik. Gifford (1987) mendefinisikan psikologi lingkungan sebagai studi dad transaksi di antara individu dengan seting fisiknya. Dalam transaksi tersebut individu mengubah lingkungan dan seba iiknya perilaku dan pengalaman individu diubah dleh lingkungan. Sementara itu Proshansky, lttleson, dan Rivlin (dalam Prawitasari, 1989) menyatakan bahwa definisi yang adekuat tentang psikologi lingkungan tidak
ada. Mereka mengatakan bahwa psikologi lingkungan adalah apa yang dilakukan oleh psikolog lingkungan. Ahli lain seperti Canter dan Craik (dalam Prawitasari, 1989) mengatakan bahwa psikologi lingkungan adalah area psikologi yang melakukan konjungsi dan analisis tentang transaksi dan hubungan antara pengalaman dan tindakan-tidakan yang berhubungan dengan lingkungan sosiofisik.

B. L1NGKUP PSIKOLOG1 LINGKUNGAN

Proshansky (1974) melihat bahwa psikologi lingkungan memberiperhatian terhadap manusia, tempat serta perilaku dan pengalaman-pengalaman manusia dalam hubungannya dengan seting fisik. Lingkungan fisik tidak hanya berarti rangsang-rangsang fisik (seperti cahaya, sound, suhu, bentuk, warna, dan kepadatan) terhadap objek-objek fisik tertentu, tetapi lebih dari itu merupakan suatu kompleksitas yang terdiri dari beberapa seting fisik dimana seseorang tinggal, berinteraksi dan beraktivitas.
Sehubungan dengan lingkungan fisik, pusat perhatian psikologi lingkungan adalah lingkungan binaan (built environment).

Ruang lingkup psikologi lingkungan tidak hanya terbatas pada arsitektur atau pada lingkungan binaan (built environment), akan tetapi lebih jauh membahas pula: rancangan (desain), organisasi dan pemaknaan, ataupun hal-hal yang lebih spesifik seperti ruang-ruang, bangunan-bangunan, ketetanggaan, rumah sakit dan ruang-ruangnya, perumahan, apartemen, museum, sekolan, mobil, pesawat, teater, ruang tidur, kursi, seting kola, tempat rekreasi, nutan alarni, serta seting-seting lain pada lingkup yang bervariasi (Proshansky, 1974).

Sementara itu, Veitch dan Arkkelin (1995) menetapkan bahwa osikologi lingkungan rnerupakan suatu area dari pencarian yang bercabang dari sejumlah displin, seperti biologi geologi, psikologi, hukum, geografi, ekonomi, sosiologi, kimia, fisika, sejarah, filsafat, berserta sub disiplin dan rekayasanya.

Oleh karena itu berdasarkan ruang lingkupnya, maka psikologi lingkungan ternyata selain membahas seting-seting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya, juga melibatkan disiplin ilmu yang beragam.

C. HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN DAN PERILAKU

Untuk membahas hubungan antara lingkungan dan perilaku manusia, maka pembahasan akan disajikan secara bertahap yaitu:
(1) hubungan lingkungan dengan perilaku
(2) hubungan lingkungan binaan dengan perilaku
(3) hubungan arsitektur dengan perilaku

Pembagian tersebut di atas bukanlah pembagian yang didasarkan pada suatu hirarki tertentu, melainkan bertujuan untuk mempermudah penggunaan istilah-istilah lingkungan, tingkungan binaan, dan arsitektur yang terkadang saling tumpang-tindih.

1. Hubungan Lingkungan dengan Perilaku

Lingkungan mempengaruhi perilaku dengan empat cara. Pertama, lingkungan menghalangi perilaku, akibatnya juga membatasi apa yang kita lakukan. "Kita mungkin tidak menyadari akan dinding kamar, padahal dinding itu akan menentukan seberapa jauh kita dapat berjalan di dalamnya. Ketinggian meja akan mempengaruni cara kita duduk; jumlah orang di dalam kamar mempengaruhi perasaan nyaman kita, kegaduhan mempengaruhi banyaknya suara yang kita dengar' (lttelson dkk., 1974). Halangan ini bahkan
mempengaruhi lebih jauh. Anak kota yang tidak pernah melihat gunung, sungai atau hutan mungkin tidak pernah bisa membedakan antara pohon pinus dengan pohon cemara, dan mereka tidak pernah belajar menghargai alam. Sebaliknya anak yang tumbuh di pinggiran yang tidak pernah melihat lift dapat mengalami kesenjangan antara pengetahuan dan kepekaannya (Calhoun, 1995).

Kedua, lingkungan mengundang atau mendatangkan perilaku, menentukan bagaimana kita harus bertindak. Ketika kita memasuki masjid, lingkungan menuntut kita untuk tenang dan khidmat. Ketika kita memasuki taman, lingkungan membuat kita untuk tertawa dan bergembira. Ruang tengan dengan kursi bersandaran tegak dan terbungkus plastik agar tetap bersih, membuat kita duduk tegak dan tidak mengotorinya. Ruang tamu dengan kursi besar, bantalannya tebal membuat kita duduk bersandar dan santai (Calhoun, 1995).

Ketiga, lingkungan membentuk kepribadian. Perilaku yang dibatasi lingkungan dapat menjadi bagian tetap dari diri, yang menentukan arah perkembangan kepribadian pada masa yang akan datang. Sebagai contoh, seorang anak yang pada tahun pertama sekolahnya belajar di "ruangan kelas terbuka". Di ruangan seperti itu tidak ada deretan bangku yang menghadap guru. Tetapi ruangan tersebut merupakan ruangan terbuka yang penuh dengan kegiatan yang dapat diikuti semua anak. Dalam lingkungan tersebut mungkin anak memandang bahwa belajar bukan untuk menyerap informasi dari orang yang ahli dalam bidangnya tetapi sebagai proses pemuasan rasa keingintahuannya. Dalam proses ini kepribadiannya akan dapat terbentuk (Calhoun, 1995).

Keempat, lingkungan akan mempengaruhi citra-diri. Direktur merasa betapa punting dirinya dari semua benda di sekitarnya — lukisan di dinding, dan karpet di lantai. Demikian juga, seorang anak kota tahu cat yang sudah melepuh kumuh, dan bau busuk adalah ketakberdayaan dan kemelaratan. Seandainya dia penting, mengapa dia berada di tempat seperti ini?

Ringkasnya, lingkungan sekitar kita menentukan apa yang dapat kita lakukan, apa yang harus kita lakukan, dan jelasnya siapa kita sebenarnya. Pada bagian berikut, kita akan membahas faktor lingkungan binaan yang terbukti mempengaruhi perilaku, arsitektur dan perilaku, ruang lingkup informasi lingkungan dan perilaku, dan seting perilaku (Calhoun, 1995).

2. Hubungan Lingkungan Binaan dengan Perilaku

Faktor lingkungan mempunyai pengaruh negatif terhadap perilaku sosial. Sekarang kita beralih pada faktor lingkungan yang dapat mempunyai pengaruh dari sangat positif sampai sangat negatif. Faktor tersebut dinamakan lingkungan binaan. Lingkungan binaan meliputi semua tempat yang sebagian besar telah direncanakan dan diciptakan oleh manusia (Hemistra dan MeFarling,1978) — ruangan, gedung, lingkungan sekitar, kota besar, kota kecil dan sebagainya. Kebalikannya, lingkungan alami, yaitu yang meliputi
semua tempat yang hanya sedikit atau tidak diubah sama sekali oleh manusia, seperti danau, ladang, dan hutan.

Tidak semua lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam satu tipe atau yang lain (Contoh, bagaimana dengan danau yang dikelilingi penginapan dan kedai-kedai? Bagaimana  keaslian lingkungan tersebut?). Meskipun demikian, apabila kita ingin meneliti respon psikologis manusia terhadap lingkungan yang dibuat manusia, terdapat banyak lingkungan buatan yang dapat kita teliti. Ruang ramu, ruang kelas, kota, pusat pertokoan — semua telah direncanakan, dengan teiiti atau ceroboh, oleh manusia. Dan karena direncanakan, semua itu akan mempengaruhi perilaku (Calhoun, 1995).

Herbert J. Gans (dalam Budihardjo, 1991a) menyatakan bahwa dalam perencanaan lingkungan binaan ada dua kutub:
• Kutub pertama, arsitek (dan planalog) menganut sikap bahwa lingkungan fisik akan mempengaruhi langsung terhadap perubahan perilaku manusia.
• Kutub kedua, ahli-ahli ilmu sosial, secara frontal menyanggah dengan postulatnya bahwa faktor penentu perilaku manusia justru bukan aspek fisik melainkan aspek-aspek nonfisik seperti sosial, ekonomi dan budaya.

3. Hubungan Arsitektur dengan Perilaku

Salah satu pertanyaan paling menarik yang dihadapi doh para pakar psikologi lingkungan adalah bagaimana perancangan bangunan, sekolah, dan pusat perbelanjaan mempengaruhi kita. Memang, struktur yang kita hasilkan, yang disebut lingkungan binaan merupakan bagian dari dunia kita yang sangat penting. Dan beberapa di antaranya tampak "berjalan" lebih baik dibandingkan yang lain.

Beberapa rumah tampak menyenangkan untuk ditempati dan berfungsi dengan lancar, sedangkan yang lain tidak, beberapa toko dapat meminimalkan kesumpekan dan biasanya menimbulkan pengalaman berbeianja yang relatif menyenangkan; toko yang lain menimbulkan pengaruh yang sebaliknya. Dan hal yang sama juga terjadi pada struktur-struktur lain yang kita bangun. Para arsitek berusaha keras agar rancangannya terwujud dengan baik, tetapi pada umumnya mereka menyandarkan diri pada intuisi dan pengalaman mereka. Sampai saat ini belum ada penelitian yang sistematis tentang pengaruh rancangan terhadap manusia, dan bahkan sekarang pun para pakar psikologi dan sosiologi baru mulai meneliti masalah itu seGara serius.

Tetapi setidak-tidaknya mereka mulai memahami beberapa rancangan mempengaruhi manusia, dan mungkin tidak lama lagi mereka akan mampu memberikan bimbingan kepada para
arsitek berdasarkan penelitian yang mendalarn. Saat ini, sebagian besar penelitian yang dilakukan oleh pakar psikologi berkaitan dengan struktur asrama (yang jelas menarik minat banyak prang di universitas) dan perumahan bertingkat-tinggi lawan perumahan bertingkat rendah (Sears dkk..1992).

Menurut Fisher dkk. (1984) sampai saat ini, pengaruh desain arsitektur terhadap perilaku seringkali masih dipandang kecil. meskipun direncanakan secara umum, rancangan suatu kota dan bangunan-bangunannya jarang sekali mempertimbangkan bagaimana kota dan bangunan tersebut dapat mempengaruhi perilaku atau kualitas kehidupan manusia penggunanya.

Sebaliknya pertimbangan estetis mendapatkan tempat puncak di mata para perancang/arsitek. Sehubungan dengan adanya hubungan mempengaruhi dan atau dipengaruhi antara manusia dengan lingkungan fisiknya, maka terdapat empat pandangan berhubungan dengan seberapa luas pengaruh desain arsitektur terhadap perilaku manusia sebagai penggunanya, yaitu: Pendekatan Kehendak Bebas (Free-will Approach), Determinisme Arsitektur (Architectural Determinism), Kemungkinan Lingkungan (Environmental Possibilism), dan Probabilisme Lingkungan (Environmental Probabilism).

Pendekatan Kehendak Bebas (Free-will Approach). Pendekatan ini secara ekstrim berpendapat bahwa lingkungan tidak memiliki dampak apapun terhadap perilaku. Lebih lanjut diperjelas bahwa manusia semenjak memiliki pembatas-pembatas yang kuat sebagai makhluk biologi, maka semenjak itu pula keadaan ini tidak dapat dipertahankan lagi (Lang, 1984).

Determinisme Arsitektur (Architectural Determinism). Salah satu konsep awal tentang pengaruh arsitektur terhadap perilaku adalah determinisme arsitektur. lstilah ini terkadang disebut sebagai determinisme fisik (physical determinism) atau determinisme lingkungan (environmental determinism) (Lang, 1987).

Secara singkat determinisme arsitektur berarti bahwa lingkungan yang dibangun membentuk perilaku manusia di dalamnya. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, arsitektur dan desain dipandang sebagai satu-satunya penyebab dari munculnya perilaku. Namun jelas terlihat bahwa pandangan seperti ini terlalu sederhana untuk dipertimbangkan dalam menilai seberapa besar pengaruh desain terhadap perilaku. Yang menjadi penyebabnya adalah: pertama, konsep ini mengabaikan fakta bahwa manusia terlibat dalam
transaksi dengan lingkungan;    manusia mempengaruhi dan merubah lingkungan seperti juga halnya lingkungan mempengaruhi dan merubah  manusia. Kedua, determinism° arsitektur tidak mempertimbangkan adanya interaksi yang kompleks yang muncul antara faktor-faktor fisik, sosial, dan psikologis.

Desain arsitektur dapat mempengaruhi formasi kelompok, sementara hal-hal lain seperti kebutuhan, aktivitas yang sedang berlangsung, dan hubungan yang dimiliki seseorang dengan orang lain akan dapat membentuk modifikasi-modifikasi dari pengaruh-pengaruh tersebut. Misalnya, apakah seseorang akan pindah ke bagian asrama yang padat dimana tinggal pula di sana beberapa prang temannya, atau ke bagian asrama lain yang sama tetapi tanpa teman, atau mungkin akan dapat menentukan apakah orang tersebut mengalami stres karena kepadatan (Baum dkk. dalam Fisher dkk., 1984).

Menurut Budihadjo (1991a) paham ini percaya bahwa penciptaan lingkungan yang balk akan memberikan pengaruh secara langsung terhadap perilaku pemakai/penghuninya. Umumnya para arsitek atau ahli bangunan hanya menentukan tiga faktor utama sebagai syarat untuk membuat bangunan dengan arsitektur yang baik yakni: fungsional, struktural, dan estetis.

Fungsional dalam arti bahwa bangunan itu enak dipakai dan memenuhi persyaratan yang tidak menyulitkan pemakaian. Struktural dalam pengertian kuat sehingga aman untuk dipakai/dihuni. Estetis dalam arti dalam arti bahwa bangunan itu rnemiliki keindahan (Ishar, 1995).

Terdapat hubungan antara fungsional, struktural, dan estetis (dalam arsitektur) dengan proses-proses psikologi yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.


Sir Henry Welton (dalam Lang dkk., 1974) menguraikan dengan kata-katanya sendiri, bahwa pendapat Vitruvius punya perhatian besar dalam arsitektur. Menurutnya arsitektur yang baik adalah yang memiliki dimensi "commodite, firmeness, dan delight" (fungsi, struktur, dan estetika). Kebanyakan arsitektur modern mengasumsikan bahwa: commodite + firmeness = delight. Jika seseorang menerima model Vitruvius, maka delight dibentuk dari estetika formal dan estetika simbolik, sementara commodite
dibentuk berdasarkan perilaku spasial dalam semua manifestasinya. Sementara itu, pertimbangan firmeness tidak akan banyak dibahas dalam psikologi lingkungan. Persepsi, kognisi, dan perilaku spasial adalah konsep-konsep perilaku dasar yang banyak menjadi perhatian.

Menurut Lang dkk (1974) kontribusi potensial dari perilaku (seperti sosiolosi, psikologi, dan antropologi) terhadap arsitektur dapat dijelaskan pada gambar berikut ini.



Teori arsitektur baru amat berhubungan dengan latar belakang teori dari ilmu-ilmu perilaku. Setiap bangunan baru dapat menjadi suatu hipotesis tentang hubungan dari perilaku manusia kepada desain iingkungan, dimana hipotesis tersebut dapat diuji dengan menggunakan prinsip-prinsip yang pragmatis melalui observasi, bagaimana bangunan tersebut dapat berjalan daiam kenyataan.

Kemungkinan Lingkungan (Environmental Possibilism). Perspektif yang lain tentang pengaruh perilaku di dalam lingkungan binaan (built environment) telah berkembang sebagai reaksi terhadap determinisme arsitektur. Daripada mengasumsikan bahwa lingkungan sepenuhnya menentukan perilaku (seperti dalam deterrninisme), konsep kemungkinan lingkungan memandang lingkungan sebagai sebuah wadah di mana perilaku akan muncul.

Lingkungan membuka kesempatan-kesempatan yang luas dimana perilaku manusia dapat terjadi atau sebaliknya tidak dapat terjadi. Akan tetapi manusia tidak sepenuhnya bebas menentukan pilihannya, karena setiap individu memiliki motivasi dan kompetensi yang paling tidak dipengaruhi pula oleh lingkungan alamiah, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Menurut konsep ini hasil perilaku yang kita pilih ditentukan oleh lingkungan dan piiihan yang kita buat (Fisher dkk., 1978; Lang, 1987).

Probabilisme Lingkungan (Environmental Probabilism). Di antara posisi para determinis dan posibilis dalam arsitektur dan perilaku, terdapat pula orientasi yang lain yaitu probabilisme lingkungan. Sementara determinisme berasumsi bahwa lingkungan menentukan perilaku secara mutlak dan kemungkinan lingkungan memberikan peran yang besar pada pilihan individual sehingga sulit membuat prediksi tentang pengaruh lingkungan terhadap perilaku, probabilisme merupakan sebuah konnpromi. Konsep ini berasumsi bahwa organisme dapat memilih variasi respon pada berbagai situasi lingkungan, dan pada saat itu muncul pula probabilitas yang berkaitan dengan contoh-contoh kasus desain dengan perilakunya yang spesifik.

Probabilitas ini merefleksikan pengaruh faktor-faktor non-arsitektural, seperti halnya pengaruh desain dan perilaku. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, berdasarkan pengetahuan kita tentang manusia dan lingkungan tertentu dimana mereka berada, suatu perilaku tertentu lebih besar kemungkinannya muncul dibanding perilaku lainnya. Sebuah contoh sederhana dapat mengilustrasikan probabilisme lingkungan ini. Jika diasumsikan bahwa anda berada di dalam kelas yang sangat besar dengan beberapa prang lain di dalamnya. Pada kondisi seperti ini terjadinya diskusi kemungkinannya kecil untuk dilakukan. Setelah mempelajari segala sesuatu tentang ruang kelas yang dapat arida temukan, anda memutuskan untuk merubah pengaturan meja dan kursi. Anda telah mempelajari bahwa dalam banyak kasus, jika tempat duduk ditata melingkar, prang akan berbicara lebih banyak. Dengan demikian kemungkinan akan lebih besar orang akan bicara jika ruang kelas ditata sedemikian, anda akan membantu menciptakan suasana yang mendukung diskusi. Namun, jika kelas tersebut dijadualkan pada saat-saat akhir hari atau jika instruktur telah "mematikan inisiatif para siswa", anda mungkin tidak akan berhasil. Mak ada laruhan yang pasti" menurutt konsep probabilisme ini.

12 HUANG LINGKUP INFORMASI LINGKUNGAN PERILAKU

Menurut Irwin Altman (dalam Moore, 1994) sebuah model yang berguna untuk melihat informasi antara lingkungan dan perilaku yang tersedia, pertama kali diusulkan oleh psikolog arsitektur Irwin Atman yang memuat tiga komponen pokok: fenomena lingkungan-perilaku, kelompok pemakai, dan seting.

Fenomena Lingkungan-Perilaku. Masing-masing dari fenomena ini merupakan aspek perilaku manusia yang berbeda sehubungan dengan lingkungan fisik tiap hari. Contoh yang umum adalah proxemic dan privacy. Proxemic adalah jarak yang berbeda antarmanusia yang dianggap menyenangkan untuk melakukan interaksi sosial. Privacy adalah suatu mekanisme pengendalian antarpribadi yang mengukur dan mengatur interaksi dengan orang-orang lain. Faktor-faktor rancangan fisik mernpengaruhi sejauh mana kita dapat mengendalikan interaksi antarpribadi dan mempertahankan keseimbangan antara keleluasaan pribadi (privacy) dan masyarakat (komunitas). Contoh-contoh lain tentang fenomena lingkungan-perilaku meliputi makna dan simbolisme lingkungan dan cara-cara manusia menggunakan lingkungan dalam menyajikan diri. Beberapa fenomena ini,
sepeni proxemic dan privacy, yang menunjuk pada pola-pola perilaku pribadi, sementara yang lain-lain, seperti komunitas dan ketetanggaan (neighborhood) menghadapi pola-pola dan ketentuan-ketentuan sosiai. Semua fenomena perilaku lingkungan ini penting ban para perancang karena mereka saling berkaitan dan dengan demikian muncul lagi sebagai pertimbangan dalam merancang berbagai tipe bangunan untuk berbagai kelompok pemakai.



Kelompok Pemakai. Kelompok pemakai yang berbeda mempunyai kebutuhan yang berbeda dan dipengaruhi dalam berbagai cara oleh sifat lingkungan. Banyak sekali informasi kini terdapat mengenai anak-anak dan lingkungan, kelompok etnis yang berbeda-beda, dan kelompok-kelompok pemakai khusus seperti mereka yang tak mampu belajar dan cacat asmaniah. Pentingnya mempelajari faktor-faktor perilaku dad pendirian seorang pemakai ialah bahwa ia memberi kepada arsitek perbendaharaan pengalaman yang dapat diterapkan dalam setiap proyek perancangan yang melibatkan para pemakai tersebut. Salah satu pendekatan untuk mengungkap kelompok pemakai akan dibahas pada bab 2.

Seting. Komponen terakhir dari model meliputi semua skala seting, mulai dari skala kamar sampai kepada agama, bangsa, dan dunia. Skala kamar terhadap bangunan dan terhadap kelompok bangunan penting sekali bagi arsitek. Skala bangunan terhadap kola adalah urusan perancang kota. Kelompok bangunan sehubungan dengan daerah menyibukkan perancang kota dan daerah, dan seterusnya. Perkembangan akhir-akhir ini dalam telaah telaah perilaku, dan kriteria untuk tipe berbagai bangunan; umpamanya, lingkungan kediaman untuk anak-anak; perumahan bagi mereka yang lebih tua, dan daerah-daerah kediaman dan ketetanggaan bagi berbagai kelompok
sosial budaya. Ciri yang unik tentang orientasi ini terhadap perhatian-perhatian perilaku dalam arsitektur adalah fokus holistik pada semua fakor periiaku, sosial, dan budaya yang harus diperhatikan dalam merancang tipe bangunan yang berbecla-beda.

E. SETING PERILAKU

Menurut Roger Barker (dalam Sarwono, 1994) tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungan atau sebaliknya, melainkan kedua hal tersebut saling menentukan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam istilah Barker, hubungan tingkah laku dengan lingkungan adalah seperti jalan dua arah (two way street) atau interdependensi ekologi. Selanjutnya Barker mempelajari hubungan timbal balik antara lingkungan dengan dan tingkah laku. Suatu hal yang unik pada teori Barker adalah adanya seting perilaku yang dipandang sebagai faktor tersendiri. Seting perilaku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan indiviclu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (physical milieu). Misalnya jika suatu ruangan terdapat pintu, beberapa jendela, serta dilengkapi dengan papan tulis dan meja tulis yang berhadapan dengan
sejumlah bangku yang berderet, maka seting perilaku yang terjadi pada ruang tersebut adalah rangkaian dari tingkah laku murid yang sedang belajar di ruang kolas. Jika ruang tersebut berisikan perabotan kantor, maka orang-orang yang berada di dalamnya akan berperilaku sebagaimana lazimnya karyawan kantor.

Menurut Roger Barker (dalam Moore, 1994) seting perilaku adalah konsep kunci bagi analisis perilaku manusia dalam arsitektur. Berdasarkan karya Barker ini, suatu seting perilaku dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan arsitektur sebagal suatu unit dasar analitis interaksi lingkungan-perilaku yang meliputi empat kekhususan berikut ini:
1. Suatu pola perilaku tetap atau suatu tipe perilaku yang berulang kali, seperti berhenti berbicara jika melalui seorang teman.
2. Aturan-aturan dan tujuan-tujuan sosial yang menentukan yang dapat ditafsirkan sebagai norma-norma yang menentukan perilaku yang dapat ditafsirkan sebagai norma-norma yang berlaku. Pembicaraan pembicaraan panjang lobar merupakan norma bagi orang-orang yang lebih tua, dan konvonsi sosial memperkenankan menyentuh dan berdekatan akrab sementara berbicara.
3. Ciri-ciri fisik kritis dari pelataran seting yaitu unsur dan lingkungan fisik
yang terjalin tak terpisahkan dengan perilaku, seperti ukuran dan bentuk ruang sosial perumahan untuk kaum tua di mana percakapan-percakapan terjadi.
4. Tempat waktu, kerangka waktu di mana perilaku terjadi, untuk berbagai perilaku yang memiliki ritme harian, mingguan, bulanan, dan musiman.

LATIHAN SOAL

1. Sebutkan beberapa macarn lingkungan binaan yang arida ketahui!
2. Di antara keempat pendekatan yaitu pendekatan Kehendak Bebas (Free will Approach), Determinisme Arsitektur (Architectural Determinism), Kemungkinan Lingkungan (Environmental Possibilism), dan Probabilisme Lingkungan (Environmental Probabilism), manakah yang paling menonjol pada perencanaan lingkungan binaan di Indonesia?
3. Coba terangkan bagaimana hubungan antara arsitektur dengan ilmu ilmu perilaku (behavioral sciences) pada umumnya dan hubungan antara arsitektur dengan psikologi pada khususnya
4. Apa yang dimaksud dengan Seting Perilaku menurut Roger Barker?



Jadikan setiap Postingan untuk ajang DISKUSI dan saling BERBAGI agar ilmu anda semakin berkembang dan berguna bagi orang lain.

Gunakan Kolom Komentar di bawah ini untuk menyampaikan PENDAPAT/ OPINI sebagai bentuk partisipasi untuk mencerdaskan bangsa.

1 komentar:

Made Bani Dharmadanta @baniaf said...

wah, rincian isi postingan ini bagus.


tetapi buruknya, tidak menyertakan refrensi.(hanya kutipan)

Post a Comment

 

Komentar

Postingan Terakhir