"Mah, temani Ina ke toilet, ya," kata Septi Marina, 5 tahun, kepada ibunya, Dewi Lusiawati. Karena tak digubris, gadis cilik itu terus merengek minta diantar karena merasa takut akan ada hantu di toilet. "Saya menilai dia sudah besar dan harus berani sendiri. Toh, lampu toilet selalu menyala," ujar Dewi mengeluhkan perilaku putrinya, Jumat lalu.
Psikolog anak, Efriyani Djuwita, menganggap ketakutan yang dialami Ina adalah ketakutan yang normal untuk usianya. Takut terhadap gelap, monster, atau hantu pada anak usia di bawah 6 tahun adalah hal wajar. "Sejalan dengan usia, ketakutan itu akan hilang dengan sendirinya," ujarnya.
Anak-anak pada usia itu, Efriyani melanjutkan, biasanya didominasi oleh fantasi. Apalagi bila dalam ruangan yang gelap. Karena tidak bisa melihat sesuatu dengan baik, akan muncul fantasi yang menakutkan dalam pikirannya.
Namun, ada hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mempermudah anak mengatasi rasa takutnya. Poin penting yang harus diingat oleh orang tua jika anak mengalami ketakutan pada gelap, monster, atau hantu adalah bukan berarti anak tersebut penakut. "Orang tua harus sadar dulu bahwa itu adalah salah satu perkembangan anak," kata Efriyani.
Jika orang tua terlalu memaksakan anak agar tidak takut, kata pengajar psikologi perkembangan manusia di Universitas Indonesia itu, anak malah akan semakin takut. Sebab, mereka umumnya belum siap untuk dipojokkan.
Alih-alih, orang tua bisa mengajarkan anaknya mengenai konsep gelap dan terang. Caranya, dengan menyalakan dan mematikan lampu. Dengan demikian anak bisa mengerti apa yang dimaksud dengan gelap dan terang. Orang tua pun bisa mengenalkan konsep gelap dengan cara yang menyenangkan. "Misalnya dengan main petak umpet, mata anak kan ditutup. Saat itulah anak mengerti konsep gelap," kata Efriyani.
Dengan mengajarkan konsep gelap dan terang melalui cara yang menyenangkan, anak pun akan mengetahui keadaan gelap dan terang sebenarnya sama saja untuknya. "Anak harus diyakinkan bahwa baik dalam keadaan gelap ataupun terang, orang tuanya akan ada di sampingnya," ujar ibu dua anak itu.
Untuk menjelaskan konsep hantu, orang tua mesti terlebih dulu menanyakan kepada anak, bagaimana konsep hantu menurutnya. Sebab, konsep hantu menurut anak sangat mungkin tidak sama seperti yang dibayangkan orang dewasa.
Misalnya, anak bisa saja menganggap orang gundul sebagai hantu. Jika demikian, orang tua bisa mengajak anak untuk melihatnya melalui cara pandang yang menyenangkan sehingga anak tidak lagi takut. "Misalnya dengan mengatakan kepada anak: 'Wah kalau hantunya gundul, berarti sama dengan Ipin Upin dong, kenapa harus takut,'" kata Efriyani mencontohkan.
Selesai mendengar persepsi anak mengenai hantu, orang tua juga mesti menanamkan nilai pada anak bahwa manusia memiliki kualitas yang lebih hebat sehingga bisa mengalahkan hantu. Contohnya, jika kucing di rumah akan segera lari terbirit-birit ketika diteriaki, hantu pun demikian. Dengan demikian, anak akan muncul sebagai juara.
Begitu pun dengan konsep monster. Konsep atau bayangan anak tentang monster sangat mungkin berasal dari film-film kartun di televisi. Nah, orang tua bisa mengajak anak untuk membedakannya dengan dunia nyata. Bahwa dalam keseharian, monster yang ditakutkan seperti dalam film itu tak pernah muncul dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah.
Setelah membawa pikiran anak-anak ke ruang yang konkret, orang tua pun bisa meningkatkan rasa berani anak ke level selanjutnya. Misalnya dengan mengatakan: "Yang enggak kelihatan, kok kita takut, padahal sama anjing tetangga saja, Ade enggak takut," kata Efriyani.
Komunikasi dengan anak, ia melanjutkan, penting dilakukan agar rasa takut anak terhadap sesuatu tidak mengganggu kegiatan anak untuk pergi ke toilet atau untuk tidur sendiri. "Dengan mengetahui cara pandang anak mengenai ketakutan, akan membantu anak mengalahkan rasa takutnya itu," kata penulis beberapa buku psikologi itu.
Pada beberapa kasus, orang tua kadang menggunakan kesempatan rasa takut anak untuk mendisiplinkan anak. Misalnya dengan menakuti-nakuti anak akan hantu jika anak tidak mau tidur. Hal seperti ini, kata Efriyani, adalah hal yang tabu dilakukan.
"Orang tua jangan pernah menakut-nakuti anak seperti itu karena anak akan merasa seperti mendapat ancaman," ujarnya. Menakuti-nakuti anak, Efriyani menambahkan, malah akan membuat perkembangan anak menjadi tidak baik.
Psikolog anak, Efriyani Djuwita, menganggap ketakutan yang dialami Ina adalah ketakutan yang normal untuk usianya. Takut terhadap gelap, monster, atau hantu pada anak usia di bawah 6 tahun adalah hal wajar. "Sejalan dengan usia, ketakutan itu akan hilang dengan sendirinya," ujarnya.
Anak-anak pada usia itu, Efriyani melanjutkan, biasanya didominasi oleh fantasi. Apalagi bila dalam ruangan yang gelap. Karena tidak bisa melihat sesuatu dengan baik, akan muncul fantasi yang menakutkan dalam pikirannya.
Namun, ada hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mempermudah anak mengatasi rasa takutnya. Poin penting yang harus diingat oleh orang tua jika anak mengalami ketakutan pada gelap, monster, atau hantu adalah bukan berarti anak tersebut penakut. "Orang tua harus sadar dulu bahwa itu adalah salah satu perkembangan anak," kata Efriyani.
Jika orang tua terlalu memaksakan anak agar tidak takut, kata pengajar psikologi perkembangan manusia di Universitas Indonesia itu, anak malah akan semakin takut. Sebab, mereka umumnya belum siap untuk dipojokkan.
Alih-alih, orang tua bisa mengajarkan anaknya mengenai konsep gelap dan terang. Caranya, dengan menyalakan dan mematikan lampu. Dengan demikian anak bisa mengerti apa yang dimaksud dengan gelap dan terang. Orang tua pun bisa mengenalkan konsep gelap dengan cara yang menyenangkan. "Misalnya dengan main petak umpet, mata anak kan ditutup. Saat itulah anak mengerti konsep gelap," kata Efriyani.
Dengan mengajarkan konsep gelap dan terang melalui cara yang menyenangkan, anak pun akan mengetahui keadaan gelap dan terang sebenarnya sama saja untuknya. "Anak harus diyakinkan bahwa baik dalam keadaan gelap ataupun terang, orang tuanya akan ada di sampingnya," ujar ibu dua anak itu.
Untuk menjelaskan konsep hantu, orang tua mesti terlebih dulu menanyakan kepada anak, bagaimana konsep hantu menurutnya. Sebab, konsep hantu menurut anak sangat mungkin tidak sama seperti yang dibayangkan orang dewasa.
Misalnya, anak bisa saja menganggap orang gundul sebagai hantu. Jika demikian, orang tua bisa mengajak anak untuk melihatnya melalui cara pandang yang menyenangkan sehingga anak tidak lagi takut. "Misalnya dengan mengatakan kepada anak: 'Wah kalau hantunya gundul, berarti sama dengan Ipin Upin dong, kenapa harus takut,'" kata Efriyani mencontohkan.
Selesai mendengar persepsi anak mengenai hantu, orang tua juga mesti menanamkan nilai pada anak bahwa manusia memiliki kualitas yang lebih hebat sehingga bisa mengalahkan hantu. Contohnya, jika kucing di rumah akan segera lari terbirit-birit ketika diteriaki, hantu pun demikian. Dengan demikian, anak akan muncul sebagai juara.
Begitu pun dengan konsep monster. Konsep atau bayangan anak tentang monster sangat mungkin berasal dari film-film kartun di televisi. Nah, orang tua bisa mengajak anak untuk membedakannya dengan dunia nyata. Bahwa dalam keseharian, monster yang ditakutkan seperti dalam film itu tak pernah muncul dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah.
Setelah membawa pikiran anak-anak ke ruang yang konkret, orang tua pun bisa meningkatkan rasa berani anak ke level selanjutnya. Misalnya dengan mengatakan: "Yang enggak kelihatan, kok kita takut, padahal sama anjing tetangga saja, Ade enggak takut," kata Efriyani.
Komunikasi dengan anak, ia melanjutkan, penting dilakukan agar rasa takut anak terhadap sesuatu tidak mengganggu kegiatan anak untuk pergi ke toilet atau untuk tidur sendiri. "Dengan mengetahui cara pandang anak mengenai ketakutan, akan membantu anak mengalahkan rasa takutnya itu," kata penulis beberapa buku psikologi itu.
Pada beberapa kasus, orang tua kadang menggunakan kesempatan rasa takut anak untuk mendisiplinkan anak. Misalnya dengan menakuti-nakuti anak akan hantu jika anak tidak mau tidur. Hal seperti ini, kata Efriyani, adalah hal yang tabu dilakukan.
"Orang tua jangan pernah menakut-nakuti anak seperti itu karena anak akan merasa seperti mendapat ancaman," ujarnya. Menakuti-nakuti anak, Efriyani menambahkan, malah akan membuat perkembangan anak menjadi tidak baik.
Anda Akan Menyukai ini :
Literatur Ekonomi | Ekonomi Mikro | Buku Komputer | Buku Gratis | Kumpulan Buku | Contoh Makalah | Makalah Management | Makalah Manajemen | Ekonomi Islam | Ilmu Ekonomi | Sistem Ekonomi Indonesia | Free Novels | Novel Melayu | Sistem Informasi Akuntansi | Ilmu Akuntansi | Buku Akuntansi | Dasar Akuntansi | Jurnal Akuntansi | Artikel Akuntansi | Laporan Keuangan Perusahaan Jasa | Skripsi Akuntansi | Sistem Informasi Manajemen | Artikel Manajemen | Manajemen Sumber Daya Manusia | Manajemen Pemasaran | Konsep Dasar Manajemen | Cerpen Indonesia | Cerpen Remaja | Cerpen Cinta | Novel Cerpen | Motivasi Diri | Politik Amerika | Psikologi Anak | Psikologi Sosial | Psikologi Pendidikan | Psikologi Remaja | Pengertian Psikologi | Artikel Ekonomi
0 komentar:
Post a Comment