Berikut di bawah ini disajikan tulisan pendek Svetlana, putri tertua dari Njoto, Wakil Ketua CC PKI, yang berjudul “Mama tidak pernah menangis”. Menurut rencana, tulisan ini akan dimasukkan dalam buku “Antologi 40 Tahun” yang akan diluncurkan tidak lama lagi. Tulisan ini, yang disusun secara sederhana, tetapi sangat menyentuh hati dan bagus, bisa menambah keyakinan banyak orang bahwa kisah para korban peristiwa 65 memang betul-betul merupakan khazanah bangsa yang berharga sekali untuk pendidikan kemanusiawian dan peradaban, dan melawan kekerasan dan ketidakadilan.
Dari tulisan yang singkat, tapi padat dengan ungkapan-ungkapan yang mengharukan ini, dapat dibayangkan betapa besar penderitaan pedih bertahun-tahun yang harus dilalui istri dan anak-anak kecil Njoto yang berjumlah 7 orang itu. Anak-anaknya terpaksa harus disebar dan dititipkan kepada orang-orang di Solo, Jogja, Jakarta, Palembang, Medan, sedangkan istri Njoto kemudian ditahan di Plantungan dalam jangka waktu yang lama sekali.
Keluarga para korban peristiwa 65 yang tercerai-berai dan harus menanggung segala macam penderitaan ini jumlahnya banyak sekali di seluruh Indonesia. Oleh karenanya, bangsa kita perlu selalu mengingat-ingat kebiadaban yang dilakukan oleh rejim militer Orde Baru, supaya tidak terulang lagi di kemudian hari.
Terakhir kami meninggalkan rumah karena sepupu kami berulang tahun. Masih di Jakarta. Kami bermalam di sana. Rupanya kepergian itu benar-benar untuk terakhir kali karena kami tidak lagi bisa pulang ke rumah. Semenjak itu entah berapa banyak rumah yang kami singgahi. Dengan enam anak ditambah satu lagi dalam kandungan mama tetap berusaha membuat anak-anaknya senang. Dari kain perca dan kertas dibuatkannya mainan. Yang lelaki tetap bisa main bola, yang perempuan asyik main boneka. Dengan kain yang ada dijahitnya pakaian kami. Diajarkannya kepadaku yang tertua menghias pakaian dalam kami dengan monogram agar masing-masing mudah mengenali miliknya. Maklum usia kami tak jauh beda, mama menjahitnya dengan tangan dari kain belacu jadi serupa. Menjahit dengan bibir tersenyum.
Kami tinggalkan bui, berganti-ganti kereta api, sampai di sebuah desa kecil, rumah dinas pakde. Sembari mengasuh bungsu diajarnya aku bermacam ketrampilan perempuan. Aku bisa menyulam. Aku trampil merenda. Mama menjahit, aku menghias. Pakaian, tas sekolah, sapu tangan, disulapnya dari sisa-sisa kain pemberian. Adik riang bermain, tertawa, kemudian menangis, tertawa lagi. Mama tersenyum. “Belajar yang baik biar pintar.” Singkat pesannya ketika aku harus meninggalkan desa menuju ke Solo untuk melanjutkan sekolah ke SMP. Bersama sepupuku aku berangkat berkendaraan truk dinas pakde. Selama ini kami selalu bersama. Tapi aku harus pergi. Airmataku sempat menitik. Tak banyak cakapnya, tapi manis senyumnya. Dari bak belakang truk kulambaikan tangan. Adik-adik terus melonjak-lonjak melambai girang. Senyum mama manis, tapi pasti tak ada tangis.
“Jaga adik-adikmu”, pesan berikut kuterima lewat pakde. Tak hanya pesan, lima adikku dibawa menyusulku ke Solo. Kini kami bersama lagi. Namun mama dan si bungsu tak ada. ‘Mama dan adik dibawa tentara’, kata seorang adikku. Gundah hatiku karena belum ada yang tahu kemana mama dan bungsu dibawa. Gundah dan bingung. Antara senang berada kembali di antara adik-adik kecilku sekaligus bingung karena sekarang mereka menjadi bagian tanggung jawabku. Lalu terngiang olehku pesan itu diiring bayangan senyum mama. Betapapun aku tahu mama takkan menangis, maka pagi hari kuguyur tiga orang adikku yang kecil dengan air yang baru kutimba. Mereka jongkok di tepi sumur, kegirangan kedinginan. Mereka menangis bila kerabat kami ingin memandikannya. “Karo mbak wae!” – dengan mbak saja, serunya merajuk.
Belakangan kami tahu mama di Bulu, Semarang. Keterbatasan membuat keluarga mama tak bisa sering-sering menjenguk. Keterbatasan pula tak memungkinkan kami dibawa. Sesekali adik lelakiku pergi bersama paklik ke sana. Tiap kali dijenguk mama menitipkan hasil kerajinannya untuk kami. Lalu kami akan berfoto dengan mengenakan hasil karya mama itu untuk kembali ditunjukkan padanya. Lalu mama dipindahkan ke Jakarta. Lalu si bungsu, harus dipulangkan. Umurnya sudah empat tahun. Dia diasuh oleh adik mama di Jogja. Tak terasa tamat sudah aku dari SMP. Jerih payahku tak sia-sia. Prestasi tertinggi kuraih. Tak cuma aku, semua keluarga gembira. Bagiku, setidaknya upayaku untuk menjadi teladan adik-adik tercapai. Prestasi mereka tak kalah bagusnya. Bahkan lebih hebat. Terpancar kegembiraan keluarga yang mengasuh kami.
Sepupuku, anak adik mama, datang menjemputku. Tante ingin aku kembali ke Jakarta, melanjutkan sekolah sembari membantu sepupu-sepupuku belajar. Aku kembali bingung harus meninggalkan adik-adik, melepaskan mereka sepenuhnya bersama bude dan kerabat lain yang mengasuhnya, sementara aku sudah senang dan betah bersekolah di Solo. Belajar budaya Jawa yang semula tak kukenal sungguh menyenangkan. Di sana aku belajar menari, karawitan, juga mocopat. Walau tak pandai benar aku amat menikmatinya. Tapi tante membutuhkan aku. Dengan berat hati aku pergi. Sekuat tenaga kutahan air mataku demi adik-adik. Jangan sampai mereka bersedih. Bukankah mama tidak pernah menangis? Lagi pula aku jadi bisa ketemu mama. Tetap saja aku tak bisa sering menjenguknya. Jam besuk hanya ada pagi hari. Aku pergi sekolah. Dengan enam orang anak ditambah diriku, tante tak kalah sibuknya. Jadi aku hanya datang sebulan sekali, membolos sekolah. Bergantian dengan tante.
Baru setahun aku di Jakarta bude yang mengasuh kami di Solo harus pindah ke Jakarta. Kami tercerai berai. Dua orang adik ke Medan ikut tante, dua lagi diambil pakde di Palembang, seorang tetap bersama bude di Jakarta. Nyaris kami tak pernah saling berhubungan kecuali sesekali dengan surat. Bertahun-tahun sampai aku lulus dan bekerja.
Suatu hari tante menjenguk mama dan diberitahu bahwa mama akan dipindahkan ke Plantungan. Aku bergegas menjenguk. Di mana itu Plantungan aku tak tahu. Mama pun tak bisa menjelaskan. Airmataku kembali menitik. Mama tersenyum. Dia tidak menangis.
Senyum mama mengembang ketika akhirnya dilepaskan. Sulit dilukiskan betapa senangnya bisa bersama-sama kembali, meski baru tiga anak terkumpul. Mama lepas, bukan bebas. Berderet aturan tetap harus diturut. Hidup harus berlanjut. Bergandeng tangan keutuhan keluarga kembali kami rajut. Saat satu demi satu lepas sekolah kami bersatu. “Jangan menangis,” ujarnya menjelang pernikahanku. Mama tersenyum. Saat aku sakit, ketika aku melahirkan, waktu cucunya mengajak main bola. Keluarga kami bertambah besar. Kami selalu bersama. Senang dan sedih. Sungguh mama tak pernah menangis. Senyumnya manis. Selalu manis. Darinya kami belajar tegar. Toh sesekali masih juga kami menangis. Tak bisa kami seperti dia.
Bapak tak pernah kembali. Mama tidak menangis!
Jakarta, agustus 2005
Svetlana
Dari tulisan yang singkat, tapi padat dengan ungkapan-ungkapan yang mengharukan ini, dapat dibayangkan betapa besar penderitaan pedih bertahun-tahun yang harus dilalui istri dan anak-anak kecil Njoto yang berjumlah 7 orang itu. Anak-anaknya terpaksa harus disebar dan dititipkan kepada orang-orang di Solo, Jogja, Jakarta, Palembang, Medan, sedangkan istri Njoto kemudian ditahan di Plantungan dalam jangka waktu yang lama sekali.
Keluarga para korban peristiwa 65 yang tercerai-berai dan harus menanggung segala macam penderitaan ini jumlahnya banyak sekali di seluruh Indonesia. Oleh karenanya, bangsa kita perlu selalu mengingat-ingat kebiadaban yang dilakukan oleh rejim militer Orde Baru, supaya tidak terulang lagi di kemudian hari.
Mama tak pernah menangis
Oleh Svetlana
Terakhir kami meninggalkan rumah karena sepupu kami berulang tahun. Masih di Jakarta. Kami bermalam di sana. Rupanya kepergian itu benar-benar untuk terakhir kali karena kami tidak lagi bisa pulang ke rumah. Semenjak itu entah berapa banyak rumah yang kami singgahi. Dengan enam anak ditambah satu lagi dalam kandungan mama tetap berusaha membuat anak-anaknya senang. Dari kain perca dan kertas dibuatkannya mainan. Yang lelaki tetap bisa main bola, yang perempuan asyik main boneka. Dengan kain yang ada dijahitnya pakaian kami. Diajarkannya kepadaku yang tertua menghias pakaian dalam kami dengan monogram agar masing-masing mudah mengenali miliknya. Maklum usia kami tak jauh beda, mama menjahitnya dengan tangan dari kain belacu jadi serupa. Menjahit dengan bibir tersenyum.
Kami tinggalkan bui, berganti-ganti kereta api, sampai di sebuah desa kecil, rumah dinas pakde. Sembari mengasuh bungsu diajarnya aku bermacam ketrampilan perempuan. Aku bisa menyulam. Aku trampil merenda. Mama menjahit, aku menghias. Pakaian, tas sekolah, sapu tangan, disulapnya dari sisa-sisa kain pemberian. Adik riang bermain, tertawa, kemudian menangis, tertawa lagi. Mama tersenyum. “Belajar yang baik biar pintar.” Singkat pesannya ketika aku harus meninggalkan desa menuju ke Solo untuk melanjutkan sekolah ke SMP. Bersama sepupuku aku berangkat berkendaraan truk dinas pakde. Selama ini kami selalu bersama. Tapi aku harus pergi. Airmataku sempat menitik. Tak banyak cakapnya, tapi manis senyumnya. Dari bak belakang truk kulambaikan tangan. Adik-adik terus melonjak-lonjak melambai girang. Senyum mama manis, tapi pasti tak ada tangis.
“Jaga adik-adikmu”, pesan berikut kuterima lewat pakde. Tak hanya pesan, lima adikku dibawa menyusulku ke Solo. Kini kami bersama lagi. Namun mama dan si bungsu tak ada. ‘Mama dan adik dibawa tentara’, kata seorang adikku. Gundah hatiku karena belum ada yang tahu kemana mama dan bungsu dibawa. Gundah dan bingung. Antara senang berada kembali di antara adik-adik kecilku sekaligus bingung karena sekarang mereka menjadi bagian tanggung jawabku. Lalu terngiang olehku pesan itu diiring bayangan senyum mama. Betapapun aku tahu mama takkan menangis, maka pagi hari kuguyur tiga orang adikku yang kecil dengan air yang baru kutimba. Mereka jongkok di tepi sumur, kegirangan kedinginan. Mereka menangis bila kerabat kami ingin memandikannya. “Karo mbak wae!” – dengan mbak saja, serunya merajuk.
Belakangan kami tahu mama di Bulu, Semarang. Keterbatasan membuat keluarga mama tak bisa sering-sering menjenguk. Keterbatasan pula tak memungkinkan kami dibawa. Sesekali adik lelakiku pergi bersama paklik ke sana. Tiap kali dijenguk mama menitipkan hasil kerajinannya untuk kami. Lalu kami akan berfoto dengan mengenakan hasil karya mama itu untuk kembali ditunjukkan padanya. Lalu mama dipindahkan ke Jakarta. Lalu si bungsu, harus dipulangkan. Umurnya sudah empat tahun. Dia diasuh oleh adik mama di Jogja. Tak terasa tamat sudah aku dari SMP. Jerih payahku tak sia-sia. Prestasi tertinggi kuraih. Tak cuma aku, semua keluarga gembira. Bagiku, setidaknya upayaku untuk menjadi teladan adik-adik tercapai. Prestasi mereka tak kalah bagusnya. Bahkan lebih hebat. Terpancar kegembiraan keluarga yang mengasuh kami.
Sepupuku, anak adik mama, datang menjemputku. Tante ingin aku kembali ke Jakarta, melanjutkan sekolah sembari membantu sepupu-sepupuku belajar. Aku kembali bingung harus meninggalkan adik-adik, melepaskan mereka sepenuhnya bersama bude dan kerabat lain yang mengasuhnya, sementara aku sudah senang dan betah bersekolah di Solo. Belajar budaya Jawa yang semula tak kukenal sungguh menyenangkan. Di sana aku belajar menari, karawitan, juga mocopat. Walau tak pandai benar aku amat menikmatinya. Tapi tante membutuhkan aku. Dengan berat hati aku pergi. Sekuat tenaga kutahan air mataku demi adik-adik. Jangan sampai mereka bersedih. Bukankah mama tidak pernah menangis? Lagi pula aku jadi bisa ketemu mama. Tetap saja aku tak bisa sering menjenguknya. Jam besuk hanya ada pagi hari. Aku pergi sekolah. Dengan enam orang anak ditambah diriku, tante tak kalah sibuknya. Jadi aku hanya datang sebulan sekali, membolos sekolah. Bergantian dengan tante.
Baru setahun aku di Jakarta bude yang mengasuh kami di Solo harus pindah ke Jakarta. Kami tercerai berai. Dua orang adik ke Medan ikut tante, dua lagi diambil pakde di Palembang, seorang tetap bersama bude di Jakarta. Nyaris kami tak pernah saling berhubungan kecuali sesekali dengan surat. Bertahun-tahun sampai aku lulus dan bekerja.
Suatu hari tante menjenguk mama dan diberitahu bahwa mama akan dipindahkan ke Plantungan. Aku bergegas menjenguk. Di mana itu Plantungan aku tak tahu. Mama pun tak bisa menjelaskan. Airmataku kembali menitik. Mama tersenyum. Dia tidak menangis.
Senyum mama mengembang ketika akhirnya dilepaskan. Sulit dilukiskan betapa senangnya bisa bersama-sama kembali, meski baru tiga anak terkumpul. Mama lepas, bukan bebas. Berderet aturan tetap harus diturut. Hidup harus berlanjut. Bergandeng tangan keutuhan keluarga kembali kami rajut. Saat satu demi satu lepas sekolah kami bersatu. “Jangan menangis,” ujarnya menjelang pernikahanku. Mama tersenyum. Saat aku sakit, ketika aku melahirkan, waktu cucunya mengajak main bola. Keluarga kami bertambah besar. Kami selalu bersama. Senang dan sedih. Sungguh mama tak pernah menangis. Senyumnya manis. Selalu manis. Darinya kami belajar tegar. Toh sesekali masih juga kami menangis. Tak bisa kami seperti dia.
Bapak tak pernah kembali. Mama tidak menangis!
Jakarta, agustus 2005
Svetlana
Jadikan setiap Postingan untuk ajang DISKUSI dan saling BERBAGI agar ilmu anda semakin berkembang dan berguna bagi orang lain.
Gunakan Kolom Komentar di bawah ini untuk menyampaikan PENDAPAT/ OPINI sebagai bentuk partisipasi untuk mencerdaskan bangsa.
Anda Akan Menyukai ini :
Literatur Ekonomi | Ekonomi Mikro | Buku Komputer | Buku Gratis | Kumpulan Buku | Contoh Makalah | Makalah Management | Makalah Manajemen | Ekonomi Islam | Ilmu Ekonomi | Sistem Ekonomi Indonesia | Free Novels | Novel Melayu | Sistem Informasi Akuntansi | Ilmu Akuntansi | Buku Akuntansi | Dasar Akuntansi | Jurnal Akuntansi | Artikel Akuntansi | Laporan Keuangan Perusahaan Jasa | Skripsi Akuntansi | Sistem Informasi Manajemen | Artikel Manajemen | Manajemen Sumber Daya Manusia | Manajemen Pemasaran | Konsep Dasar Manajemen | Cerpen Indonesia | Cerpen Remaja | Cerpen Cinta | Novel Cerpen | Motivasi Diri | Politik Amerika | Psikologi Anak | Psikologi Sosial | Psikologi Pendidikan | Psikologi Remaja | Pengertian Psikologi | Artikel Ekonomi
0 komentar:
Post a Comment