Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sunday, May 30, 2010

Proposal Untuk Studi Kepustakaan

Sunday, May 30, 2010
TANAH DAN HAK ATAS TANAH: IMPLIKASI
SUDUT PANDANG UPPA TERHADAP PELAPORAN AKUNTANSI

1. Latar Belakang Masalah
Penyajian laporan keuangan dimaksudkan memberikan informasi kepada para pemakai laporan agar dapat membantu untuk menginterpretasikan aktivitas ekonomis dari suatu perusahaan (badan usaha) tertentu. Mengingat tujuan tersebut laporan hares disajikan dengan benar sesuai dengan standard pelaporan yang berlaku. Standard pelaporan di Indonesia diatur dalam Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia yang mernuat ketentuan kualitas laporan sebagai berikut:

1. Laporan keuangan menyajikan informasi yang relevan.
2. Laporan keuangan dapat dimengerti. Oleh karenanya digunakan istilah teknis yang berlaku dalam akuntansi.
3. Informasi yang disajikan dapat diuji kebenarnya.
4. Informasi yang disajikan untuk kepentingan umum dan netral.
5. Laporan keuangan disajikan tepat waktu.
6. Laporan keuangan dapat dipebandingkan balk dengan laporan keuangan periode sebe¬lumnya maupun dengan laporan keuangan perusahaan lain yang sejenis.
7. Laporan keuangan menyajikan ringkasan fakta secara lengkap.

Mengingat peranannya yang sangat penting tersebut laporan keuangan pada dasarnya merupakan ikhtisar kegiatan ekonomis yang terbentuk dari transaksi-transaksi dalani badan usaha tersebut. Kegiatan transaksi yang dilakukan oleh badan usaha dengan pihak lain tersehut didasarkan pada kaidah dan hukurn yang berlaku dilingkungan perusahaan tersebut berada. Apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak lain yang berada diluar juridiksi suatu negara, maka akan berlaku pula hukum/kebiasaan dagang yang di alcui secara internasional. Oleh karenanya ringkasan informasi akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan, merupakan pengejawantahan dari proses juridis yang terbeniuk dalani transaksi yang dilaksanakan kedalam Bahasa akuntansi.

Dari uraian atas terlihat bahwa penerapan kaidah hukum dalam kegiatan ekonomis suatu badanusaha sangat t"rat kaitannya dengan penerapan kaidah akuntansi dalam menyajikan informasi keuangan. Meskipun keduanya merupakan disiplin ilmu yang berbeda (dan mengalami perkembangan yang berbeda pula), namun dalarn praktek akuntansi hams selalu mengacu terhadap vralc tek yang terjadi dalam penerapan kaidah hukum yang berlaku. Perkembangan disiplin lime hukum (hukum dagang). juga mengikuti perkembangan dinamikan rnasvarakat pelaku ekonomi dalam membentuk komitmen diantara mereka sendiri. Penciptaan modus barn dalam melakukan kerjasama/transaksi ekonomis senantiasa akan menciptakan kebiasaan dagang yang haru dan akhirnya membentuk aturan hukum barn guna memadahi penciptaan obyek hukurn tersehut. Demikian halnya akuntansi juga dihadapkan tantangan bagaimana mewadahi produk hukum tersebut dalam bahasa akuntansi yang dapat diterima umum.

Dalam hal transaksi yang berkaitan dengan masalah tanah juga membentuk kebiasaan¬kebiasaan dagang yang berkaitan dengan pendayagunaan tanah. Semua bentuk transaksi yang berkaitan tanah diatur dalam UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) beserta aturan pelaksanaannya. Sebagaimana halnya sifat dari suatu undang-undang pasti mengandung kekakuan sehingga tidak akan luwes sesuai dengan kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah tanah. Terobosan-terobosan yang terjadi untuk menca¬pai kepentingan ekonomis suatu badan usaha akan menyebabkan munculnya kebiasaan baru dalam transaksi tanah.

Praktek-praktek transasksi dalam masalah pertanahan me¬munculkan upaya hukum yang jauh berkembang dibandingkan dengan masalah tanah ketika Undang-undang tersebut lahir. Praktek pertanahan yang semakin berkembang tersebut mempunyai akibat dalam tehnik penyajian laporan keuangan pula. Hal ini terlihat dari heberapa laporan keuangan yang telah dipublikasikan ternyata menyajikan cara-cara pelaporan atas tanah yang berbeda dengan cara-cara pelaporan tanah dimasa yang lalu. Perkembangan ini menuntut pekajian ulang terhadap standard pelaporan dalam Prinsip¬prinsip Akuntansi Indonesia, khususnya yang mengatur penyajian elemen tanah dan hak atas tanah.

Undang-undang pokok agraria (UUPA) adalah undang-undang yang mengatur masalah keagrariaan di Indonesia. Nama resmi undang-undang ini adalah UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA. Diundangkan pada tanggal 24 September 1960. Dalam undang-undang tersebut diatur kekuasaan negara dalam penguasaan bumi, air dan ruang angkasa (pasal 1 ayat 2). flak menguasai tersebut memberikan kewenangan kepada negara (pasal 2 ayat 2) sbb:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliha¬raan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan¬perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Pemanfaatan oleh orang-perorang terhadap bumi, air dan ruang angkasa diatur dalam bentuk hak atas bumi, ruang angkasa dan air. Ini menunjukkan pengaturan dalam hukum agraria tidak hanya mengatur masalah pertanahan saja. Pengertian Hak atas Bumi berbeda dengan hak atas tanah. Hal ini mengingat pengertian tanah hanya terbatas pada segala yang ada pada permukaan bumi saja. Sedangkan pengertian tentang hak atas bumi tercakup pula segala sesuatu yang diatasnya dan yang ada didalamnya. Berdasarkan Undang-undang ini, hanya Flak atas Tanah saja yang dapat dimanfaatkan oleh orang-perorang. Pasal 6 menunjukkan, bahwa "semua Hak atas Tanah mempunyai fungsi sosial", dan oleh karenanya pemilikan dan penguasaan atas tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (pasal 7). Ketentuan mengenai batasan pemilikan dan penguasaan tanah lebih lanjut diatur dalam Undang-undang no 56 tahun 60. Pemanfaat oleh orang-perorang diatur dalam hak-hak atas tanah sebagai berikut:

a. Hak Milk, adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (pasal 20 ayat 11 Meskipun Hak Milik mempunyai kedudukan tertinggi dalam tata hukum agrariaan namun tidak berarti tidak dapat diganggu gugat mengingat fungsi sosial (seperti halnya hak aegendom pada tata hukum jaman penjaja¬han dahulu).

b. Hak guna-usaha (HGU).adalah hak untuk mengusahakim tanah yang dikuasai lang¬sung oleh Negara dalam jangka waktu maksimal 5 tahun dengan luas tanah 5 ha. s/d 25 ha. untuk perusahaan-pel ussahaan yang bergerak dalam bidang pertanian, perikanan dan peternakan (pasal 25 ayat 1, 2 dan pasal 29 ayat 1).

c. Hak guna Bangunan (HGB), adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan¬bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak guna Usaha dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (pasal 35 ayat 1 dan 2).

d. Hak Pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah haik yang dikuasai oleh negara maupun pihak lain (pasal 41 ayat 1).

e. Hak Sewa, adalah hal yang di peroleh karena pemanfaat tanah dengan imbaian sejum lab uang.

f. Hak membuka tanah.

g. Hak memungut hasil hutan.

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara (pasal 16).

Bagi suatu badan usaha diperlakukan ketentuan pemberian Hak guna Usaha ataupun Hak guna Bangunan. Hal ini antara lain disebab kan ketentuan pemberian hak milik hanya diberikan kepada perorang an warga negara Indonesia (pasal 9 ayat 1 dan 2). Kalaupun ada badan hukum yang menghendaki perolehan hak milik maka harus ditetapkan melalui suatu ketetapan pemerintah (pasal 21 ayat 2). Peraturan pelaksanaan pasal 21 ayat 2 tersebut berupa Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 1963 (TLN 2555) tertanggal 19 Juni 1963. Dengan demikian badan usaha milik swasta tertutup kemungkinan untuk memiliki sebidang tanah dengan status Hak Milik.

Alternatip bagi pihak swasta adalah pemanfaatan Hak guna Usaha dan Hak guna Bangunan sebagai landasan hukum pengusahaan atas sebidang tanah. Kedua jenis hak atas tanah tersebut merupakan urutan yang tertinggi setelah Hak Milik dalam hirarki peraturan perundangan masalah tanah. Ditinjau dari sudut pandangan ekonomi maka kedua jenis Hak atas Tanah tersebut memberikan jaminan yang paling aman yang dimungkinkan bagi badan usaha swata.

Bagi badan usaha yang bergerak dalam bidang industri ataupun perdagangan apabila ingin memperoleh penguasaan atas sebidang tanah, maka altematip yang terbaik adalah memanfaatkan ketentuan flak guna Bangunan saja agar keamanan operasi perusahaannya terjamin.1 Namun, hal ini bukan berarti tidak akan ada masalah. Pasal 35 ayat 2 menunjuk¬kan adanya batasan lama waktu penggunaan hak guna Bangunan tersebut. Aturan itu menyatakan Hak guna Bangunan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Berarti, secara teoritis penguasaan atas sebidang tanah hanya terbatas dalam jangka waktu 50 tahun saja. Ini menunjukkan bahwasannya penguasaan atas sebidang tanah bersifat terbatas. Tentunya akan sangat berbeda dengan tanah dengan Hak Milik yang penguasaannya bersifat tak terbatas dengan pengecualian akan dipergunakan oleh negara. Pasal tersebut menunjukkan bahwa setelah 50 tahun tanah yang dikuasai suatu badan usaha harus dikembalikan kepada negara. Peraturan itu tidak menegaskan apakah pemegang Hak guna Bangunan diijinkan kembali memperpanjang hak atas tanah yang dimilikinya tersebut.

Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia tahun 1984, merupakan produk Ikatan Akuntan Indonesia dalam merumuskan Standard pelaporan informasi keuangan dalam suatu laporan keuangan. Pasal-pasal yang mengatur penyajian pemilikan sebidang tanah adalah sebagai berikut:

Pertama, pasal 4.1 berbunyi sebagai berikut:

Aktiva tetap meliputi aktiva yang tidak dapat disusutkan (non depreciable) dan
aktiva yang dapat disusutkan (depreciable), mencakup tanah/hak atas tanah, bangunan, mesin serta peralatan lainnya ataupun sumber-sumber alam.

Kalimat yang dikutip dengan huruf miring tersebut menunjukkan tidak jelas adakah tanah mempunyai kedudukan yang sama dengan hak atas tanah. Cara penulisan dengan garis miring seperti tersebut diatas dapat ditafsirkan dengan pengertian atau. Akuntansi secara jelas menyatakan, bahwa tanah merupakan aktiva tetap berwujud sedangkan hak atas tanah merupakan aktiva tetap tak berwujud. Bila ditinjau secara semantik, maka keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Dan segi akuntansi tanah adalah aktiva tetap berwujud yang nilai gunanya dari waktu kewaktu akan selalu sama. Untuk sebidang tanah yang digunakan sebagai tempat usaha biasaya dianggap bahwa fungsi untuk ditempati tidak pemah akan habis; oleh karenanya kemudian dapat dianggap bahwa kos tanah tidak perlu didepresiasi atau diamortisasi menjadi beban operasi.2 Sedangkan hak atas tanah merupakan aktiva tak berwujud yang menurut UUPA manfaatnya dibatasi oleh waktu. Dengan demikian terlihat bahwa P.A.I. tidak secara tegas memberikan diskripsi pada dua pengertian aktiva yang sebetulnya sangat berbeda. Sebaiknya diantara kata-kata tanah dan hak atas tanah tidak menggunakan garis miring tetapi menggunakan koma saja.

Pasal 4.1 tersebut diatas sebetulnya akan mengatur jenis-jenis aktiva tetap yang boleh disusutkan ataupun tidak boleh disusutkan. Namun, mengingat bunyi kalimat pasal tersebut tidak mengungkapkan secara jelas mana aktiva yang boleh disusut dan mana yang tidak boleh disusut, maka seseorang dapat secara bebas menafsirkannya. Aki bat ketidak jelasan diskripsi pengertian kedua istilah tersebut ternyata berakibat pada pasal-pasal berikutnya.

Kedua, pasal 4.6 juga mengatur tentang hak atas tanah yang berbunyi sbb:
"Setiap jenis aktiva tetap, seperti: tanah/hak atas tanah, bangunan dan lain sebagainya, hams dinyatakan secara terpisah " (halaman 40)
Kalimat diatas mengatur bahwa semua aktiva tetap harus disajikan dalam neraca secara terpisah atau sebagai alternatip dimungkinkan tidak disajikan secara terpisah namun dalam catatan atas laporan keuangan harus disajikan dengan rinci. Kritik terhadap kalimat tersebut adalah:
a. Pengertian tanah dan hak atas tanah rancu, sebagaimana diuraikan dalam butir ke satu diatas.
b. Penyajian rincian aktiva tetap dalam catatan atas laporan keuangan hanya dibaca dikalangan terbatas. Bagi sebagian besar pembaca laporan keuangan (terutama yang memperoleh melalui media massa) justru penyajian tersebut akan sangat menyesatkan.

Ketiga, pasal 5.1 juga mengatur hak atas tanah yang berbunyi sbb:

"Aktiva yang tidak berwujud mencerminkan hak/hak istimewa atau posisi yang menguntungkan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan. Hak patent, hak cipta, franchise, goodwill adakah jenis-jenis aktiva yang tidak berwujud pada umumnya". (halaman 40)

Kalimat di atas lebih jelas menigambarkan keraguan PAI dalam merumuskan hal-hal yang masuk kategori aktiva tidak berwujud. Ini dapat dilihat dangan kata-kata yang dikutip miring. Kata pada umumnya menggambarkan masih terdapat hal-hal lain yang sulit didiskripsikan yang dapat masuk dalam kategori aktiva tak berwujud. Kalimat diatas juga tidak menjelaskan adakah Hak atas Tanah masuk dalam kategori sebagai aktiva tidak berwujud. Dalam hal ini pendapat Suwardjono yang menyatakan "Kos tanah belisewa (lease hold), tanah hak guna bangunan, atau bentuk investasi nonpermanen lainnya dalam sarana berupa tanah harus secara sistematik diserap dalam produksi selama umur ekonomik atau selama jangka waktu kontrak" 1 lebih dapat diterima.

2. Perumusan Masalah

Bahwa perkembangan praktek hukum atas transaksi tanah perlu dikaji mengingat perkembangan masalah tanah yang sudah sedemikian jauh. Praktek akuntansi dalam masalah pertanahan harus memperhatikan landasan hukum yang tepat, agar informasi yang disajikan dapat ditafsirkan dengan tepat.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengkajian terhadap pratek akuntansi aktiva tetap khususnya dalam hal tanah dan hak atas tanah. Diharapkan dari penelitian ini akan memperoleh pertimbangan teoritikal terhadap penyajian Tanah dan Hak atas Tanah dalam laporan keuangan suatu perusahaan.

4. Pembatasan Masalah

Ruang lingkup penelitian kami lakukan terbatas pada bagaimana penyajian informasi akuntansi dalam publikasi resmi perusahaan sebagai bahan pertimbangan bagi fihak lain dalam pengambilan keputusan ekonomi pada perusahaan tersebut. Dalam hal Hak atas Tanah pembahasanhanya menyangkut Hak guna Bangunan sebagai landasanhukum penguasaan satu bidang tanah bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa, perdagangan dan industri.

5. Manfaat penelitian

1. Penyusunan standard dalam Prinsip Akuntansi Indonesia
2. Identifikasi praktik akuntansi dalam penyajian informasi masalah Tanah dan Hak atas Tanah.

6. Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pendekatan analitis obyektip dengan menggunakan acuan studi kepustakaan. Pendekatan ini digunakan agar analasis dapat dilakukan secara obyektif dan sudut pandangan para pemakai laporan keuangan. Analisis dilakukan terhadap publikasi resmi laporan keuangan perusahaan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Desember 1988, yang disajikan dalam bentuk iklan dalam surat kabar KOMPAS edisi 1 Januari 1989 s/d 30 April 1989. Dalam penelitian ini tidak digunakan pendekatan wawancara (quetionair) kepada perusahaan yang digunakan sebagai obyek analitis, mengingat informasi yang disajikan merupakan publikasi resmi yang secara bebjis dapat diinterpretasikan oleh pihak lain yang berkepentingan. Disamping itu penulis mengambil peranan sebagai pihak luar yang mencobamemahami masalah-masalah yang timbul dalam menafsirkan suatu laporan keuangan yang disajikan secara resmi.


Selengkapnya Download Versi Pdf

Proposal Untuk Studi Kepustakaan.pdf

Anda Akan Menyukai ini :

0 komentar:

Post a Comment

 

Komentar

Postingan Terakhir