“There is no new economy. The internet greatly extends the old economy,” ujar Peter Drucker. Hal ini diucapkan Drucker pada saat para venture capitalist sedang menciptakan hype dan janji-janji baru bahwa new economy adalah bisnis internet. Saat itu prediksi-prediksi yang tak masuk akal sedang menjejali para pebisnis yang sedang terkagum-kagum pada keajaiban yang dijanjikan bisnis dotcom. Namun, Peter Drucker-lah, pakar manajemen kelahiran 1909, yang berhasil memberikan penjelasan yang lebih memadai tentang the new way of doing business.
Hebatnya, Drucker telah berpikir tentang dahsyatnya teknologi komputer akan mengubah dunia bisnis secara radikal sejak tahun 1950-an. Bayangkan, bos Microsoft Bill Gates—yang secara riil banyak mengubah cara berbisnis dengan teknologi komputernya—saja baru dilahirkan pada tahun 1955. Bahkan, pada saat itu juga Drucker telah melahirkan istilah “knowledge worker”. Tak heran kalau dia sempat dijuluki “Pakar bisnis yang pendapatnya tetap segar dan mampu mendahului zamannya”.
Yang istimewa, Drucker mampu memahami dunia bisnis tanpa pernah sekali pun dia terlibat dalam dunia bisnis itu sendiri. Walaupun cukup banyak perusahaan yang pernah mencoba mengontraknya, Drucker dengan halus menolak, untuk mempertahankan objektivitas dan kredibilitasnya. Ketidakmauannya terlibat secara langsung ke dalam dunia bisnis inilah yang menyebabkan pada akhirnya Drucker berkembang menjadi guru manajemen kelas dunia.
Pemahaman manajemen Drucker sendiri dimulai pada saat cara kerja di perusahaan masih ditandai oleh mandor-mandor yang galak versus serikat buruh yang kuat. Di mana saat itu banyak perusahaan AS yang mencoba meningkatkan produktivitas dengan cara menakut-nakuti dan mengintimidasi. Di era “kegelapan manajemen” inilah Drucker mulai memetakan pentingnya manajer, bagaimana memotivasi orang, dan, ujung-ujungnya, bagaimana meningkatkan value perusahaan.
Perubahan terbesar Drucker terjadi pada tahun 1942, ketika ia—yang saat itu menjabat sebagai profesor politik dan filosofi di Bennington College di Vermont—mengeluarkan buku The Future of Industrial Man. Saat itu bukunya banyak dikritik karena dianggap mencampuradukkan masalah ekonomi dengan social science. Untungnya bos General Motors (GM), Alfred P. Sloan, tertarik dengan buku Drucker. Lebih dari itu, Sloan malah kemudian mengundang Drucker untuk mempelajari GM dari sisi dalam GM itu sendiri. Hasilnya adalah sebuah buku legendaris, Concept of Corporation (1946), yang edisi aslinya tetap dicetak sampai tahun 1993. Buku ini juga membuka pasar baru bagi dunia perbukuan, yakni buku-buku yang khusus membahas bisnis, yang sebelumnya tak mendapat tempat di toko buku.
Apa yang relevan bagi dunia bisnis masa kini tentang pemikiran Drucker? “Dunia bisnis pada dasarnya tidak eksis untuk ‘membuat dan menjual benda’, tetapi untuk ‘memenuhi kebutuhan manusia’”. Banyak perusahaan besar yang tetap berjalan hingga sekarang yang memegang teguh prinsip ini. Sebuah prinsip dasar yang kelihatannya gampang, tetapi akan cukup susah membayangkan bahwa dari prinsip yang penuh penghayatan inilah lahir CSR (Corporate Social Responsibility) yang justru “banyak membuang uang” untuk kepentingan perusahaan jangka panjang.
Lebih dari itu, Drucker juga masih mengajarkan bagaimana meningkatkan produktivitas bagi knowledge worker. Inilah cara-cara baru berbisnis di mana “Anda tidak lagi memegang komando seperti seorang jenderal, tetapi harus bekerja melalui aliansi, partnership, kontrak, dan outsourcing”. Bagi seorang penulis seperti saya, barangkali mudah untuk memahaminya. Namun, percayalah, bagi praktisi eksekutif di lapangan, tanpa pelatihan yang memadai, akan susah menjalankan prinsip-prinsip ini pada anak buah Anda.
Tak heran, di tengah banyaknya praktek the new way of doing business akibat revolusi informasi ini, banyak pebisnis yang cemas melihat situasi chaos ini. Padahal, seperti berkali-kali diucapkan oleh Andy Groove, chairman Intel, kecemasan ini bersifat global. Jadi, justru di sini banyak peluang bagi para pemain baru yang berani. Tidak percaya? Ikut saja e-auction di BUMN yang sekarang banyak ditawarkan. Kalau Anda berani menawarkan harga bersaing, perusahaan-perusahaan raksasa asal AS pun bisa Anda kalahkan. Sebab, “kebutuhan manusia” di BUMN sekarang adalah dianggap bersih.
Oleh: Muhamad Ihsan
Sumber:Wartaekonomi
Hebatnya, Drucker telah berpikir tentang dahsyatnya teknologi komputer akan mengubah dunia bisnis secara radikal sejak tahun 1950-an. Bayangkan, bos Microsoft Bill Gates—yang secara riil banyak mengubah cara berbisnis dengan teknologi komputernya—saja baru dilahirkan pada tahun 1955. Bahkan, pada saat itu juga Drucker telah melahirkan istilah “knowledge worker”. Tak heran kalau dia sempat dijuluki “Pakar bisnis yang pendapatnya tetap segar dan mampu mendahului zamannya”.
Yang istimewa, Drucker mampu memahami dunia bisnis tanpa pernah sekali pun dia terlibat dalam dunia bisnis itu sendiri. Walaupun cukup banyak perusahaan yang pernah mencoba mengontraknya, Drucker dengan halus menolak, untuk mempertahankan objektivitas dan kredibilitasnya. Ketidakmauannya terlibat secara langsung ke dalam dunia bisnis inilah yang menyebabkan pada akhirnya Drucker berkembang menjadi guru manajemen kelas dunia.
Pemahaman manajemen Drucker sendiri dimulai pada saat cara kerja di perusahaan masih ditandai oleh mandor-mandor yang galak versus serikat buruh yang kuat. Di mana saat itu banyak perusahaan AS yang mencoba meningkatkan produktivitas dengan cara menakut-nakuti dan mengintimidasi. Di era “kegelapan manajemen” inilah Drucker mulai memetakan pentingnya manajer, bagaimana memotivasi orang, dan, ujung-ujungnya, bagaimana meningkatkan value perusahaan.
Perubahan terbesar Drucker terjadi pada tahun 1942, ketika ia—yang saat itu menjabat sebagai profesor politik dan filosofi di Bennington College di Vermont—mengeluarkan buku The Future of Industrial Man. Saat itu bukunya banyak dikritik karena dianggap mencampuradukkan masalah ekonomi dengan social science. Untungnya bos General Motors (GM), Alfred P. Sloan, tertarik dengan buku Drucker. Lebih dari itu, Sloan malah kemudian mengundang Drucker untuk mempelajari GM dari sisi dalam GM itu sendiri. Hasilnya adalah sebuah buku legendaris, Concept of Corporation (1946), yang edisi aslinya tetap dicetak sampai tahun 1993. Buku ini juga membuka pasar baru bagi dunia perbukuan, yakni buku-buku yang khusus membahas bisnis, yang sebelumnya tak mendapat tempat di toko buku.
Apa yang relevan bagi dunia bisnis masa kini tentang pemikiran Drucker? “Dunia bisnis pada dasarnya tidak eksis untuk ‘membuat dan menjual benda’, tetapi untuk ‘memenuhi kebutuhan manusia’”. Banyak perusahaan besar yang tetap berjalan hingga sekarang yang memegang teguh prinsip ini. Sebuah prinsip dasar yang kelihatannya gampang, tetapi akan cukup susah membayangkan bahwa dari prinsip yang penuh penghayatan inilah lahir CSR (Corporate Social Responsibility) yang justru “banyak membuang uang” untuk kepentingan perusahaan jangka panjang.
Lebih dari itu, Drucker juga masih mengajarkan bagaimana meningkatkan produktivitas bagi knowledge worker. Inilah cara-cara baru berbisnis di mana “Anda tidak lagi memegang komando seperti seorang jenderal, tetapi harus bekerja melalui aliansi, partnership, kontrak, dan outsourcing”. Bagi seorang penulis seperti saya, barangkali mudah untuk memahaminya. Namun, percayalah, bagi praktisi eksekutif di lapangan, tanpa pelatihan yang memadai, akan susah menjalankan prinsip-prinsip ini pada anak buah Anda.
Tak heran, di tengah banyaknya praktek the new way of doing business akibat revolusi informasi ini, banyak pebisnis yang cemas melihat situasi chaos ini. Padahal, seperti berkali-kali diucapkan oleh Andy Groove, chairman Intel, kecemasan ini bersifat global. Jadi, justru di sini banyak peluang bagi para pemain baru yang berani. Tidak percaya? Ikut saja e-auction di BUMN yang sekarang banyak ditawarkan. Kalau Anda berani menawarkan harga bersaing, perusahaan-perusahaan raksasa asal AS pun bisa Anda kalahkan. Sebab, “kebutuhan manusia” di BUMN sekarang adalah dianggap bersih.
Oleh: Muhamad Ihsan
Sumber:Wartaekonomi
0 komentar:
Post a Comment